Mahar : ?,- (TERMAHAR) Tn. A, Malaysia
1. Kode : GKO-441
2. Dhapur : Bimo Rangsang
3. Pamor : Beras Wutah
4. Tangguh : Cirebon Tengah Era Mataram (Abad XVII)
5. Sertifikasi Museum Pusaka No : 1167/MP.TMII/XI/2020
6. Asal-usul Pusaka : Temuan makam busung
7. Dimensi : panjang bilah 37 cm, panjang pesi 7,8 cm, panjang total 44,8 cm
8. Keterangan Lain : sudah dijamas
ULASAN :
KERIS KALAWIJAN, sebenarnya bukanlah nama dhapur keris tertentu. Kalawijan itu sendiri lebih merupakan klasifikasi/penggolongan untuk keris-keris tertentu (di atas luk 13). Dalam dunia tosan aji istilah yang merujuk kepada kalawijan atau palawijan paling tidak memiliki dua arti: Pertama (yang benar), adalah nama yang diberikan kepada keris-keris yang jumlah luknya lebih dari tiga belas. Walaupun lebih dari 13 jumlah luknya, keris kalawijan juga mempunyai pakem ricikan dan nama dhapur. Yang luknya 15 atau 17, biasanya panjang bilahnya masih normal, tetapi bila jumlah luknya lebih dari 19, ukuran panjang bilahnya hampir selalu lebih panjang daripada keris umumnya. Dan yang kedua (salah kaprah), juga lazim digunakan untuk menyebut keris lurus maupun berluk 3 hingga 13 yang ricikan-nya tidak sesuai pakem atau tidak punya nama dhapur seperti keris-keris kamardikan atau owah-owahan yang “ingin terlihat unik/langka” seringkali atas nama pundi-pundi rupiah “mengorbankan” pakem yang ada. Selain pada keris, kalawijan juga terdapat pada tombak dan pedang.
Pada zaman dahulu keraton Surakarta juga memiliki barisan abdi dalem kalawijan. Disebut kalawijan karena memang tidak biasa. Atau jika dibahasakan yang lebih halus mempunyai kondisi fisik yang berbeda dengan orang-orang pada umumnya. Abdi-abdi dalem yang terlahir dalam kekurang-beruntungan atau keterbatasan fisik, seperti bucu (terlahir punggungnya bongkok), wujil cecebolan (orang cebol), bule (albino), jangkung (raksasa) dan yang memiliki ciri fisik berbeda lain, mereka ini memang sengaja disantuni (dipelihara) oleh kerajaan. Raja percaya jika ia memberi kehidupan kepada mereka (abdi kalawijan) akan mendatangkan keberuntungan khusus dan nasib yang baik. Karena bahwasanya Tuhan juga Maha Adil, jika seseorang diberikan keterbatasan/kekurangan maka Tuhan juga akan memberikan kelebihan dalam bentuk yang lain. Orang-orang kalawijan pada masa kolonial dalam jawa keseharian tidak hanya menunjuk kekurangan-kekurangan fisik yang ada, namun juga merujuk kepada orang-orang yang memiliki bakat khusus, seperti; pelukis, seniman, penari, penabuh gamelan dan lain sebagainya.
BIMO RANGSANG, menurut tabel “Nama Dhapur dan Ciri-ciri” yang terdapat dalam buku Keris Jawa Antara Mistik dan Nalar karangan Alm. Haryono Haryoguritno Dhapur Bimo Rangsang memiliki ciri-ciri ricikan : Luk 17, gandhik memakai kembang kacang dan lambe gajah dua (2). Selain itu dhapur Bima Rangsang memakai pejetan, tikel alis serta sogokan depan dan sogokan belakang (rangkap). Selain luk 17, adapula Bimo Rangsang yang luk 19, 21, 23, dst.
FILOSOFI, Kocap kacarito ada seorang bayi yang lahir dari rahim Dewi Kunthi. Pada saat lahir tubuhnya diselubungi oleh bungkus yang tidak dapat disobek oleh senjata apapun. Menurut cerita, bayi yang diberi nama “Bimo” itu bakal menjadi raja besar nan jaya setelah melalui perjuangan yang penuh dengan tantangan dan rintangan. Dalam kebersahajaanya Bimo memimpin rakyatnya dengan arif dan penuh tanggung jawab serta sangat mengemban amanat rakyatnya.
Sedangkan kata “Rangsang” (bahasa Kawi) berarti menyerang. Dalam dunia pakeliran lakon “Bimo Rangsang” adalah sepenggal kisah yang terjadi saat perang Wirata (Wirata Parwo). Lakon ini mengisahkan tentang Jagal Abilawa (nama samaran Bimo ketika muda) saat menghadapi Rajamala, raksasa sakti yang tidak pernah bisa mati jika terkena air. Kenapa Bimo merubah namanya menjadi Jagal Abilowo? Karna saat Pandhawa kalah main dadu dengan kurawa dan dibuang ke hutan belantara semua pandawa menyamar dan mengganti namanya agar tidak di ketahui kurawa saat berlindung ke negeri Wirata. Di negeri tersebut Bimo ikut dengan seorang jagal (penyembelih hewan), disitulah Bimo mengganti nama menjadi Jagal Abilowo.
Jagal Abilowo adalah pahlawan dari Kerajaan Wirata. Melalui lakon Bimo Rangsang, Bimo menunjukkan kepahlawanannya dalam membela negara yang hendak direbut oleh Rajamala. Maka dengan harapan yang sama, pemilik keris Bimo Rangsang dapat meneladani kisah Bimo sebagai seorang kesatria pembela kebenaran yang berani, ikhlas dan tanpa pamrih dalam mengemban tugas dan rela berkorban demi bangsa serta negaranya. Hal tersebut merupakan wujud kecintaan seorang warga negara pada tanah air yang sudah memberikan kehidupan padanya. Di era digital nan modern seperti saat ini pun, wujud bela negara telah berubah. Bela negara tak lagi berarti maju ke garis depan medan pertempuran, melainkan diwujudkan dalam berbagai aksi yang dapat berkontribusi positif terhadap kemajuan bangsa. “Seseorang bisa mencintai negaranya tatkala ia mampu menjadikan dirinya bermanfaat bagi lingkungan sekitarnya”.
TANGGUH CIREBON ERA MATARAM, Selain dipengaruhi oleh gaya pembuatan tosan aji “kulonan”, terutama Sunda Pajajaran, keris dan tombak Cirebon banyak juga dipengaruhi era kerajaan besar setelahnya yakni Mataram. Pada pusaka Bimo Rangsang ini karakter gaya kulonan masih diadopsi dari perwujudan bentuk luk-nya yang samar (kemba), dan berbilah lebar sehingga tampak birowo. Sedangkan bentuk gandhik, sekar kacang, blumbangan dan gonjo sebit rontal-nya sudah mulai mendapat pengaruh dari Mataram. Pun demikian dengan karakter pamornya.
PAMOR BERAS WUTAH, Dalam setiap cerita yang bergulir di masa lalu selalu dikatakan Nusantara dulunya adalah negeri yang gemah ripah loh jinawi kerta raharja. Seperti dalam ungkapan berikut: “negara sing gemah, ripah, kerta, raharja, gemah kang samya dagang rinten dalu ora ana pedote, ripah janma manca kang samya bebara jejel riyel sanajan tebih katon cerak, loh jinawe tegese kang samya tinandur dadi, kerta ingon-ingon kebo sapi raja kaya tan cinancangan yen rina aglar ing pangonan dene suruping surya mulih menyang kandange dewe-dewe tan ana kandang pinalangan lawang kinancingan amarga tebih saking dursila juti, raharja tebih ing parang muka Negara kang panjang pocapane luhur kawibawane gede obore duwur pupuse tur kasusra ing manca praja”.
jika diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia sebagai berikut:
“Gemah” maksudnya yang berdagang siang malam tidak ada henti-hentinya karena sangat ramai lalu lalang orang yang mencari rezeki. “Ripah” maksudnya orang asing yang merantau mencari rezeki penuh sesak memadati perkotaan sehingga tempat yang dahulu jauh sekarang tampak dekat. “Loh Jinawi” maksudnya Nusantara adalah Negara yang tanahnya subur yang ditanam pasti tumbuh dan berbuah. Kerta maksudnya peliharaan sapi, kerbau, kambing, dan lain-lain tidak pernah diikat jika siang hari mencari rumput/makan di tanah lapang dan jikalau malam menjelang pulang ke kandangnya sendiri-sendiri, tidak ada kandang yang diberi pintu penghalang pintupun tidak dikunci karena tidak ada orang yang berbuat jahat. Raharja maksudnya tidak mempunyai musuh, negara yang disegani, menjadi mercu suar dunia.
Yang akhirnya menjadi doa dan harapan bahwasanya pemilik pamor beras wutah akan dapat hidup layak, adil makmur sejahtera lahir, batin, dunia, dan akherat baldatun thoyyibatun wa robbun ghofur.
CATATAN GRIYOKULO, Diantara koleksi yang dihadirkan Griyokulo beberapa pusaka memiliki kisahnya sendiri yang cukup menarik. Selain Keris Pandhawa Cinarita di tahun 2016 (bisa dibaca disini), pusaka dhapur spesial dari tempat spesial yang satu ini Penulis golongkan pula sebagai “keris uka-uka”. Uka-uka disini bukan karena hal-hal menyeramkan yang berhubungan dengan jin, setan, khodam atau hal hal lainnya, melainkan riwayat atau kisahnya yang menarik.
Berbeda dengan keris temuan lain yang umumnya ditemukan di aliran sungai-sungai besar pada masanya, pusaka ini justru ditemukan di dalam sebuah Cungkup makam busung (bangunan beratap yang berada di dalam kuburan) di daerah Pataruman, Banjar (Jawa Barat). Dinamakan makam busung oleh penduduk setempat karena makam tua tersebut sudah tidak difungsikan. Saat pertama kali ditemukan bisa dikatakan kondisinya sangat memprihatinkan, tidak jauh berbeda dengan keris-keris temuan sungai, dalam kondisi berselimut karat dan sandangan yang biasa dikatakan tidak layak. Dengan penuh kesabaran selama berminggu-minggu Penulis sendiri yang melakukan proses pembersihannya. Hal ini untuk memastikan bilah tidak terkena cairan kimiawi seperti citrun dan lainnya.
Selanjutnya, pusaka ini sudah diberikan sandangan sandang walikat dengan menyisakan bagian garan jawa demam yang masih dapat dipakai. Monggo bagi panjenengan yang “bernyali” bisa meneruskan untuk merawatnya dan menentukan sendiri nilai mas kawinnya.
Dialih-rawatkan (dimaharkan) sesuai dengan foto dan deskripsi yang tertera.
Griyokulo Gallery Jl. Teluk Peleng 128A Kompleks TNI AL Rawa Bambu Pasar Minggu Jakarta Selatan
Facebook : Griyo Kulo SMS/Tlp/WA : 0838-7077-6000 Email : admin@griyokulo.com
————————————