Keris Tayuhan Laler Mengeng Luk 5

Mahar : 5.000.000,-


1. Kode : GKO-510
2. Dhapur : Laler Mengeng
3. Pamor : Mrambut/Nyanak
4. Tangguh : Madiun (Abad XVIII)
5. Sertifikasi Museum Pusaka No :
6. Asal-usul Pusaka :  Surakarta
7. Dimensi : panjang bilah 37,5 cm, panjang pesi 7,3 cm, panjang total 44,8 cm
8. Keterangan Lain : Dhapur langka, warangka dusun


ULASAN :

LALER MENGENG, dalam tabel ricikan dan nama dhapur  di buku Keris Jawa Antara Mistik dan Nalar yang ditulis oleh Haryono Haryoguritno, diterangkan Laler Mengeng adalah salah bentuk keris luk lima (ada yang lurus) yang muncul dengan bentuk khusus/khas, yakni memiliki gandhik dengan hiasan laler mengeng. Adapun ricikan lainnya adalah: pejetan, tikel alis, sraweyan dan greneng.

Sedangkan dalam Buku Ensiklopedi Keris yang ditulis Bambang Harsrinuksmo, Laler Mengeng merupakan salah satu bentuk dhapur keris lurus. Panjang bilahnya normal, permukaannya rata dan datar sebab tanpa adha-adha. Gandhik-nya agak panjang, dengan kembang kacang terbalik: kembang kacang itu tidak menonjol ke luar gandhik, melainkan masuk ke dalam. Selain itu tidak ada ricikan lainnya. Walaupun sebenenarnya Laler Mengeng merupakan dhapur keris lurus, pada kenyataannya ada juga Laler Mengeng yang merupakan keris luk tiga dan lima, bahkan ada yang digabung dengan dhapur Damar Murub.

Membicarakan keris Laler Mengeng persepsi kita akan menjurus kepada suatu kengerian, selain dari nama Laler Mengeng itu sendiri yang berkonotasi dengan bangkai atau simbol yang mengiringi kedatangan kematian, juga kisah-kisah mengenai keris ini—terlepas benar dan tidaknya (Penulis pun belum mendapatkan referensinya) lebih banyak identik dituturkan sebagai “alat eksekusi” terhadap pemberontak atau musuh politik Raja. Dalam beberapa cerita rakyat hanya dengan mengeluarkan atau menunjukkan keris ini sudah akan diketahui bagaimana ajal menjemput sang terpidana. Simbol “Vonis Mati” ini menunjukkan jika Laler Mengeng bukan hanya sekedar keris biasa, tetapi juga menjadi simbol keadilan dan otoritas Raja. 

Salah satu ricikan pembeda Laler Mengeng dengan keris lainnya adalah bentuk sekar kacang yang terbalik, yang diyakini secara tradisional menyebabkan luka yang lebih parah jika keris ditusukkan ke tubuh musuh. Dalam posisi terbalik, anatominya menyerupai kait atau duri kecil yang menonjol ke arah berlawanan dari arah tusukan.  Saat menusuk, luka menjadi lebih lebar atau robek, karena bentuk kait menyangkut daging atau organ tubuh saat keris ditarik kembali. Ini menimbulkan pendarahan yang lebih hebat dan mempercepat  kematian.

Kisah-kisah mengenai eksekusi musuh politik Raja dengan menggunakan keris salah satunya dapat ditemukan dalam Babad Tanah Jawi, tentu saja yang terkenal adalah kisah Kyai Balabar. Adalah Sang Raja Amangkurat II atau Sunan Amral sendiri yang mengeksekusi Trunojoyo menggunakan keris Kyai Balabar.

JLEEEBB! Suara Kyai Balabar menghujam tubuh Trunojoyo, memecah keheningan senja. Darah menyembur deras dari dada kiri lelaki gagah yang terkapar di lantai. Darah itu seperti tak ada hentinya mengucur dan menggenangi tubuh yang sudah terbujur beku. Lelaki tampan berwajah bengis yang menusukkan kerisnya itu tampak tersenyum puas. Matanya berbinar berkilat-kilat menyiratkan dendam yang sudah terbalas. Itulah sepenggal kisah gelap pada bulan Januari 1680 di pesanggrahan Payak. Trunojoyo, bekas sekutunya sendiri, yang juga adik ipar raja Mataram Kartasura itu, menempuh ajalnya di ujung keris Kyai Balabar, sebilah keris dengan dhapur Pasopati yang sangat nggegirisi. Konon, siapapun yang terkena keris peninggalan Sultan Agung, sekecil apapun goresannya, darahnya akan terus mengucur keluar, belabar (rembesannya melebar dan menyebar) kemana-mana. Tak dapat disembuhkan, dan dipastikan tewas. Trunojoyo yang dikabarkan kebal terhadap segala jenis senjata itupun rubuh dengan darah yang terkuras habis dari tubuhnya, karena tikaman Kyai Balabar.

Diceritakan pula dalam Babad Tanah Jawi, bahwa setelah tubuh Trunojoyo terkapar karena saking bencinya Amangkurat II terhadap Trunojoyo, para punggawa/menteri yang hadir diperintahkan untuk membelah isi dada bangsawan Madura itu, mengambil hati dan jantung Trunojoyo untuk dicincang dan secara merata diminta memakannya mentah-mentah. Kepalanya kemudian dipenggal, dan diletakkan di dekat dampar Raja. Semua abdi dalem yang hendak pergi beristirahat, kakinya diperintahkan keset di rambut kepala itu. Esok harinya, penggalan kepala itu ditumbuk dengan lumpang (wadah untuk menumbuk terbuat dari batu) sampai hancur. Sunan Amral begitu dendamnya kepada Trunojoyo, sehingga jasadnyapun dihinakan dengan cara kejam.

FILOSOFI, dalam arti harfiah Laler = Lalat dan Mengeng atau ambrengengeng = berbunyi. Jadi Laler Mengeng berarti lalat yang sedang mengeluarkan suara ambrengengeng atau mendengung karena kepak sayapnya. Dalam seni karawitan jawa, Laler Mengeng adalah salah satu gending jawa laras slendro sanga yang dalam pertunjukkan wayang kulit purwa sering dimainkan untuk mengiringi pathet sanga, ketika seorang kesatria sedang dihadap para punakawan. Gending ini bernuansa kesedihan/sedang bersedih. Nama Laler Mengeng mengisyaratkan pada suara tangisan duka yang mirip suara kepakan sayap lalat (Ensiklopedi Wayang Indonesia L-M-N 2017b: 17).

Filosofi Laler Mengeng mengajarkan kita untuk selalu sadar dan ingat akan lelayoning urip—hakikat hidup yang sejatinya hanyalah menunggu giliran untuk kembali ke pangkuan-Nya. Kematian bukan untuk ditakuti, melainkan disiapkan. Seperti lalat yang terus berdengung tanpa henti, hidup pun berjalan tanpa kepastian kapan akan berhenti. Momen kontemplatif dan penuh keheningan batin. Suara dengungan lalat, yang samar namun terus terdengar, menjadi simbol suara kesedihan, kesunyian, dan pengingat akan kefanaan hidup.

Dalam dengungan itu, terselip makna: bahwa kita mesti merenung akan dosa-dosa diri, karena hari penghakiman pasti akan tiba. Setiap perbuatan, besar atau kecil, akan dimintai pertanggungjawaban. Oleh karena itu, dhapur Laler Mengeng mengajak kita untuk terus mengingat diri, memperbaiki laku, dan senantiasa memohon ampunan kepada Tuhan YME, selagi waktu masih diberi.

KERIS TAYUHAN, merupakan  sebutan bagi keris yang dalam pembuatannya lebih mementingkan soal isoteri (tuah) daripada keindahan garap, pemilihan bahan besi dan pembuatan pamornya. Keris semacam itu biasanya mempunyai kesan wingit, angker, memancarkan perbawa dan ada kalanya menakutkan. Walaupun segi keindahan tidak dinomorsatukan, keris Tayuhan tetaplah indah karena pambuatnya adalah seorang Empu, dan seorang Empu tentu saja mempunyai kepekaan tinggi akan keindahan.

Patut diketahui bahwa keris-keris pusaka milik keraton, baik di Yogyakarta maupun di Surakarta, pada umumnya adalah jenis tayuhan. Dhapur keris tayuhan biasanya sederhana, misalnya tilam upih, jalak dinding, kebo lajer, bukan jenis dhapur yang mewah semacam naga sasra atau singo barong. Selain itu, keris Tayuhan umumnya berpamor tiban, bukan pamor rekan. Di kalangan pecinta keris, keris Tayuhan bukan keris yang mudah diperlihatkan kepada orang lain, apalagi dengan tujuan untuk pamer. Keris Tayuhan biasanya disimpan dalam kamar pribadi dan hanya dibawa ke luar kamar jika akan dijamas (diwarangi).

TAYUHAN(sumber : Ensiklopedi Keris hal 466 )

TANGGUH MADIUN, Bagi mereka yang menyukai gemerlap keindahan pamor seperti pada keris Mataram Sultan Agung, atau Nom-Noman Surakarta (Pakubuwono) dan Yogyakarta (Hamengkubuwono) mungkin akan kurang bisa menikmati garap Keris Madiunan seperti ini yang bentuknya terkesan kaku, agak aneh (wagu) dari pakem umumnya ditambah dengan pamor yang rata-rata kelem (tidak ndeling/byor). Apalagi bentuk pejetan dan sogokan seolah tidak sama antara sisi kanan dan kiri. Pada bagian gandhik terdapat dua lambe gajah dengan bentuk sekar kacang terbalik yang agak maju ke depan. Jika melihat bentuk luk-nya pun terkesan agak janggal, sebab tarikannya memanjang di awal hingga separoh bilah yang kemudian diikuti luk yang semakin rapat ke atas. Ada-ada tampak jelas di sepanjang permukaan bilah, dengan tantingan sedang. Pada bagian bebel (1-2 mm di atas sogokan) apabila diintip dari samping terlihat sedikit lebih cembung dari bagian lain, terpengaruh gaya Mataram.

Namun juga tidak bisa dipungkiri, bahwa dalam kesederhanaannya, sebagian besar keris-keris Madiun memiliki perbawa tersendiri. Dan memang sisi isoteri inilah yang dipercaya banyak orang lebih menonjol dari keris-keris Madiun. Jangan salah, meski seringkali dicibir sebagai pusaka “kelas Kadipaten” banyak diantaranya yang besinya ditempa padat dan cukup bagus. Mpu-Mpu di Madiun juga dikenal pintar dalam memilih material pada zamannya, sehingga jarang kita melihat keris-keris Madiun yang keropos-keropos atau rusak.

PAMOR MRAMBUT, merupakan salah satu motif atau pola gambaran pamor yang bentuknya menyerupai deretan garis yang membujur dari pangkal hingga ujung keris, seperti rambut lurus yang terurai. Seringkali memang garis-garis itu bukan garis yang utuh, melainkan terputus-putus.

Pamor Mrambut adalah lukisan jiwa dalam bilah keris —garis-garis halus yang membujur laksana helaian rambut, mengalir dari pangkal hingga ujung, layaknya kesinambungan dalam hidup. Menggambarkan perjalanan hidup manusia yang ideal: lurus, sabar, dan mengikuti alur takdir dengan tenang. 

Diyakini menolak bala dan menghalau segala niat buruk, seakan-akan helaian rambut tersebut menjadi pelindung halus namun kuat dari segala bentuk energi buruk. Namun, pamor ini pemilih—ia hanya akan bersahabat dengan pemilik yang selaras jiwanya. Mencerminkan bahwa tidak semua orang mampu menjalani hidup dengan ketekunan dan kesabaran seperti yang disimbolkan oleh pamor ini.

Besi yang mrambut, halus dan berserat, adalah simbol dari batin yang halus, orang yang tidak mudah goyah oleh badai dunia, seperti rambut yang tampak lembut dan lentur namun tak mudah putus. Ia juga bukan sekadar besi hiasan, melainkan cerminan laku hidup: kesabaran yang tidak mengeluh, ketekunan yang tidak menyombong, dan kekuatan batin yang tak tampak namun nyata.

Maka, Mrambut bukan sekadar pamor—ia adalah cermin kehidupan. Ia mengajarkan kita untuk berjalan lurus tanpa congkak, untuk menjadi lembut tanpa lemah, dan untuk memberi perlindungan tanpa harus terlihat kuat.

Dalam kesederhanan bilahnya, tersimpan suara bijak: bahwa kekuatan sejati tak selalu tampak, dan keindahan yang abadi adalah kehalusan budi yang tak lekang oleh zaman.

CATATAN GRIYOKULO, Terlepas dari pro dan kontra mengenai kebenaran sejarah Keris Laler Mengeng — apakah benar ia pernah digunakan sebagai alat eksekusi atau sekadar mitos — satu hal yang tak terbantahkan: Keris Laler Mengeng tetaplah sebuah dhapur yang menyimpan makna filosofis mendalam. Dalam kisahnya, ia mengingatkan tentang ketegasan atau keputusan tidak harus lahir dari kemarahan. Ia menuntun kita untuk menimbang dengan nurani, memutuskan keadilan tanpa kebencian, dan bertindak tanpa meninggalkan luka lebih dalam dari yang perlu. Dalam makna lesikal ia mengajak untuk merenungi dosa, memperbaiki diri, dan memohon ampun, selagi waktu masih ada.

Anatomi sekar kacang terbalik pada keris Laler Mengeng ini secara visual dan simbolis memiliki kemiripan dengan linggi atau haluan kapal Djong Jawa. Dalam representasi visual, keduanya bisa dipandang sebagai struktur yang runcing, melengkung naik ke atas, dan agak maju ke depan. Dalam kepercayaan pelaut Jawa, haluan adalah tempat roh pelindung bersemayam. Maka tak heran, ia sering dihiasi simbol tolak bala — bukan untuk melawan alam, tapi berdamai dengan ketidaktentuan. Haluan kapal Djong Jawa bukan sekadar bagian yang membelah gelombang — ia adalah wajah dari sebuah perjalanan, lambang tekad, harapan yang belum terjelajah dan penunjuk arah takdir. Sekaligus untuk mengirimkan pesan kepada alam: “Bahwa anak-anak Nusantara bukan penumpang takdir, tapi pelukis jalur sejarah di atas permadani lautan”.

Maka, memahami Laler Mengeng tak cukup hanya dari cerita atau rupa, tetapi juga dari kedalaman nilai-nilai yang dibawanya: bahwa setiap bilah keris adalah cermin manusia—dengan jejak yang ingin dikenang bukan karena takut, melainkan karena hormat.

Dialih-rawatkan (dimaharkan) sesuai dengan foto dan deskripsi yang tertera.


🌍 Jelajahi Dunia Tosan Aji
🔍 Temukan kawruh yang tersembunyi
📚 Jurnal, majalah, buku, hingga serat-serat kuno kini tersedia di SINENGKER.COM
📖 Ayo sinau bareng!

👉 TEKAN UNTUK MASUK 🗝️


Contact Person :

Griyokulo Gallery Jl. Teluk Peleng 128A Kompleks TNI AL Rawa Bambu Pasar Minggu Jakarta Selatan

Facebook : Griyo Kulo SMS/Tlp/WA : 0838-7077-6000 Email : admin@griyokulo.com

————————————

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *