Keris Pamor Satriya Pinayungan

10590558_1712292255668741_9142982091114899016_n

Mahar : 15.000,000,- (TERMAHAR) Capt. AA, Balikpapan


1. Kode : GKO-331
2. Dhapur : Tilam Upih
3. Pamor : Satriya Pinayungan
4. Tangguh : Tuban (Abad XVII)
5. Sertifikasi Museum Pusaka No : 1586/MP.TMII/XI/2018
6. Asal-usul Pusaka : Juwangi, Kabupaten Boyolali
7. Dimensi : panjang bilah 32,5 cm, panjang pesi 7 cm, panjang total 39,5 cm
8. Keterangan Lain : kolektor item


ULASAN :

TILAM UPIH, adalah nama dhapur keris lurus yang sederhana. Gandik-nya polos, hanya mempunyai dua ricikan : tikel alis dan pejetan. Sepintas dhapur Tilam Upih bentuknya mirip dengan dhapur Brojol, perbedaanya dhapur Brojol tidak dilengkapi dengan tikel alis.  Karena model ricikan-nya relatif sederhana tidak neko-neko, menjadikannya pada jaman dahulu banyak orang yang bersedia menyandangnya. Bisa dikatakan mudah diketemukan pada setiap tangguh, mulai dari tangguh sepuh sanget hingga nom-noman. Keris Tilam Upih juga tergolong bukan keris pemilih, sehingga dapat dikenakan oleh para bangsawan hingga masyarakat umum. Pada umumnya keris ini dimiliki oleh mereka yang sudah berkeluarga (sebagai pusaka keluarga), atau mereka yang telah lanjut usia, namun juga tidak menutup kemungkinan dikenakan oleh mereka yang masih muda.

Menurut kitab sejarah Narendra Ing Tanah Jawi (1928) dhapur Tilam Upih (diberi nama Jaka Piturun) dibuat bebarengan dengan dhapur Balebang (diberi nama Pamunah) pada tahun 261 Saka pada era pemerintahan Nata Prabu Dewa Budhawaka. Jika kita membaca serat Jawa kuno yang menceritakan Empu-Empu yang hidup pada jaman Pajajaran hingga Mataram, ternyata hampir semua Empu yang ada membabar dhapur Tilam Upih dalam karya-karyanya. Di dalam gedong pusaka keraton Yogyakarta pun sedikitnya ada tiga keris pusaka yang ber-dhapur Tilam Upih, yaitu Kanjeng Kiyahi Pulanggeni, Kanjeng Kiyahi Sirap, dan Kanjeng Kiyahi Sri Sadono. Itulah secuil kisah yang mungkin sedikit menjawab mengapa dhapur Tilam Upih menjadi cukup populer atau terkenal hingga saat ini.

FILOSOFI, Konon menurut cerita tutur masyarakat, Sunan Kalijaga pernah menyarankan kepada pengikut-pengikutnya bahwa keris pertama harus dimiliki adalah dhapur Tilam Upih. Menurut ilmu simbol perkerisan dari Sunan Kalijaga yang ditulis di dalam Serat Centhini, Tilam Upih adalah lambang dari cinta dan kelembutan wanita. Mengandung makna pasemon jika seseorang telah mencintai keris sikapnya bagaikan orang yang mencintai  seorang perempuan yang menjadi garwa (istrinya), dimana ingatan pikirnya selalu tertuju kepadanya. Pada sisi lain, ada sebuah komitmen atau pengorbanan (waktu, tenaga, biaya) untuk merawatnya dengan baik. Keris Tilam Upih juga dianggap baik dimiliki bagi mereka yang sudah berumah tangga, akan cocok bagi siapapun, setia mendampingi berjuang dari awal, dalam suka maupun duka. Yang diumpamakan mempunyai karakter sebagai estri, yang penuh cinta dan kasih sayang (ngademke). Seperti layaknya seorang wanita, cantik, anggun, luwes, penuh kasih sayang mampu meredam keangkeran, ego, emosi/kekerasan namun tetap kuat dan landhep. Karna sesungguhnya keris Tilam Upih adalah sebuah simbol wanita yang senantiasa mengiringi simbol kejantanan.

TENTANG TANGGUH, keris-keris Tuban memang identik dengan keris lurus. Kesederhanaan bentuk ini diyakini berkaitan dengan karakter masyarakat Tuban yang lugas dan blak-blakan. Secara langgam rasanya semua orang akan setuju jika keris Satriya Pinanyungan ini membawa cengkok keris Tuban. Besinya yang semburat hijau/kekuning-kuningan justru mendekati besi keris Demak, karena tangguh Tuban umumnya memiliki warna besi yang lebih hitam dan seperti banyak pasir malela-nya. Apakah ini yang dinamakan besi katub? yang menurut serat wesi aji (1928) warnanya hitam sulak hijau, bercahaya bening, serat/ototnya halus seperti rambut. Angsarnya jika dibuat pusaka segala keinginan pemiliknya akan tercapai, jika dibawa di malam hari penglihatannya awas, jika dibawa dalam peperangan akan menjauhkan dari serangan musuh (luput ing mimis) dan jika digunakan untuk berdagang akan kaya. Pada umumnya keris-keris tangguh Demak secara perincian bagian-bagian bilahnya memang menyerupai tetangga dekatnya Tuban dan imperium besar yang sebelumnya pernah berkuasa, Majapahit. Permasalahan tangguh memang acapkali menimbulkan perbedaan, karena tangguh sendiri sifatnya hanya membuat sebuah perkiraan berdasarkan faktor A,B,C.D… dst. Sangat dimungkinkan keris ini di buat pada era yang lebih tua daripada yang tertulis pada surat keterangan (abad XVII).

Sejenak kita beralih kepada pembahasan yang tidak kalah menarik, mengenai tangguh berdasarkan geografi terakhir keris ini ditemukan. Pusaka ini didapatkan dari seorang Bapak paruh baya (kurang lebih usia 50 tahunan), di daerah Juwangi yang merupakan sebuah Kecamatan di Kabupaten Boyolali berbatasan langsung dengan Kabupaten Grobogan. Menurut penuturan pusaka ini adalah warisan turun temurun dari ayah-kakek-buyut ke atasnya dan sudah lama berada di daerah yang sama. Sandangan (warangka) yang ada juga masih mempertahankan sandangan lama saat pusaka diwariskan.

mendak perak yang sederhana namun indah

Lantas kenapa menjadi menarik? (setidaknya bagi Penulis). Dari dahulu, keris/tombak/pedang yang berasal dari daerah-daerah sepanjang kali Serang menjadi idaman tersendiri Penulis. Yang pertama karena leluhur Penulis berasal dari Gagatan. Dan yang kedua, dengan menilik catatan sejarah yang ada seolah aura mahanani pusaka-pusaka ini masih terasa, belum lama mendampingi jiwa-jiwa keperwiraan para ksatria Jawa dalam mempertahankan harkat dan martabatnya.

kali serang, Jawa Tengah

peta jawa tengah kuno

Menurut buku De Java-oorlog van 1825 tot 1830 karangan Louw P.H dan  E.S de Klerck mencatat : “Wilayah Serang dan sekitarnya diberikan kepada Sunan Kalijaga dan trahnya pada abad XVI oleh Sultan Pajang, dan mereka berhak memakai gelar “Raden” atau “Pangeran”. Hebatnya meskipun banyak dari mereka bergelar bangsawan namun tetap bekerja sebagai petani biasa.” Selama Perang Jawa, keturunan jauh wali tersebut, seperti Nyi Ageng Serang dan Pangerang Serang II namanya cukup menggetarkan, dan sangat dihormati oleh pengikut Pangeran Diponegoro sebagai pribadi-pribadi yang dianugerahi kasekten luar biasa. Pasukan Alap-Alap di bawah pimpinan Tumenggung Prawirodigdoyo yang terdiri dari gabungan para pemuda Kadipaten Serang dan Kabupaten Gagatan juga menjadi momok nggegirisi bagi kumpeni. Banyak kemenangan yang diraih pasukan ini dengan gemilang, seperti penyerbuan sejumlah Tangsi militer di Purwodadi, Ngawi, Madiun dan Banyubiru. Tidak hanya pasukan lelaki, seolah tidak mau kalah terdapat pula adanya laskar wanita yang dipimpin oleh R.A Sumirah (adik sepupu Pangeran Diponegoro), dibantu oleh R.A Akhadiyah (pengawal Sunan PB VI) dan R.A Marwiyah (adik Kyai Mojo, pengawal Sunan PB VI). Tercatat pemudi-pemudi yang tergabung dalam pasukan wanita Diponegoro yang terbesar jumlahnya ialah dari wilayah Serang. Sebuah fakta sejarah yang tidak bisa dipandang sebelah mata.

gambar pamor satriya pinayungan versi pertama (Surakarta) dan versi kedua (Yogyakarta)

SATRIYA PINAYUNGAN, dalam makna harfiah atau arti secara literal adalah (seorang) Satriya (yang selalu) Pinayungan. Pinayungan sendiri dalam bahasa Jawa berarti dipayungi atau dilindungi oleh Tuhan YME. Maka makna denotasi dari Satriya Pinayungan adalah seorang ksatriya yang selalu dilindungi oleh Tuhan YME. Dari segi bentuknya, setidaknya terdapat  dua (2) versi motif penggambaran Satriya Pinayungan. Versi pertama (seperti pada pusaka ini) banyak dianut oleh pecinta keris dari Surakarta dan Jawa Timur, bentuknya berupa pamor apa saja seperti beras wutah, bawang sebungkul atau pamor lainnya, lalu di atasnya pamor itu terdapat pamor kudhung (biasanya di dekat pucuk bilah). Motif pamor Satriya Pinayungan yang pertama ini dipercaya sebagai keris piyandel kepemimpinan, oleh karenanya banyak diburu oleh mereka yang aktif dalam kancah politik, serta kedinasan seperti militer dan polri.

Sedangkan versi kedua banyak dianut oleh pecinta keris di Yogyakarta, Banyumas dan sekitarnya gambaran pada bagian sor-sorannya menyerupai udan mas, tetapi bentuknya lebih teratur: tiga bulatan mendatar, diteruskan dengan beberapa bulatan ke atasnya, dan dianggap lebih cocok bagi mereka yang berwiraswasta. Menurut kepercayaan tuah pamor Satriya Pinanyungan baik versi pertama maupun versi kedua adalah sama, yakni memberi perlindungan kepada pemiliknya dari bahaya atau hal-hal yang tidak diinginkan (selamet), dihargai dan dihormati orang banyak, serta konon dapat menjauhkan fitnah dan sirik (iri) orang lain terhadapnya. Hanya saja, tanpa paham ujung pangkalnya di kalangan para pecinta tosan aji didapatkan sebuah realita jika nilai mas kawin (mahar) Satriya Pinanyungan versi pertama jauh lebih tinggi dari versi yang kedua hingga banyak muncul “pamor Satriya Pinayungan versi pertama susulan”.

Dan ternyata masih ada satu lagi jenis Pamor Satrio Pinayungan (ada pula yang menyebut Satrio Kinayungan) yakni versi Madura yang hampir sama dengan versi Surakarta. Bedanya pada pamor Satrio Pinayungan versi Madura segumpal pamor yang berada di bagian sor-soran dihubungkan dengan pamor Sodo Lanang yang berarti lidi jantan dengan pamor Kudung di bagian pucuk bilah, yang berarti penutup kepala/topi dapat pula diartikan payung. Pamor ini digolongkan pamor rekan, dimaksudkan sebagai doa/permohonan kepada Yang Maha Kuasa agar pemiliknya selalu bernasib baik dalam situasi apapun.

Seberapa jauhkah kita memaknai sebuah simbol, sebegitu bermakna pula simbol itu bagi kita. Setiap simbol sudah barang tentu memiliki makna filosofis yang mengambarkan secara singkat tentang tujuan simbol itu. Mari kita tengok bentuk pamor Satriya Pinayungan ini dimana  pada bagian pucuk bilah mirip dengan anak panah yang selalu runcing di bagian ujungnya. Ibarat Pasoepati, anak panah ksatriya terpilih yang mampu menewaskan Raja Raksasa Niwatakawaca, Adipati Karna, Jayadrata dan Aswatama. Demikian juga pusaka ini bak sebuah lukisan seorang maestro yang mampu mengubah aura sebuah ruangan dan mengubah cara kita melihat warna. Dan dalam dunia tosan aji dikenal adanya keris mahanani, yang diyakini sebagai keris yang memang memiliki tuah atau kelebihan ketika dipegang oleh seseorang yang juga memiliki “darah keturunan/bakat/kemampuan”. Panjenengan kah Satriya Pinayungan tersebut?

Dialih-rawatkan (dimaharkan) sesuai dengan foto dan deskripsi yang tertera.


Contact Person :

Griyokulo Gallery Jl. Teluk Peleng 128A Kompleks  TNI AL Rawa Bambu Pasar Minggu Jakarta Selatan

Facebook : Griyo Kulo SMS/Tlp/WA : 0838-7077-6000 Email : admin@griyokulo.com

————————————

2 thoughts on “Keris Pamor Satriya Pinayungan

Tinggalkan Balasan ke Choirul Arsani Batalkan balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *