Pamor Bire/Dzal/Sirip Naga

10590558_1712292255668741_9142982091114899016_n

Mahar : 4.950.000,- (TERMAHAR) Tn. AP, Senen Jakarta Pusat


  1. Kode : GKO-299
  2. Dhapur : Tilam Upih
  3. Pamor : Bire/Dzal (Madura), Sirip Naga (Semenanjung Melayu)
  4. Tangguh :  Madura Sepuh (Abad XVI)
  5. Sertifikasi No : 802/MP.TMII/VII/2018
  6. Dimensi : panjang bilah 36,2  cm panjang pesi 7,1 cm, panjang total 43,3 cm
  7. Asal-usul Pusaka : Rawatan/Warisan Turun Temurun
  8. Keterangan Lain : pamor langka

Ulasan :

TILAM UPIH, adalah nama dhapur keris lurus yang sederhana. Gandik-nya polos, hanya mempunyai dua ricikan yakni tikel alis dan pejetan. Karena model ricikannya relatif sederhana tidak neko-neko, menjadikannya lebih banyak orang yang bersedia memakainya hingga sekarang relatif lebih mudah diketemukan dan banyak tersebar di dalam masyarakat, dengan kata lain dhapur cukup populer atau terkenal. Di dalam gedong pusaka keraton Yogyakarta pun sedikitnya ada tiga keris pusaka yang ber-dhapur Tilam Upih, yaitu KK Pulanggeni, KK Sirap, dan KK Sri Sadono.

FILOSOFI, Keris dhapur Tilam Upih yang berbentuk lurus memiliki ricikan : Gandik Polos (pejetan dan tikel alis). meskipun sangat sederhana, sebagai sebuah pusaka, dhapur Tilam Upih memuat makna philosopis mendalam. Tilam Upih, sebagai lambang dari wanita. Maksudnya memperlakukan keris itu sama halnya dengan memperlakukan wanita. Keris ini simbol kasih seorang Ibu yang tak pernah lekang jaman meskipun tak lagi mengalirkan air susu; kasih ibu sepanjang masa. Demikian pula belas kasih seorang Ayah kepada anak-anaknya dan seorang Suami bagi istrinya haruslah tidak pernah surut. Sesungguhnya keris Tilam Upih adalah sebuah simbol pendamping yang senantiasa mengiringi simbol kejantanan. Itulah kenapa jika melihat secara maknawi, keris dhapur Tilam Upih memang pantas dianggap sebagai Pusaka Keluarga karena bersifat perempuan, penuh sentuhan kelembutan dan asih. Jika diperluas lagi menjadi semangat belas kasih. Manusia harus mampu mengejawantahkan semangat belas kasih kepada sesamanya.

Morfologi Tilam Upih sendiri adalah sebuah alas (tilam) yang terbuat dari daun berpelepah (upih). Nyaman sebagai pembaringan, dimana saat dingin terasa hangat dan saat panas terasa dingin. Apabila dimaknai lebih dalam adalah sebuah simbolisasi laku prihatin atau tirakat (Kearifan lokal orang Jawa dengan tirakat tidur di lantai adalah untuk menghadang rejeki atau menghalangi datangnya malapetaka). Laku adalah usaha atau upaya. Prihatin adalah sikap menahan diri, menjauhi perilaku bersenang-senang Hakekat dan tujuan dari laku prihatin dan tirakat adalah usaha manusia untuk menjaga jalan kehidupannya supaya selalu selaras dengan ajaran budi pekerti dan kesusilaan, tidak terlena dalam kenikmatan keduniawian, dan untuk menjaga agar kehidupan manusia dalam kondisi ‘keberkahan’, selamat dan sejahtera dalam lindungan Tuhan, serta dihindarkan dari kesulitan-kesulitan dan terkabul keinginan-keinginannya. Proses laku itu sendiri mendorong dan mengarahkan sikap dan perilaku orang agar selalu positif, menjauhi hal-hal yang bersifat negatif (fokus pada tujuan).

TENTANG TANGGUH, Untuk menikmati pusaka sebagai hasil karya fisik maupun spiritual dari seseorang Empu, kita tidak hanya melihat bahan besi dan kualitas penempaan, material pamor yang digunakan dan penerapaannya, serta bukan pula hanya pada pasikutan bilah semata. Lebih jauh dari itu, untuk menikmati keindahan sebilah keris, kita perlu sejenak kembali ke masa lalu. Membayangkan bagaimana kondisi budaya masyarakat setempat waktu itu, serta bagaimana pola pikir serta simbol-simbol (sanepa dan sengkalan) dengan berbagai makna filosofi mendalam yang dianut masyarakat pada waktu itu serta berbagai aspek lain yang terkait dengan sebuah budaya masyarakat.

Kawasan pesisir barat Jawa Timur banyak dipengaruhi oleh kebudayaan Islam. Kawasan ini mencakup wilayah Tuban, Lamongan, dan Gresik hingga ke pulau Madura. Budaya Madura adalah juga budaya yang lekat dengan tradisi religius. Mayoritas 97-99% orang Madura memeluk agama Islam. Oleh karena itu, selain akar budaya lokal (asli Madura), syariat Islam juga begitu mengakar di sana. Seperti keris-keris dengan pamor bire/dzal seperti ini seringkali ditemukan pada tangguh Tuban dengan pamor ‘rasa’ madura. Apakah memang dulunya keris dengan pamor seperti ini dibabar secara khusus oleh Empu-Empu dari Madura?

Dikisahkan dalam silsilah para empu, bahwa empu keris yang pertama kali ada di Jawa adalah Empu Ramayadi yang bertempat di tengah-tengah pulau Jawa. Kemudian keturunan Empu Ramayadi banyak menjadi empu keris yang terkenal di kerajaan Pajajaran. Tersebutlah keturunannya itu adala Empu Manca (ada yang menyebutnya Empu Ki Macan). Lalu Empu Ki Macan menurunkan Empu Ki Kuwung, Empu Ki Angga, Empu Ki Keleng dan Empu Ni Sombro. Kemungkinan karena alasan politik anak keturunan dari Empu Ki Macan tersebut bedol deso (bermigrasi) dari Pajajaran ke daerah timur Pulau Jawa, tepatnya di wilayah Tuban, lalu Empu Ki Keleng meneruskan perjalanannya ke Pulau Madura menjadi Empu Koso. Walaupun Empu Koso kemudian mengembangkan bilah keris Madura dengan karakter pamor yang khas dan istimewa. Kekhasan pamor keris gubahan Koso adalah sifatnya yang nggajih dan garis pamornya tebal bertumpuk, dengan warna putih terang yang indah, sehingga tampak kontras sekali dengan besi bajanya yang hitam menawan.

Bila diperhatikan, bilah keris dengan tangguh Pajajaran memang masih terlihat benang merahnya dengan bilah tangguh Tuban dan Madura, terutama pada bagian sor-soran, yakni gonjo, gandhik dan pejetan. Dari segi material besi, baja dan pamor pun, ketiga tangguh tersebut di atas juga masih menampilkan nuansa familiar.

warangka khas sumenep dengan motif kerang

Secara umum pusaka ini mempunyai pembawaan yang menarik. Bulatan garis pamor nggajih tebal berwarna terang berpadu dengan tone hitamnya besi menampilkan guwaya-nya tersendiri. Sebuah pertanyaan siapakah saja para pemegang pusaka ini dulunya membersit dalam hati ketika menantingnya. Sengaja “eman” untuk diwarangi ulang karena masih cukup kontras, walau memang bagian sor-soran agak sedikit kurang kontras dibandingkan bagian pertengahan atau pucuk bilah. Pewarangan ulang tentu saja bisa menjadi sebuah opsi nantinya untuk mendapatkan detail kontras yang lebih tajam. Korosi-korosi alami di sepanjang sisi bilah (utamanya bagian sisi kiri) menandakan campur tangan sang waktu sebagai sebuah keniscayaan atau proses yang harus dihadapi setiap manusia. Bagian warangka Sumenep motif kerang-kerangan juga tidak dalam kondisi terbaiknya.  Meski dikatakan cukup beruntung masih bisa menyimpannya, pada bagian sambungan antara warangka dan gandar yang masih menggunakan sistem kuno dengan cara dipantek, terlihat garis retakan. Demikian juga dengan menjelang bagian ujung gandar sedikit berlubang alami. “Nyandangi “dengan melakukan pergantian hulu model Surakarta yang ada sekarang dengan hulu yang lebih cocok yakni model madura tentu saja akan semakin mempercantik prejengan.

pamor kendagan bire/bireh/dzal/sirip naga

PAMOR BIRE, pamor yang sangat langka dimana bentuk gambaran pamornya seperti daun bire/bireh (madura) atau daun sente (jawa), sejenis talas-talasan. Ada juga yang menafsirkan pamor yang berbentuk seperti gendagan huruf latin V dan A ini sejatinya merupakan Huruf Hijaiyah ‘Dzal‘ bolak-balik, yang arti religiusnya sungguh dahsyat, yakni: “pemilik segala keagungan dan kemuliaan”. Pamor bire tergolong pamor mlumah rekan (rekaan), yakni pamor yang dibuat sesuai dengan rancangan sang Empu. Ditinjau dari segi tuah atau angsarnya pamor bire juga menarik. Menurut sebagian pecinta keris, keris dengan pamor bire mempunyai tuah “ke luar” untuk menunjang perbowo (kewibawaan), juga “ke dalam” agar dapat menempuh rumah tangga yang harmonis sakinah, mawadah, waromah. Penampilannya yang ekstentrik, kepercayaan menyangkut angsar/tuahnya serta karena faktor kelangkaannya, menjadikan pamor ini menjadi salah satu pamor yang menjadi incaran ‘khusus’ para kolektor. Banyak digandrungi terutama oleh masyarakat perkerisan Jawa Timur dan sekitarnya.

gambaran pamor sirip naga, sumber Buku Rahsia Keris dan Senjata Warisan Melayu, karangan Zakaria B Abdullah, 2007

PAMOR SIRIP NAGA, Lain lagi di Semenanjung Melayu pamor yang seperti ini dinamakan sirip naga atau disebut juga pamor setakono, karena bentuk-bentuk segitiganya memang mirip dengan sirip naga berenang. Pamor ini disebutkan jarang ditemui karena dulunya dimiliki Raja atau pembesar negeri. Tuahnya untuk mempertahankan diri, menjaga kedaulatan negeri, menambah semangat keberanian dan kewibawaan (disanjung dan dihormati.

Dialih-rawatkan (dimaharkan) sesuai dengan foto dan deskripsi yang tertera.

Contact Person :

Griyokulo Gallery Jl. Teluk Peleng 128A Kompleks TNI AL Rawa Bambu Pasar Minggu Jakarta Selatan

Facebook : Griyo Kulo SMS/Tlp/WA : 0838-7077-6000 Pin BB : D403E3C3  Email : admin@griyokulo.com

3 thoughts on “Pamor Bire/Dzal/Sirip Naga

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *