Mahar : 13.131.313,- (TERMAHAR) Tn. AP, Senen, Jakarta Pusat
1. Kode : GKO-383
2. Dhapur : Sengkelat
3. Pamor : Nyanak (Beras Wutah?)
4. Tangguh : Palembang (Abad XIV)/ Majapahit?
5. Sertifikasi Museum Pusaka No : 976/MP.TMII/VIII/2019
6. Asal-usul Pusaka : Temuan Sungai Brantas
7. Dimensi : panjang bilah 36,7 cm, panjang pesi 5,8 cm, panjang total 42,5 cm
8. Keterangan Lain : kolektor item, pernah dipamerkan dalam acara pameran “Pesona Keris Sebagai Warisan Budaya” di Museum Mpu Tantular, Sidoarjo tanggal 21-25 September 2016
ULASAN :
SENGKELAT, adalah salah satu bentuk dhapur keris luk tiga belas. Keris Sengkelat memakai ricikan: sekar kacang, jalen, lambah gajah (satu), sogokan rangkap, tikel alis, sraweyan dan greneng. Sekilas dhapur Sengkelat mirip dengan keris dhapur Parungsari. Bedanya, pada Sengkelat lambe gajah-nya hanya satu, sedangkan pada Parungsari dua buah. Menurut mitos atau dongeng dhapur Sengkelat pertama kali dibabar oleh Empu Sura atas pemrakarsa Sunan Bonang, pada tahun Jawa 1429.
Dalam riwayatnya, ada 2 (dua) versi menceritakan; versi pertama bahwa keris dhapur Sengkelat dipesan kepada Mpu Supo oleh Sunan Bonang dan versi kedua dipesan oleh Kanjeng Sunan Kalijaga. Konon bahan untuk membuat Kyai Sengkelat adalah cis, sebuah besi runcing untuk menggiring onta milik Nabi. Namun sang mpu merasa sayang jika besi tosan aji ini dijadikan pedang (versi kedua = pangot sejenis pisau), maka dibuatlah menjadi sebilah keris luk tiga belas. Sang Sunan menjadi kecewa karena tidak sesuai dengan apa yang dikehendakinya. Menurutnya, keris merupakan budaya Jawa yang berbau Hindu, seharusnya besi itu dijadikan pedang yang lebih cocok dengan budaya Arab, tempat asal agama Islam. Maka oleh Sang Sunan disarankan agar Kyai Sengkelat diserahkan kepada Prabu Brawijaya V. Ketika Prabu Brawijaya V menerima keris tersebut, sang Prabu menjadi sangat kagum akan keindahan keris Kyai Sengkelat. Dan akhirnya keris tersebut menjadi salah satu piyandel kerajaan yang mampu mengalahkan keris condong campur sekaligus menyingkirkan pagebluk yang melanda nagari.
CERITA SENGKELAT YANG RAIB, dalam kisah perjalanan Empu Supa guna mencari Keris Kiai Ageng Sengkelat yang hilang dari gedong pusaka Majapahit terekam dalam manuskrip Babad Tanah Jawi dan dalam manuskrip Wiryodiningratan (tanpa nama, dibuat sezaman dengan Kitab Centini jaman PB IV). Dalam manuskrip Wiryodiningratan dikisahkan perjalanan Empu Supa mencari keris yang hilang dimulai ke wilayah barat, melalui Pelabuhan Banten kemudian menyeberang ke pulau Suwarnadwipa (Sumatera) hingga ke Palembang, Jambi dan ke Minangkabau. Dikisahkan juga bahwa untuk bekal perjalanannya Empu Supo banyak membuat bakalan keris dari bahan-bahan yang ia peroleh dalam setiap persinggahan di berbagai daerah ketika melakukan perjalanannya. Dalam manuskrip itu juga diceritakan bahwa Empu Supo akhirnya mendapatkan petunjuk dari Raja Palembang (tidak didebutkan namanya) mengenai keberadaan keris Sengkelat (Kanjeng Kyai Purworo) yang dicarinya. Raja Palembang tersebut juga memberika petunjuk bahwa Empu Supo harus kembali ke Tanah Jawa dan menyisir pantai utara Pulau Jawa menuju ke Timur karena keris Sengkelat yang dicarinya berada di tangan Raja Siung Laut di Blambangan (sekarang Banyuwangi dan sekitarnya).
Kisah yang lain bersama dengan Kyai Singkir, seorang Empu dari Madura, Supa membuat 40 kodhokan (keris dalam bentuk kasar, belum selesai) dan membawanya lewat jalan laut ke Blambangan dengan mengubah namanya menjadi Kiyai Kasa dan mengaku berasal dari seberang lautan. Di Blambangan Kyai Kasa mengganti namanya dengan Kyai Pitrang, lalu magang pada Kiyai Sarap, yang menerimanya karena terkesan dengan kerajinan muridnya.
Patih Blambangan ingin membuatkan sebuah pisau untuk putranya dan memesannya pada Sarap. Sarap menugaskan muridnya menyelesaikan pesanan tersebut. Sesudah pisau selesai dan putra sang Patih meninggal hanya karena tergores olehnya dan juga sebatang pohon kemuning yang tergores langsung menjadi kering. Maka sang Patih sadar, bahwa si pembuat pisau ini pasti juga membuat senjata yang handal. Keesokan harinya ia kembali menemui Sarap dan memesan sebilah keris untuknya, dan salam waktu yang singkat diselesaikan oleh muridnya, Pitrang, dengan dhapur Tilam Upih serta sebuah wahos (tombak) dengan dhapur Biring, yang kemudian diserahkannya kepada Patih yang menerimanya dengan terpesona. Sang Patih lalu mengangkat Pitrang menjadi saudara dan menceritakan kehebatan Pitrang kepada atasannya Adipati Siyung Laut. Adipati ini memanggil Supa dan memerintahkannya mutrani/membuat sebilah keris yang sama dengan keris yang dimilikinya. Pitrang menyanggupi dan memohon disediakan sebuah besalen yang bersih dan gelap agar ia dapat bekerja dengan baik dan mendapat wahyu dari para Dewa. Ia pun meninta wesi budha (besi yang sangat tua) dan baja dan pamor, dan berjanji akan menyerahkannya segera setelah keris itu selesai, tanpa warangka.
Besalen yang gelap itu masih ditutup dengan tabir dari kain dan sang Patih menyerahkan Kyai Sengkelat kepada sang Empu, ia berjaga di luar kain penutup serta mengurus sajen dan dupa, lalu tertidur. Pitrang segera membuat 2 buah putran, menyelinap sebentar keluar dari besalen, untuk menyembunyikan Sengkelat yang asli dibawah batu di sungai, kemudian kembali dan menyelesaikan pekerjaannya.
Pada waktu ia menyerahkan kedua keris buatannya kepada sang Patih yang terbangun dari tidurnya, Patih bertanya yang mana dari keduanya yang asli. Pitrang menjawab Ia tidak tahu lagi. Pada saat ditanya oleh sang Adipati, jawabannyapun demikian dan mengusulkan agar keris-keris itu dicoba dimasukkan ke dalam sarungnya. Ternyata keduanya dapat masuk dengan tepat ke dalam sarung. Sang Adipati lalu memutuskan, bahwa keris yang berbuat demikian tidak boleh dibuat lagi dan meskipun bukan seorang Raja, tetapi karena rasa terima kasihnya ia mengangkat Pitrang menjadi Pangeran dengan nama Sendang serta menikahkannya dengan putrinya.
TENTANG TANGGUH, untuk masalah tangguh keris Sengkelat temuan ini memunculkan diskusi yang menarik, terutama soal tangguh. Karena Tangguh lebih bersifat perkiraan dan sering menimbulkan perdebatan, jauh sebelum Indonesia Merdeka para leluhur kita sudah memberikan pesan, diantaranya Ki Anom Mataram dalam Serat Centhini memberi nasehat sebagai berikut : … Poma wekasingsun, lamun ana ingkang nyulayani, atuten kemawon, garejegan tan ana perlune, becik ngalah ing basa sethithik, malah oleh bathi, tur ora kemruwuk … (ingat pesanku, bila ada yang berselisih ikuti saja lah, berdebat tidak ada gunanya, lebih baik mengalah sedikit, malah akan beruntung dan tidak ramai).
Jika yang tertulis pada Surat Keterangan Museum Pusaka TMII didapatkan keterangan dimana kemungkinan keris Sengkelat ini bertangguh Palembang abad XIV. Namun dalam behind the scene-nya sebenarnya memunculkan dissenting opinion atau pendapat berbeda di antara kurator di Museum Pusaka, dimana ada salah satu kurator yang memberikan penilaian tangguh Singosari. Sedangkan dalam pameran keris yang bertajuk “Pesona Keris Sebagai Warisan Budaya” di Museum Mpu Tantular, Sidoarjo tanggal 21-25 September 2016, keris ini merupakan salah satu tamu etalase yang didapuk mewakili kejayaan sang “Surya Wilwatikta” yang bertangguh Majapahit.
Jika diminta memberikan pendapat, meski pesi Sengkelat ini gemuk dan lebih pendek seperti keris Palembangan, dan karakter greneng yang memiliki rasa Sumatera-an. Namun Penulis pun lebih condong jika keris Sengkelat ini menampilkan karakter keris-keris Jawa Wetanan, terutama dari melihat bentuk luk dan bagian gandhik. Diperoleh pula sedikit sisa mendhak yang masih original menghias, menempel pada gonjo dan pesi yang cenderung njawani daripada mendhak sumatera-an. Tampaknya tangguh Majapahit masih cukup bisa diterima.
Dalam rangka HUT Museum Mpu Tantular Sidoarjo yang ke-42, pada tanggal 21 – 25 Sepetember 2016, keris ini turut dipamerkan (foto paling kanan)
TENTANG PAMOR, pamor nyanak adalah penamaan terhadap sejenis pamor yang tidak jelas kesan pembacaannya (samar), baik melalui penglihatan maupun perabaannya. Sebilah keris atau tombak yang diperkirakan mempunyai pamor sebelumnya, tetapi pamornya kemudian tidak terlihat jelas dan apabila dirabapun tidak jelas konturnya, dapat disebut pamor sanak.
Jika pada surat keterangan museum pusaka tertulis pamor nyanak atau pada katalog pameran museum mpu tantular tertulis pamor kelengan, namun bagi penulis keris Sengkelat ini berpamor (sangat dimungkinkan jika dulunya merupakan pamor beras wutah). Dugaan tersebut dapat sedikit teridentifikasi dari guratan pamor pada bagian sraweyan, terlihat patina licin yang menampilkan pola mirip beras wutah. Hanya karena tertutup patina dan besinya sudah membatu penglihatan maupun perabaannya menjadi samar.
CATATAN GRIYOKULO, Selama ini relatif keris-keris yang merupakan hasil penemuan semisal temuan Sungai Brantas di Jawa Timur umumnya akan ditangguh Singosari, dan temuan sungai Musi di Palembang akan ditangguh Sriwijaya. Dalam beberapa sample malah terdapat kesamaan style/bentuk antara dua temuan sungai tersebut. Terlepas dari tangguh-nya, banyak diantara keris-keris yang menjadi obyek penemuan-penemuan tersebut setelah dicermati ternyata memiliki kualitas garap yang justru cukup OK, di atas rata-rata misalnya jika dibandingkan dengan keris-keris yang banyak ditemukan di pelosok-pelosok dusun.
Seperti pada keris Sengkelat ini, meski menyandang “gelar sebagai keris temuan” yang bisa saja melahirkan berbagai macam intepretasi yang memantik diskusi, namun secara jujur harus diakui dibuat dengan garap yang tidak bisa dipandang sebelah mata. Hal ini dapat ditunjukkan dari sekar kacang nggelung wayang yang besar, lambe gajah yang tampil percaya diri menyeruak ke depan seperti duri, pejetan serta sogokan yang dalam, kruwingan dan ada-ada yang tegas, hingga detail greneng yang masih utuh. Tentulah bukan Empu sembarangan yang membabarnya. Sedangkan pada beberapa spot lekuk bilah sudah mulai rontok, namun masih bisa dimaklumi karena statusnya tadi sebagai keris temuan. Terlebih ini Sengkelat Majapahit! Dilengkapi warangka baru model tanggah/praon dari kayu nagasari, dengan hulu cindelaras yang unik, terbuat dari tanduk. Digambarkan seorang pemuda dengan gelung budha membawa ayam jago. Unik! Terlebih bolehlah menjadi suatu kebanggan pribadi jika keris Sengkelat ini bersama dengan keris Lok 13 Sriwijaya (bisa dibaca disini) dan keris Pudhak Sategal Singosari (bisa dibaca disini) pernah menjadi artefak peninggalan sejarah dalam bentuk keris yang layak dipamerkan dan dipublikasikan untuk edukasi dan pelestarian tosan aji.
Dialih-rawatkan (dimaharkan) sesuai dengan foto dan deskripsi yang tertera.
Griyokulo Gallery Jl. Teluk Peleng 128A Kompleks TNI AL Rawa Bambu Pasar Minggu Jakarta Selatan
Facebook : Griyo Kulo SMS/Tlp/WA : 0838-7077-6000 Email : admin@griyokulo.com
————————————