Tombak Wanara Kembar

10590558_1712292255668741_9142982091114899016_n

Mahar : 7.500.000,- (TERMAHAR) Tn. D, Tuban


1. Kode : GKO-512
2. Dhapur : Wanara Kembar/Sona Kembar?
3. Pamor : Tangkis
4. Tangguh : Cirebon (Abad XIX)
6. Asal-usul Pusaka :  Semarang
7. Dimensi : panjang bilah 21 cm, panjang pesi 11,5 cm, panjang total 32,5  cm
8. Keterangan Lain : dhapur tombak dan pamor langka


ULASAN :

TENTANG DHAPUR TOMBAK, di kalangan sutresna tosan aji, keris atau tombak dengan hiasan ganan kera atau monyet seperti ini setidaknya memiliki dua sebutan berbeda. Pertama, adalah dhapur wanara dan yang kedua, adalah dhapur sona. Memang jika ditinjau dari Serat Dasanama Kawi (Padmasusastra, 1897)wanara” adalah dasanama (sinonim) dari kethek (monyet) selain rewănda | kênyung | kêra | kapi |kuthila |kuthilapas | wanara | wre | plawaga | palwaga | palgosa | juris | munyuk | monyèt | gocara | bruk |. Dijelaskan pula dalam Serat Kawi Dasanama, amratelaken Kawining namanipun ingkang sami gumelar wonten ing jagad sadaya (anonim, 1882): wanara tegesipun kewan warna manungsa. Wijangipun, wan: kewan, nara : uwong. “Wanara artinya adalah hewan yang menyerupai manusia. Penjelasannya, ‘wan’ berarti hewan, dan ‘nara’ berarti manusia.” 

Beberapa orang (utamanya dunia perbakulan tosan aji) menyebut dhapur dengan ganan monyet ini sebagai dhapur Sona. Meski Sona adalah dasanama dari asu (anjing), mereka ini biasanya merujuk kepada buku Dhapur Damartaji yang menggambarkan dhapur sona memiliki gandhik ornamen kethek (monyet). Masih dalam buku yang sama (Dhapur Damartaji) apabila memeriksa pada halaman 12: “Daftar Nama Bentuk (Dhapur) Keris Yang (Memang) Tidak Ditampilkan Dalam Buku Sumber Aslinya”, seperti Gajah Satru Bandha, Naga Lar, Naga Rangsang, Ardha Wasesa, Carita Pagunungan, Megantara, Semar Mesem dan nama lain-lain justru tidak ada atau tidak tercatat nama dhapur Wanara.

FILOSOFI, Kata wanara (wana= hutan, nara = manusia) sering digunakan dalam konteks cerita pewayangan atau sastra Jawa/Kawi untuk menyebut makhluk seperti kera yang memiliki sifat atau bentuk mirip manusia, contohnya tokoh Hanoman atau dalam wiracarita Ramayanaya, dikenal Subali dan Sugriwa, wanara kembar. Dalam mitologi Jawa, wanara sering dikaitkan dengan kesatria yang berani, memiliki kekuatan alami, memiliki kelincahan, serta hubungan erat dengan dunia spiritual. Sedangkan dalam Budaya Jawa, wanara sering dianggap sebagai simbol kekuatan rakyat yang sering diabaikan tetapi memiliki peran besar dalam perubahan sosial. Filosofi wanara tetap relevan hingga kini, terutama dalam konteks semangat gotong royong, pengabdian pada masyarakat dan kebersamaan antara pemimpin dan rakyatnya untuk masa depan yang lebih baik.

Kisah Subali dan Sugriwa

Di tanah Kiskenda, di antara pepohonan rimba, berdiri kerajaan yang damai dan makmur—diperintah oleh dua wanara kembar, Subali dan Sugriwa. Mereka lahir dari ibu yang sama, namun darah dewata yang berbeda mengalir dalam diri mereka—Indra dalam Subali, Surya dalam Sugriwa. Bagai dua cahaya dalam satu langit, tak terpisahkan. Subali menjadi raja yang gagah, sementara Sugriwa menjadi senopati yang setia. Dunia mengira mereka akan terus berdampingan. Tapi hidup, seperti sungai yang berliku, tak selalu mengalir pada satu arah muara yang sama.

Ketika raksasa bernama Kebo Sura dan Lembu Sura mengancam dunia, Subali dan Sugriwa diperintahkan para Dewa untuk menghadapinya. Sang kakak masuk ke gua untuk bertarung, sementara sang adik Sugriwa menunggu di luar. Ia hanya diberi satu pesan: jika darah putih mengalir keluar, maka Subali telah gugur.

Dan darah itu benar-benar mengalir. Sugriwa yang percaya kakaknya telah tewas, menutup gua dengan batu besar. Ia menangis, lalu kembali ke Kiskenda dengan hati yang hancur berkeping-keping. Rakyat mendesaknya menjadi raja. Dewi Tara, istri sang kakak, akhirnya menjadi permaisurinya. Semua berjalan cepat, seperti takdir yang memaksakan arah.

Namun yang sebenarnya terjadi Subali belumlah menemui ajalnya. Darah putih yang mengalir adalah hancurnya otak Kebo Sura dan Lembu Sura yang mati berkalang tanah. Subali keluar dari kegelapan, hanya untuk mendapati tahtanya telah direbut, dan istrinya kini telah bersanding dengan sang adik. Tidak ada penjelasan, tidak ada pelukan, hanya sepi dan amarah. Dalam kabut kebingungan itu, seorang pelayan—yang ternyata utusan Rahwana—meniupkan racun dalam hatinya. Bahwa semua ini adalah pengkhianatan yang direncanakan. Sugriwa telah menikamnya dari belakang demi kekuasaan dan cinta.

Dari situ, cinta berubah menjadi benci. Saudara menjadi musuh. Subali yang tersulut amarahnya mengusir Sugriwa, merebut kembali istana dan Dewi Tara. Sugriwa terbuang, bukan hanya dari istana, tapi dari hati kakaknya sendiri.

Di puncak Gunung Reksyamuka, Sugriwa berlindung. Ia bukan hanya terluka fisik, tapi juga batin. Hanya Hanuman—keponakan mereka yang bijak—yang masih percaya bahwa di balik semua ini, ada kisah yang belum tuntas dijelaskan. Bahwa ini bukan tentang tahta atau wanita, tapi tentang perasaan yang gagal disuarakan, dan ego yang menolak mendengar.

Hanuman bertemu Rama, pangeran Ayodhya yang sedang kehilangan istrinya, Shinta, yang diculik oleh Rahwana. Kepada Rama, Hanuman bercerita tentang kedua pamannya. Tentang kerajaan yang damai yang kini berubah menjadi istana dendam. Rama, yang telah melepaskan tahta dan memilih hidup sebagai pengembara, memahami luka batin Sugriwa. Ia setuju membantu, asalkan Sugriwa kelak membantu merebut kembali Dewi Shinta. Maka disusunlah rencana: Sugriwa akan menantang Subali sekali lagi.

Pertarungan pertama terjadi. Rama menyaksikan dari kejauhan, namun ragu membidik gendewa-nya karena tak bisa membedakan dua saudara kembar itu. Sugriwa kalah. Ia merasa dikhianati, tetapi Rama menjelaskan, ia hanya takut melukai yang tak bersalah. Pada pertarungan kedua, Sugriwa mengenakan penanda janur. Dan kali ini, saat ia kembali terdesak, panah Rama melesat dan menghujam dada Subali.

Subali terjatuh. Darah mengalir dari tubuh yang dulu tak tersentuh oleh senjata apa pun karena Aji Pancasona yang ia miliki. Namun hari naas menghampirinya, kekebalan itu sirna. Ia mencaci Rama sebagai pengecut. Tapi Rama menjawab dengan tenang, bahwa panah dharma tak akan pernah mengenai yang suci. Jika ia terkena, berarti ada dosa dalam dirinya.

Dan di ambang maut, Subali membisu. Kata-kata Rama menembus lebih dalam daripada panahnya. Ia menyadari kesalahannya. Bahwa dendamnya lahir dari kesalahpahaman yang ia biarkan tumbuh liar. Ia meminta maaf kepada Sugriwa, memohon agar Dewi Tara dan putranya, Anggada, dijaga baik-baik. Ia pun merestui adiknya menjadi raja. Subali mengembuskan napas terakhirnya bukan sebagai raja, bukan sebagai kesatria, tapi sebagai manusia—yang terlambat memahami bahwa cinta dan kepercayaan adalah warisan sejati antara saudara.

Kisah Subali dan Sugriwa di atas adalah petikan salah satu versi Ramayana. Dan, kisah menyangkut rasa, dan rasa melampau logika. Yang paling penting dari sebuah kisah bukan benar atau tidaknya kisah itu, tetapi pelajaran berharga apakah yang bisa kita petik dari situ?

Kisah Subali dan Sugriwa bukan sekedar konflik dua bersaudara karena harta, tahta atau wanita, tetapi gambaran batin manusia yang terbelah antara prasangka dan kepercayaan, ambisi dan kesetiaan, serta rasa bersalah dan pengampunan. Di balik perebutan tahta dan pertumpahan darah, terselip pesan moral mendalam tentang rapuhnya ikatan keluarga bile ego mengambil alih nalar, dan betapa mungkin cinta berubah menjadi permusuhan saat komunikasi terputus. Subali yang merasa dikhianati, mewakili sisi manusia yang dikecewakan lalu menutup pintu dialog. Ia adalah simbol mereka yang memilih amarah daripada dialog, dan membangun tembok daripada jembatan. Sedangkan Sugriwa yang terusir dari istana adalah mereka yang menanggung tuduhan tanpa diberi ruang kesempatan untuk membela diri. Hanya dihukum tanpa pengadilan.

Filosofi dari kisah Subali dan Sugriwa mengajarkan:

  • Kepercayaan adalah jembatan yang menyatukan antar hati. Sekali runtuh, hanya dengan kerendahan hati yang bisa membangunnya kembali.
  • Saudara bukan hanya mereka yang lahir dari rahim yang sama, tetapi juga mereka yang bisa saling memahami meski pernah tersakiti.
  • Pertikaian dalam keluarga tidak berakhir ketika semua merasa benar. Hanya bisa selesai jika salah satu rela menundukkan ego, bukan saling menambah rasa sakit dan menggores luka lebih dalam. Memaafkan dan berdamai adalah langkah penting dalam memperbaiki hubungan yang retak.

Akhir kisah ini bukan kemenangan Sugriwa, melainkan penyesalan Subali menjelang ajalnya. Dalam detik-detik terakhir, Subali memohon maaf—dan di sanalah cahaya sejati cerita ini menyala: bahwa pengampunan selalu mungkin, bahkan di ujung kehidupan.

Karena pada akhirnya, keluarga bukanlah tempat yang selalu damai sempurna. Tapi di situlah manusia belajar mengenali bilur-bilur lukanya, menata ego, dan memupuk cinta yang lebih dewasa. Sebab menjadi saudara sejati bukan perkara tidak pernah bertikai—tapi kesanggupan untuk kembali saling merangkul setelah badai usai.

PAMOR TANGKIS, adalah istilah yang digunakan untuk menyebut pamor keris atau tombak yang hanya menempati satu sisi bilah saja. Maksudnya, sisi A memiliki pamor (bisa pamor apa saja, bebas), sedangkan sisi sebaliknya atau sisi B tanpa pamor (kelengan). Adapula pamor yang mirip dengan pamor Tangkis, namanya Pamor Slewah. Meskipun mirp-mirip, keduanya memiliki perbedaan yang signifikan, yakni pada pamor Slewah kedua sisinya berpamor, tetapi beda motif.

Dari kacamata esoteri tuahnya mirip dengan wengkon. Yang sedikit membedakan adalah: pamor wengkon dipercaya sebagai perlindungan pasif, yaitu sebagai tameng atau benteng dari serangan gaib yang masuk (tidak melawan balik, hanya menahan). Sedangkan pada Pamor Tangkis dipercaya mempunyai tuah untuk menangkis secara protektif aktif (bahkan mengembalikan) serangan ghaib, seperti guna-guna, santet, teluh, atau penyakit kiriman. Oleh karenanya, cocok untuk orang yang berada di garis depan atau berpotensi banyak mendapat serangan halus—seperti pejabat, tokoh masyarakat, atau pengusaha.

CATATAN GRIYOKULO, Tak banyak dari kita yang bisa menemukan tombak dhapur wanara kembar, sebagian besar yang ada hanyalah adalah bentuk-bentuk koden yang dibuat untuk sarana jimatan dan keperluan klenik. Belum lagi kombinasi kelangkaan motif pamor tangkis nya yang tentu saja diniatkan dibabar rekan untuk tayuhan. Pamor Tangkis bukan sekadar pelindung, melainkan sahabat sejati dalam sunyi, yang siap menjaga dalam diam, namun tanggap dalam bahaya.

Dialih-rawatkan (dimaharkan) sesuai dengan foto dan deskripsi yang tertera.


🌍 Jelajahi Dunia Tosan Aji
🔍 Temukan kawruh yang tersembunyi
📚 Jurnal, majalah, buku, hingga serat-serat kuno kini tersedia di SINENGKER.COM
📖 Ayo sinau bareng!

👉 TEKAN UNTUK MASUK 🗝️


Contact Person :

Griyokulo Gallery Jl. Teluk Peleng 128A Kompleks TNI AL Rawa Bambu Pasar Minggu Jakarta Selatan

Facebook : Griyo Kulo SMS/Tlp/WA : 0838-7077-6000 Email : admin@griyokulo.com

————————————

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *