Mahar : 13.131.313,- (TERMAHAR) Tn D, Ciputat, Tangerang Selatan
1. Kode : GKO-440
2. Dhapur : Raseksa
3. Pamor : Sada Saler
4. Tangguh : Cirebon Sepuh (Abad XVI)
5. Sertifikasi Museum Pusaka No : 1131/MP.TMII/XI/2020
6. Asal-usul Pusaka : Rawatan/Warisan Turun Temurun
7. Dimensi : panjang bilah 31,3 cm, panjang pesi 5 cm, panjang total 36,3 cm
8. Keterangan Lain : kolektor item
ULASAN :
KERIS TAYUHAN, merupakan sebutan bagi keris yang dalam pembuatannya lebih mementingkan soal esoteri (tuah) daripada sisi eksoteri (keindahan garap). Keris-keris tayuhan biasanya mempunyai karakter atau kesan yang wingit, memancarkan perbawa tertentu dan ada kalanya terasa angker.
Walaupun segi keindahan tidak ditonjolkan, keris tayuhan tetaplah mempunyai bobot spiritual tersendiri karena pembuatnya juga seorang Empu, dan seorang Empu sudah tentu mempunyai daya linuwih serta kepekaan batin. Patut diketahui pula bahwa keris-keris pusaka milik keraton, baik di Yogyakarta maupun di Surakarta, pada umumnya adalah jenis tayuhan. Dhapur keris tayuhan biasanya juga tampil dalam ricikan sederhana, bukan jenis dhapur yang mewah. Selain itu, keris tayuhan umumnya berpamor tiban, bukan pamor rekan. Di kalangan pecinta keris, keris tayuhan bukan keris yang mudah diperlihatkan kepada orang lain, apalagi dengan tujuan untuk show off atau sekedar pamer. Keris tayuhan biasanya sinengker, disimpan dalam kamar pribadi dan hanya dibawa ke luar kamar ketika akan dijamas pada malam 1 Suro.
RASEKSA, adalah salah satu bentuk dhapur keris lurus. Selain perawakan bilahnya yang juga mempunyai kesan lurus, dhapur raseksa juga mempunyai ciri lain, yakni pada bagian gandhik-nya terdapat ukiran berbentuk denawa (raksasa). Dhapur Raseksa termasuk salah satu dhapur keris yang sangat langka ditemukan.
FILOSOFI, Raseksa, denawa, asura, yaksa adalah dasanama atau beberapa kata yang memiliki arti/makna yang sama dari Buta (Buto, Jw). Dalam dunia pakeliran selain golongan widodari (bidadari), ratu (raja), satriya (kesatriya), pandhita (pendeta) juga mengenal golongan raseksa pada simpingan kiri (barisan wayang yang dijajar di sebelah kiri kelir).
Raksasa disebut Asura dalam bahasa Sansekerta. Mereka tidak sura, tidak selaras dengan kehidupan. Mereka tidak seirama dengan keberadaan. Maka, jika melihat wujud atau penggambarannya, ciri-ciri golongan raksasa itu sangat jelas. Tentu ciri yang paling nampak bahwa raksasa itu raut mukanya tidak seperti manusia pada umumnya, sebab raut mukanya serba menakutkan (buruk rupa), hidungnya besar seperti lengkung tepi perahu (canthiking baita), mata bulat besar, mulut lebar, gigi besar, memiliki taring panjang, rambut kumpul (gimbal), bulu rambut tangan dan kaki panjang lebat (dhiwut), dan ciri yang tidak bisa diraba tetapi pasti bahwa raksasa itu jahat.
Ada beberapa golongan raksasa, salah satunya adalah raksasa raja bermahkota (Buta Raton Makutha). Selain itu adapula raksasa raja muda (pogog rambut gimbal), raksasa patih, raksasa prepat/prajurit, raksesi atau raksasa perempuan, raksasa jenaka atau gecul, raksasa kerdil atau bajang, dan raksasa berhala. Golongan raksasa-raksasa tersebut mempunyai kedudukan yang tidak sama. Raksasa Raja Bermahkota ini tidak diberi nama. Dalam pewayangan disebut wayang serbaguna (srambahan). Apabila akan diperankan dan menduduki sebuah negara maka nama negara tersebut terserah kepada Ki dalang.
Dalam dunia esoteri, keris dengan gandhik raseksa ini lebih banyak dihubungkan dengan hal-hal mistis, apalagi masyarakat Nusantara adalah termasuk masyarakat yang masih kental dengan dunia kleniknya. Oleh sebagian orang yang benar-benar meyakininya, dhapur raseksa dipercaya jika dirawat dengan benar dapat bermanfaat sebagai “media” untuk mendulang kekayaan serta bisa melindungi harta benda pemiliknya, yang tidak bisa didapat dari keris dengan pamor kerejekian semisal udan mas. Benarkah seperti itu?
Atau melalui dhapur Raseksa kita justru akan selalu diingatkan oleh para leluhur akan sifat alami manusia? Seperti golongan raksasa yang dalam dunia wayang ditempatkan di sisi sebelah kiri maka raseksa ini adalah simbol kekejaman, keserakahan, kebiadaban, dan keangkaramurkaan yang ada dalam jantung (baca : hati setiap manusia) yang letaknya memang di sebelah kiri. Singkat kata, raksasa selalu menjadi simbol segala keburukan dan bukan simbol kemanusiaan ataupun keadaban yang akan selalu abadi atau hadir dalam setiap zaman. Karna para raseksa di zaman sekarang tidak mesti tampil dengan tanduk dan taring, namun ia tetap selalu merasa lebih kuat atau lebih benar dari yang lain.
EMPU CIREBON, Menyebut Cirebon, orang kini seolah sudah lupa membayangkan jejak kebesarannya di masa lalu sebagai kota pelabuhan dan kerajaan pesisir yang termasyur, tetapi saat ini justru lebih kerap menggunjingkan hal-hal yang berbau mistis daripada religinya, sesuatu yang lazim melekat di daerah yang pernah punya pengaruh dan kharisma besar pada masanya. Cirebon juga sangat menarik, sebagai wilayah pesisir utara Jawa yang sangat kental nuansa keislamannya justru terasa cair dalam seni budayanya. Beragam bentuk arca hewan, dewa, atau makhluk mitologi justru banyak terpahat, suatu hal yang bisa dikatakan tidak lazim di daerah-daerah dengan pengaruh Islam yang kuat.
Konon pula, empu-empu yang berkarya di daerah Cirebon awal diperkirakan mempunyai hubungan dengan cerita berpindahnya para Empu Pajajaran. Dalam sejarahnya para Empu di Cirebon kebanyakan berasal dari Pajajaran yang bermigrasi/mengasingkan diri. Konon mereka ini kebanyakan difitnah oleh para petinggi kerajaan karena kedekatan hubungan para Empu kepada Raja sehingga menjadikan para petinggi kerajaan takut kehilangan kedudukan/perannya. Oleh karena itu apa yang dibabar oleh para Empu Cirebon adalah pusaka yang sebenarnya diorientasikan untuk membalikkan fitnahan dari para petinggi Pajajaran, seperti Bango Tulak, Setan Kober dan Tundung Mungsuh.
Para empu yang melegenda kala itu salah satunya ialah Empu Bayuaji. Konon dalam kisahnya Empu Bayuaji bertempat-tinggal di pinggir hutan, yang setiap harinya bergaul dengan hewan-hewan atau binatang buas yang hidup di hutan tersebut. Malahan dalam cerita, Empu Bayuaji menjadi guru dari jin-jin prewangan yang ada di hutan tersebut. Konon dengan bantuan jin-jin tersebut lahirlah keris Kiai Setan Kober milik Arya Panangsang yang terkenal panas itu. Namun ada versi lain yang mengatakan bahwa Kiai Setan Kober hanya anekdot dari gambaran betapa ampuhnya keris Kiai Setan Kober itu. “Tan kober sambat“, artinya orang yang meskipun hanya tergores sedikit saja akan langsung dijemput ajalnya, tanpa sempat mengaduh.
Empu yang lain adalah Empu Damarjati. Berseberangan dengan Empu Bayuaji, Empu Damartaji tidak mau bahkan menentang jin-jin mendekat. Tanpa bantuan jin-jin pun Empu Damarjati mampu membuat keris-keris hebat yang bernama Kiai Sabuk Lonthang dan Kiai Lamak Godong. Tetapi lantaran selalu diganggu jin-jin, Empu Damarjati ini akhirnya berpindah ke Timur. Maksud dari ke Timur bisa saja ke Majapahit atau bandar laut terbesar waktu itu, yakni Tuban.
Selain itu pada zaman Majapahit terdapat seorang Empu bernama Wanawasa, putra dari Empu Dana, yang pindah dari Karang ke Cirebon. Namun kala itu Empu Wanawasa hanya membuat pedang saja, tidak membuat tombak maupun keris. Terdapat pula cerita pada zaman Mataram Sultan Agung, 800 empu dikumpulkan (Pakelun). Ada seorang Empu bernama Empu Mayi putra dari Empu Pengasih di Karang. Setelah tugasnya selesai ia tidak kembali ke Karang, melainkan menetap di Cirebon.
PAMOR SODO SA’LER, adapula yang menyebutnya dengan “sodo lanang”. Sodo adalah lidi, Sa’ler adalah satu batang, arti harfiahnya adalah Lidi Sebatang. Sesuai dengan namanya gambaran motif pamornya berupa garis lurus membujur sepanjang tengah bilah.
Menurut Serat kuno berjudul Pakem Pusaka (Duwung, Sabet, Tombak) yang ditulis oleh oleh R.Ng Hartokretarto (1964) berdasarkan babon asli peninggalan R, Ng Ronggowarsito dituliskan ternyata pamor sodo sa’ler merupakan ageman priyayi bukan untuk orang sembarangan agar supaya selalu pinayungan (dilindungi Yang Maha Kuasa), selalu beruntung dan menjadi lebih baik. Bahkan jika ditorehkan di pedang yang memakainya sepatutnya seorang Senapati.
Oleh masyarakat perkerisan tuah pamor sodo sa’ler juga dipercaya untuk menambah kewibawaan, menaikkan tingkat kepercayan diri, untuk ketenaran (popularitas), menambah keteguhan hati, dan kuat iman, serta sebagai pagar pertahanan diri dan untuk mengusir kekuatan jahat.ILINING WARIH, atau sering disebut banyu mili secara harfiah berarti air yang mengalir, merupakan salah satu motif pamor yang bentuk gambarannya menyerupai garis-garis yang membujur dari pangkal bilah hingga ke ujung. Garis-garis pamor itu ada yang utuh, ada yang putus-putus, dan banyak juga yang bercabang. Garis yang berkelok-kelok itu seolah menampilkan kesan mirip gambaran air sedang mengalir. Seperti filosofi air yang selalu mengalir mencari jalannya sendiri dari gunung (hulu) hingga samudera (hilir). Dari tempat yang tinggi ke tempat yang lebih rendah. Mengajarkan kita untuk menjalani kehidupan dengan lebih tenang. Sebab terkadang dalam hidup tidak semua hal bisa kita kontrol atau kita ubah, Maka jalani saja, seperti air yang mengalir.
GONJO SUMBERAN atau KLOWONGAN, adalah pamor yang terletak di bagian wuwungan gonjo (sisi yang terlihat dari luar ketika bilah dimasukkan ke dalam warangka). Bentuknya berupa bulatan berlapis-lapis mirip mata kayu. Pamor sumber tergolong sangat baik dan banyak sekali dicari orang, karena dipercaya dapat membantu mendatangkan rezeki bak sumber/mata air yang tidak pernah kering, terus mengalir di musim kemarau sekalipun. Menurut catatan yang ada pada zaman Pakubuwono IV, Empu Brajaguna III pernah pula membuat sebuah dhapur keris lurus berpamor adeg wengkon dengan ciri tambahan berupa puseran atau klowongan berjumlah 5 buah pada bagian gonjo. Keris itu bernama Kyai Brajaguna.
CATATAN GRIYOKULO, Mistis sekaligus misterius, adalah dua kata yang Penulis rasakan paling cocok untuk menggambarkan keberadaan pusaka tayuhan ini. “Mistis” yang dapat dirasakan dari aura dan guwaya penampilan sang raseksa bermahkota emas pada bilahnya, hingga aroma yang dapat dihirup saat bilah dilolos dari warangkanya. “Misterius”, karena mengundang rasa ingin tahu: “mengapa justru personifikasi dari tokoh kiwo (kiri) yang dipilih, bukan manusia dari golongan kesatriya?” Apapun yang melatar belakanginya, selain faktor kelangkaannya, pusaka ini juga dipercayai memiliki bobot esoterinya khusus maupun kecocokannya tersendiri. Maka kami percaya sang Pusaka yang nantinya akan memilih Tuannya sendiri.
Dialih-rawatkan (dimaharkan) sesuai dengan foto dan deskripsi yang tertera.
Griyokulo Gallery Jl. Teluk Peleng 128A Kompleks TNI AL Rawa Bambu Pasar Minggu Jakarta Selatan
Facebook : Griyo Kulo SMS/Tlp/WA : 0838-7077-6000 Email : admin@griyokulo.com
————————————