Mahar : 6.000.000,-(TERMAHAR) Tn. F, Semarang
1. Kode : GKO-496
2. Dhapur : Sombro
3. Pamor : Tetesing Warih
4. Tangguh : Tuban Majapahit (Abad XIV)
5. Sertifikasi Museum Pusaka No :
6. Asal-usul Pusaka : Malang, Jawa Timur
7. Dimensi : panjang bilah 18,3 cm, panjang pesi 6 cm, panjang total 24,3 cm
8. Keterangan Lain : keris tindhih
ULASAN :
SOMBRO, menyebut nama Sombro para pecinta tosan aji sudah akan paham keris dengan bentuk ricikan spesifik seperti apa yang dimaksud. Dimana penyebutan nama dhapur Sombro merujuk untuk keris dengan bilah pendek (sejengkal), agak lebar dengan ricikan pejetan dangkal dan ujung keris tumpul. Penampilan kerisnya sederhana dan cenderung agak wagu, tetapi besinya tergolong pilihan, padat dan tempaannya matang. Permukaan bilahnya terdapat lekukan-lekukan, lekukan ini seolah diartikan bekas pijitan tangan sang Empu. Kadang-kadang dijumpai pesinya berbentuk untiran dengan ujung berlubang seperti jarum. Banyak diantaranya tergolong gonjo iras (gonjo menyatu dengan wilah). Di mata orang awam mungkin keris sombro akan terlihat sederhana seperti lading atau pisau raut yang memiliki sedikit bagian yang lebih tebal dan tidak tajam di sisi pangkal bilahnya.
Namun, sebenarnya di kalangan masyarakat perkerisan sendiri masih terdapat pertentangan antara dua kubu mengenai apakah Sombro itu merupakan salah satu nama dhapur keris atau bukan. Kubu pertama cenderung memahami jika Sombro sama halnya dengan keris Umyang, bukanlah spesifik nama dari sebuah dhapur keris, melainkan nama seorang Empu wanita dari kerajaan Pajajaran yang kemudian hijrah ke daerah timur (Tuban).
Sedangkan kubu yang kedua, menganggap Sombro bukan hanya nama seorang Empu saja, atau nama “branding” baru yang hanya populer di dunia pemaharan tosan aji saja, melainkan juga nama sebuah dhapur keris lurus yang sudah lama tercatat di serat/buku perkerisan. Referensi mengenai hal ini dapat dilacak melalui Serat Kawruh Empu yang ditulis ulang oleh Ngabèi Wirapustaka, salah seorang abdi dalêm mantri Radyapustaka di Surakarta pada tahun 1914. Buku Kawruh Empu ini sendiri sebenarnya adalah sebuah buku mengenai nama dhapur keris dan tombak yang pernah dibuat oleh para Empu zaman dahulu. Buku yang sebenarnya adalah peninggalan dari sang kakek Radèn Atmasupana ini, oleh Radèn Ngabèi Karyarujita dipersembahkan kepada Kangjêng Radèn Adipati Sasradiningrat IV. Dalam kawruh Empu disebutkan jika dhapur Sombro memiliki ciri-ciri ricikan sama seperti yang telah dikenal oleh masyarakat perkerisan saat ini, yakni: Bênêr, cêndhak tipis tanpa gandhik, pejetan.
EMPU SOMBRO, Eksistensi empu sebagai pembuat keris, selama ini selalu didominasi oleh dunia maskulinitas pria. Namun demikian, dalam pita sejarah kerajaan-kerajaan di Nusantara, pernah memiliki salah satu Empu keris wanita bernama Ni Mbok Sombro, yang tidak hanya cantik, namun juga sakti dan melegenda. Lalu, siapakah Ni Mbok Sombro ini yang pada November tahun lalu dikenalkan oleh Komnas Perempuan sebagai seorang tokoh wanita di masa kerajaan masa lampau yang dinilai layak ditetapkan sebagai pahlawan nasional ini?
Dalam Serat Paniti Kadga (Mretelakaken kawruh wawaton panangguhing dhuwung wiwit tangguh Pajajaran dumuginipun tangguh Surakarta, dalah asmanipun para panjenengan Nata ing tanah Jawi ingkang sami hiyasa Dhuwung, saha naminipun para empu ugi kapratelakaken. Punapa dene petang-petang bab ukuranipun dhuwung, ugi boten kalangkungan, kaewrat ing dalem serat punika. Katarengaken mawi Gambar) yang dihimpun dari serat-serat peninggalan ahli keris di jaman kuno kemudian dicetak di Solo (Stoomdrukkerij De Bliksem, 1927) mencatat:
Ni Mbok Sombrong, ugi putranipun empu Manca ingkang wuragil, warninipun langkung ayu, dados empu estri, kalangkung widakda, cacadipun mboten saged damel dhapur, nanging kedah waris prayogi, dadamel dhapur miyambak, semuning tosan anglugut
Empu Sombro (ditulis: Ni Mbok Sombrong) adalah salah satu nama Empu di Pajajaran merupakan anak dari Empu Manca yang paling bungsu (dari empat bersaudara), parasnya juga cantik, menjadi empu wanita, sangat terampil dan cekatan. Adapun kekurangannya mungkin tidak bisa meniru dhapur yang sudah -sudah melainkan mewariskan dengan membuat dhapurnya sendiri, ciri besi kerisnya semu nggelugut (seperti bulu bambu)
HIJRAHNYA EMPU PAJAJARAN DARI BUMI PARAHYANGAN KE TIMUR, kisah mengenai hijrahnya Empu Pajajaran di Bumi Parahyangan ke Timur salah satunya dapat ditemukan di Serat Cariyosipun Para Empu ing Tanah Jawi (Vogel Van Der Heyde & CO, 1919). Adapun kutipan penggalannya sebagai berikut:
Kisah bermula ketika Ki Kuwung menggantikan kedudukan ayahandanya (Empu Manca) sebagai Empu di Pajajaran. Kedekatan antara Ki Kuwung dan sang Raja tidak hanya sebatas masalah pekerjaan dimana mereka menempa keris bersama-sama, tapi Ki Kuwung juga diangkat menjadi saudara sang Raja. Kebersamaan keduanya inilah yang membuat adik-adik laki-lakinya menjadi sakit hati dan gundah gulana. Ki Hangga yang sebelumnya mengikuti Ki Kuwung memilih untuk meninggalkannya. Ki Hangga kemudian menyepi ke padepokan milik kakeknya, laku tirakat dan mendapat bisikan untuk menyingkir saja ke Majalangu (nama lain Majapahit) sebab Pajajaran tidak lama lagi akan runtuh dan melakukan kegiatan mande tombak dan keris di tengah samudera. Sejak saat itu Ki Hangga mengganti namanya menjadi Singkir.
Adik Ki Hangga, yakni Ki Keleng juga mengikuti jejak kakaknya berlayar ke arah timur sembari membawa seabreg perkakas pandenya seperti: paron, pukul, ububan, sapit dan panimbal. Sesampainya di Pulau Madura, Ki Keleng menepi di desa Pituruh dan merubah namanya menjadi Ki Empu Wanabaya. Singkat kata, karena keampuhan tombak dan keris buatannya (siapapun yang terkena dagingnya akan membusuk, bulunya akan rontok) ia diberikan nama Ki Kasa oleh sang Prabu.
Ketika kerajaan Pajajaran surut bahkan takluk oleh kasultanan Banten, maka empu Kuwung Pajajaran pun menyusul kedua adiknya, Hangga dan Keleng, ke timur. Sempat singgah di Lasem dan membuat keris namun hasilnya kurang bagus, sebab air yang digunakan untuk menyepuh tidak bagus. Bersama kelima anaknya, yakni: Salahita, Bekel Jati, Paniti, Jaka Suratiman dan Ni Mbok Rara Sumbaga ia menetap di Tuban mengabdi pada seorang bangsawan di Tuban, yang bernama Sang Harya Teja.
Kemudian ada lagi cerita mengenai Ni Mbok Roro Sombro yang sedih ditinggal sendiri oleh ketiga saudaranya di Pajajaran. Saat itu Ni Mbok Sombro sudah menikah dengan Jakapuring, anak seorang pendeta di gunung. Meski terlahir sebagai perempuan, sebagai turunan seorang Empu besar ia tetap harus berkarya membuat keris dan tombak. Adapun ciri tombaknya besinya seperti gelugut, agak kering, dengan bentuk yang lebar-lebar, dan dedeg-nya lebih pendek dari keris, dari besi malela pusuh tanpa pamor. Bentuk dhapur tombaknya Gereh Pethek dan Sigar Jantung.
Empu Sombro pun kemudian menyusul ketiga saudaranya yang sudah lebih dulu migrasi ke timur, dan diterima oleh penguasa Tuban Haryateja. Kelak nanti, Ni Sombro ini menurunkan empu-empu terkenal di masanya. Anaknya bernama ki empu Damarjati alias Empu Bayu, berputera Ki Bayansari yang nantinya di Jawa belahan Timur disebut sebagai Empu Loning. Banyak berkarya pula di masa jayanya Bagelen, di Jawa bagian Tengah
KERIS BUATAN EMPU SOMBRO DALAM BERBAGAI CATATAN LAMA, salah satu catatan mengenai ciri-ciri keris buatan Empu Ni Mbok Sombro yang sering menjadi rujukan para sutresna keris terdapat pada Serat Panangguhing Dhuwung (Amratelakake kawruh bab panangguhing Duwung wiwit tangguh Pajajaran tumeka tangguh Surakarta) yang ditulis oleh Mas Ngabehi Wirasoekadga (1893-1939) salah satu mantri pande keraton Surakarta yang hidup pada jaman Pakubuwono X. Wirasoekadgo menulis Empu Ni Mbok Sombro dalam bab Dhuwung Tangguh Tuban beserta empu-empu lainnya seperti Ki Panekti, Ki Soeratman, Ki Galaita, Ki Bekel Jati, Ki Supadriya dan Jirak. Adapun ciri-cirinya adalah sebagai berikut:
Dhuwung ganja mulu gulu meled langsung, sirah cecak buweng, buntut urang papak, bangkekan bembeng embat kan. wasuhan pamor keset lembat, kadhang nglugut lenggahipun wagu seblakipun nyenyes mentah ingkang eluk dereng wonten, ingkang kathah gandhikan utawi ganja iras, wujudipun dhuwung alit celak saba nglempeng
keris dengan bagian gonjo mulu gulu meled lurus sirah cecak membulat, buntut urang rata/datar, bangkekan belakang bembeng, wasuhan pamornya kering lembut terkadang seperti gelugut, perawakan bilah agak janggal, dalam rasa pandang serba mentah yang berwujud luk belum pernah ada, paling banyak memakai gandik polos atau gonjo iras/menyatu, wujud kerisnya kecil pendek serta lurus
Kemudian dalam “PAKEM PUSAKA” Duwung, Sabet, Tumbak. Babon asli tetilaranipun Suwargi R.Ng Ronggowarsito, Kaliwon Pudjangga Kraton Surakarta (Lajeng kabangun sarta kasantunan Aksara Latin dening R. Ng Hartokretarto, Desember 1964 Ing Surakarta) juga ditemukan catatan sebagai berikut:
SUMBRO PADJADJARAN, gandjane kandel wijar tjekak, gandik pandjang, pedjetan wijar tjetek, siwilah wijar radi tipis radi tjendak. Nalika pandamelipun tanpa latu taksih katingal tapakipun djempolan dekok-dekok. Sekare tipis ngintip, tjirine wesi kapuntir putjuk wesi bolong
Sombro (ditulis: Sumbro) dari Pajajaran, gonjo tebal lebar pendek, gandik-nya panjang, pejetan luas dangkal, bentuk bilahnya lebar agak tipis dan agak pendek, dalam pembuatannya tanpa menggunakan api masih terlihat “cap” sidik jari ibu jari-nya yang cekung-bergelombang. Pamornya tipis “ngintip”, cirinya pada bagian pesi diuntir dan ujung pesi-nya berlubang
CATATAN GRIYOKULO, Dalam dunia perkerisan siapa yang tidak pernah mendengar keris Sombro. Keris dengan bentuk sederhana ini, justru lebih banyak dikenal karena mengedepankan unsur esoteri yang sangat luar biasa. Bila dilihat secara kasat mata, material besi, pamor dan baja yang terdapat pada keris sombro juga tidak berbeda dengan keris pada umumnya. Namun untuk tata laksana pembuatannya seolah menjadi misteri tersendiri, sebab konon dibuat tanpa ditempa dengan api, hanya dipijit-pijit dengan ibu jari tangan, sehingga terkadang pada keris sombro sering ditemukan lekukan-lekukan seperti bekas pijitan tangan. Belum lagi proses akhir penyepuhannya, yang menurut cerita tutur yang tersebar Empu Ni Mbok Sombro mempunyai cara yang sakral dalam menyepuh keris-keris buatannya. Konon cerita, bila keris telah selesai dibabar dan akan disepuh, keris itu dibakar sampai merah membara, kemudian bilah yang berpijar tersebut dijepit diantara kemaluannya. Cara sepuh seperti ini disebut sepuh wewadi. Dalam bahasa Jawa, wewadi selain berarti barang yang dirahasiakan adalah kata padanan untuk kemaluan. Terlepas benar tidaknya kisah-kisah di atas, wallahu a’lam ….. Kami pun tidak bisa menjawab.
Adapula kepercayaan di antara sebagian pecinta tosan aji yang secara personal mengganggap keris sombro merupakan salah satu keris tindhih utama, selain jalak dan bethok budha. Walaupun tentu saja pengalaman, pengetahuan dan pengertian setiap orang bisa berbeda antara satu dengan lainnya. Bagi mereka ini, ada hal besar lain yang diyakini. Empu Sombro adalah satu dari sedikit jumlah Empu wanita di Nusantara. Dengan kelas gender yang tidak sama dengan kebanyakan Empu lainnya, induksi yang dihasilkan melalui keris-keris ciptaannya dipercaya memiliki bobot spiritual berbeda yang sifatnya melengkapi kekurangan yang ada, serta energinya bersifat ngademke (mendinginkan). Yang pada akhirnya keris Sombro bukanlah keris senjata fisik, melainkan senjata spiritual.
Dialih-rawatkan (dimaharkan) sesuai dengan foto dan deskripsi yang tertera.
Griyokulo Gallery Jl. Teluk Peleng 128A Kompleks TNI AL Rawa Bambu Pasar Minggu Jakarta Selatan
Facebook : Griyo Kulo SMS/Tlp/WA : 0838-7077-6000 Email : admin@griyokulo.com
————————————