Pandhawa Cinarita Corog Kanjeng Kiyahi Tedhak Tilar

termahar logo griyokulo

Mahar : ?,- (TERMAHAR) MR. AZ Jakarta


pandhawa cinarita corok pandhawa cinarito corog
  1. Kode : GKO-93
  2. Dhapur :Pandhawa Cinarita
  3. Pamor : Wengkon Isen (Catur Warno)
  4. Tangguh : Cirebon Abad XVII (Era Mataram Sultan Agung)
  5. Sertifikasi : Museum Pusaka TMII No : 29/MP.TMII/I/2016
  6. Asal-usul Pusaka : Cijulang, Jawa Barat
  7. Keterangan Lain : Panjang wilah = 43,5 cm ; pesi 7 cm ; panjang total : 50,5 cm / temuan cungkup area makam

sertifikasi cinarita

Ulasan :

Pandawa Cinarita atau Pendawa Carita, adalah salah satu bentuk dhapur keris luk lima. Bilahnya ada yang nglimpa, ada yang nggigir sapi; memakai ada-ada. Keris ini memakai kembang kacang; lambe gajah-nya hanya satu. Pakai sogokan rangkap, sraweyan dan greneng. Keris dhapur Pandawa Cinarita tergolong populer walaupun sekarang jarang dijumpai. Karena dianggap bertuah baik bagi orang yang mecari nafkah dengan cara bicara, keris berdhapur Pandhawa Cinarita ini dahulu banyak dimiliki oleh para Dalang.

Keris Luk Lima mengandung makna agar manusia mengasah panca inderanya menuju ke hidup yang lebih baik, yaitu di jalan yang benar. Keris Luk lima juga mengandung arti bahwa manusia diajak untuk meniru watak para kesatriya Pandawa yang jujur, berani, membela kepentingan orang banyak, mengasihi sesamanya dan dekat dengan Tuhan-nya.

Pandhawa Cinarita, artinya adalah sunguh-sungguh berwujud lima. Rahasianya adalah mengetahui kekuatan (5 unsur) yang apabila bisa dikendalikan menjadi Kesatriya tak tertandingi. Kekuatan yang terdiri dari lima unsur itu adalah:

Pertama, keduniawian. Hal ini menjadi peringatan bahwa hal duniawi memanglah sesuatu hal yang sewajarnya diperlukan, namun demikian janganlah memburunya sebagai suatu tujuan hidup. Jika hal duniawi ini dikejar dengan meniadakan segala etika dan moral, pastilah menimbulkan keserakahan dan ketamakan. Akhirnya, tidak takut kepada larangan-larangan agama bahkan Tuhan-nya.

Kedua, hewani. Artiya di dalam diri manusia terdapat sifat hewani, hanya mengandalkan intuisi tanpa menggunakan akal pikirnya dan rasa. Akibatnya tidak mempunyai moral, tata susila, tidak beretika. Semua norma dan aturan akan dilanggarnnya.

Ketiga, kerohanian. Ini sebuah peringatan bahwa manusia dalam hidupnya jangan mengumbar nafsu. Nafsu harus dikendalikan. Jawa berarti njaga wibawa (menjaga kewibawaan), bukan nguja hawa (mengumbar nafsu).

Keempat. kasetanan. Artinya jangan sampai manusia itu bertindak yang tidak seharusnya karena sifatnya yang angkuh, tamak, angkara murka dan lain sebagainya. Artinya dia maunya menang sendiri, tidak mau menghargai orang lain.

Kelima, ketuhanan, yang sesungguhnya kosong. Jangan salah mengerti bahwa kosong itu tidak ada apa-apanya. Kosong bagi orang Jawa merupakan kekuatan yang luar biasa karena bagi orang Jawa sesebutan Tuhan adalah Tan Kinayang apa ananging ana, artinya Tuhan itu tidak bisa diceritakan seperti apa tetapi toh Tuhan itu ada.

Melengkapi kisah unik dari keris Pandhawa Cinarita ini, Keris ini penulis dapatkan dari salah seorang Hunter (pemburu keris di desa-desa). Keris ini sudah lama tersimpan di sebuah cungkup (rumah kubur) sarean (makam) di daerah Cijulang, Kabupaten Pangandaran Jawa Barat. Dan adanya keris yang disimpan dalam cungkup ini memang sudah banyak diketahui oleh penduduk sekitar. Info keberadaan keris ini kawan penulis peroleh dari penduduk setempat. Perlu waktu yang tidak sebentar serta usaha yang tidak mudah untuk bisa meyakinkan Juru Kunci Makam dan penduduk sekitar agar bisa mendapatkan keris spesial ini.  Setelah melakukan pendekatan dengan Juru Kunci selama 1 bulan lebih, akhirnya keris Pandhawa Cinarita ini bisa didapatkan, dengan salah satu syarat diantaranya adalah Kepungan (kenduri/selamatan/syukuran) dengan warga sekitar makam. Yang menjadi pertanyaan selanjutnya kenapa keris ini tersimpan di area cungkup? dan siapa pemilik sebelumnya? Penulis tidak bisa mendapat jawaban memuaskan karena menurut informasi A1 dari Juru Kunci Makam, keris Pandhawa Cinarita ini sudah lama berada di tempatnya sebelum beliau menjadi Juru Kunci. Satu hal yang penulis yakini tentu saja keris ini bukan keris sembarang, karena sudah puluhan tahun tersimpan aman di cungkup tidak ada seorangpun yang berani mengambil.

Jika mau jujur, Penulis sendiri tertarik untuk memahari pusaka ini karena ada cerita yang mengiringi pusaka ini. Dan Hunter tersebut, Penulis anggap orang yang bisa dipercaya/tidak hanya menjual cerita. Dan disini Penulis hanya sebatas menceritakan ulang tanpa menambah ataupun mengurangi. Lebih Beruntungnya lagi, dari pengamatan visual besi, pamor dan garap keris ini tentunya bukan “keris biasa”.

Kanjeng Kiyahi Tedhak Tilar

Karena keris ini penulis anggap spesial dari tempat yang bisa dianggap spesial  juga, segala proses menjamas pusaka, dari pemutihan bilah yang penuh dengan karat hingga mewarangi Penulis lakukan sendiri. Ada kenikmatan dan sensasi sendiri ketika proses tersebut bisa dilalui dari A Sampai Z, dari bilah berkarat hingga tampil indah. Sebuah gelar institusional (bukan keraton) Penulis sematkan kepada keris Pandawa Cinarita ini, sebagai pengingat behind the scene keris ini, yakni Kanjeng Kiyahi Tedhak Tilar. Tedhak artinya turun atau menapakkan kaki, sedangkan Tilar artinya (pernah) ditinggalkan (dalam cungkup). Arti secara harafiah adalah menggambarkan persiapan seorang anak manusia untuk menjalani kehidupan baru yang benar dan sukses dimasa mendatang, dengan berkah Tuhan dan bimbingan orang tua.

keris pandawa cianarita corog keris pandhawa cinarita

Tangguh Cirebon

Budaya keris Cirebon bisa digolongkan ke dalam tiga era, yakni era Cirebon Sepuh (awal), era Cirebon Madya (pertengahan) dan era Cirebon Pungkasan (akhir). Ciri-ciri Cirebon sepuh mirip dengan keris-keris Pajajaran pada umumnya, bila kerisnya lurus, bilah tampak lebar namun tipis, jika kerisnya memakai luk, luknya kemba dan hemet (samar). Juga pada kualitas besi masih tinggi kandungan besi malela serta kualitas pamor berkesan ngapas kurang cerah. Keris-keris tersebut memang tidak mengutamakan estetika (garap) namun lebih ditujukan sebagai pusaka tayuhan, yang lebih mengutamakan sisi isoteri (tuah,angsar,yoni) sesuai aliran keagamaan pada waktu itu yang lebih ke arah tasawuf dan lahirnya tarekat Satariyah.

Pada era Cirebon Madya, pengaruh Mataram di tanah Priangan dan Cirebon semakin kuat. Tidak hanya pengaruh secara politik namun juga akulturasi budaya. Kondisi tersebut secara langsung maupun tidak langsung berpengaruh kepada karakter kepusakaan di Cirebon. Semisal luk yang sebelumnya mengadopsi gaya Pajajaran, pada masa ini mulai muncul bentuk yang dinamis dimana luk mulai rengkol dan manis. Selain kembang kacang yang lebih mirip dengan telale (belalai) gajah, penggunaan ganja wulung (tanpa pamor), dan yang paling bisa dibedakan adalah ukuran panjang bilah keris yang mencapai 41-45 cm. Disebut dengan sebutan umum “keris corok” untuk membedakan dengan keris Jawa pada umumnya sekitar 33-38 cm.

Sedangkan pada era Cirebon akhir lebih banyak didominasi produksi masal senjata dan pusaka untuk mendukung peperangan melawan Kolonial Belanda.  Untuk menangguh suatu keris Cirebon, kecocokan dengan besi sezaman bisa dijadikan parameter penilaian. Jenis besi dan pamor keris Pandawa Cinarita ini memiliki kemiripan dengan besi Mataram. Keserupaan ini kemungkinan disebabkan oleh ketersediaan bahan besi yang ada pada masa tersebut, dan unsur distribusi dalam wilayah-wilayah kerajaan yang berkuasa. Ditambah tangguh berdasarkan letak Geografis penemuan di sekitar daerah Pangandaran, Jawa Barat yang notabene tidak jauh dengan Cirebon semakin melengkapi penangguhan.

uler lulut pamor uler lulut

Pamor Caturwarno

Dari gambaran pamor yang menghiasi bilah ini sebenarnya bisa didapat 4 macam pamor, yakni:

1. Wengkon, sebagian orang lagi menyebutnya pamor tepen, bentuknya memang mirip bingkai (wengkon berarti bingkai), merupakan garis yang menghias pinggir bilah keris (tepen bererti pinggir atau tepi). Tuahnya adalah untuk perlindungan terhadap pemilik.

2. Kulit semangka, sepintas lalu memang tampak seperti kulit dari buah semangka, tuahnya memudahkan mencari jalan rejeki dan si pemilik akan mudah bergaul dengan siapa saja dari golongan manapun.

3. Uler Lulut, sepintas lalu bentuk gambaran pamor uler lulut agak mirip dengan pamor bendo segodo, bedanya pada pamor uler lulut ukuran bulatan-bulatannya lebih kecil. Kata uler lulut dalam bahasa Indonesia berarti ular jinak. Tuahnya untuk memudahkan datangnya rejeki, selain itu sang pemilik akan lebih luwes dalam pergaulan sehingga banyak kawan ataupun relasi. Dalam bidang pekerjaan akan lebih disayang dan dipercaya atasan.

4. Asihan, bentuknya sama betul dengan pamor Ngulit Semangka, hanya letaknya pamor itu menyambung antara yang di bagian bilah dengan yang di bagian ganja. Karena tuahnya terutama adalah untuk memudahkan dan memperlancar pergaulan, termasuk lawan jenis, yang umumnya disebut “pengasihan“, maka pamor yang begini disebut pamor Asihan. Penyebutannya secara lengkap adalah Pamor Kulit Semangka Asihan.

keris luk 5 tangguh cirebon tangguh cirebon

Pengalaman melolos pusaka ini dari warangkanya, rasa takjub Penulis rasakan. Kesan aura wingit, gagah, merbawani, indah semuanya bercampur menjadi satu. Penulis merasakan suatu maha karya di masa lampau yang pancaran energinya masih bisa ditangkap pada masa sekarang. Tidak perlu banyak diulas sepertinya Pusaka ini sudah bisa bercerita sendiri kedudukan/kastanya diantara keris-keris lain.

Ditawarkan sesuai dengan foto, video dan deskripsi yang tertera.

Contact Person :
 

Griyokulo Gallery Jl. Teluk Peleng 128A Kompleks TNI AL Rawa Bambu Pasar Minggu Jakarta Selatan

Facebook : Griyo Kulo SMS/Tlp/WA : 0838-7077-6000 Pin BB : 5C70B435  Email : admin@griyokulo.com

————————————

One thought on “Pandhawa Cinarita Corog Kanjeng Kiyahi Tedhak Tilar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *