Tombak Gunungan Pamor Meteorit Raja Sulaiman Pande Subrata

Mahar : 15.000.000,-


1. Kode : GKO-513
2. Dhapur : Tombak Gunungan
3. Pamor : Tangkis/Raja Sulaiman
4. Tangguh : Pande Subrata
5. Asal-usul Pusaka :  Kolektor
6. Dimensi : panjang bilah 13 cm, panjang pesi  7 cm, panjang total 20 cm
7. Keterangan Lain : gelar nama Ki Lintang Jaya, pamor meteorit campo del cielo, methuk kendit


ULASAN :

TOMBAK GUNUNGAN, adalah salah satu bentuk dhapur tombak yang bentuknya sepintas lalu menyerupai gunungan pada wayang kulit purwa, Tombak ini sangat sederhana bentuknya, berbilah lebar dan agak tipis. Selain ada-ada tipis pada bagian sor-soran, tombak yang tergolong langka ini tidak mempunyai ricikan apapun. Tombak gunungan juga bukan jenis tombak yang digunakan secara fisik dalam pertempuran, melainkan digunakan secara khusus sebagai tombak pusaka. Biasanya tombak gunungan sepuh berasal dari tangguh Pajajaran.

FILOSOFI, Dalam setiap pertunjukan wayang, entah itu bayangan wayang kulit yang menari di balik kelir, atau tubuh wayang golek yang hidup di atas panggung, selalu ada “ikon persegi lima” yang datang pertama dan pergi paling akhir dalam pementasan. Ia adalah Gunungan. 

Ketika gunungan ditancapkan tegak agak condong ke kanan, itu artinya cerita belum dimulai. Dunia masih dalam sunyi, bagaikan dunia yang belum beriwayat. Ketika kisah dimulai, gunungan dicabut, dijajarkan di sebelah kanan: semesta bergerak. Dan ketika lakon harus berganti babak, gunungan kembali ke tengah, kali ini condong ke kiri. 

Gunungan tak pernah hadir tanpa tujuan. Ia adalah pembuka dan penutup cerita, laksana tirai teater yang terbuka menyambut penonton, lalu tertutup usai pementasan. Ia bukan sekadar bagian dari wayang, melainkan penanda waktu dan ruang dalam lakon cerita, tapal batas antara dunia nyata dan dunia rekaan; antara jagad kasar dan jagad halus. Ia bisa menjelma menjadi angin yang menderu, samudra yang bergelora, gunung yang menjulang, hingga kilatan halilintar yang menggetarkan. Bahkan, dalam momen magis, gunungan mampu menciptakan ilusi—tokoh yang lenyap atau berubah wujud, seolah menyihir penonton. Di tangan Ki Dalang, gunungan adalah alat ajaib yang menghidupkan cerita. 

Gunungan pun hadir saat pasukan berbaris, saat peperangan dimulai. Dalam adegan rampogan, ia menjadi hutan, tanah lapang, jalan—multi peran dalam satu wujud. Di tangan sang dalang, gunungan adalah alat komunikasi yang menghubungkan kisah dengan penonton, realita dengan simbol. Ia mengandung pusparagam makna yang hanya bisa terbaca bila kita mau menengadah ke dalam. Dan ketika lakon selesai, ia kembali ke tengah, sunyi, menjadi penanda bahwa dunia telah kembali ke kodrat awal: jeda. 

Dalam sejarahnya, gunungan mengenal dua rupa: gunungan blumbangan (perempuan) yang berasal dari era Demak, dan gunungan gapuran (laki-laki) yang muncul di zaman Mataram. Gunungan blumbangan dapat dicirikan dengan adanya ornamen blumbang (kolam: bahasa Jawa) yang lengkap dengan air yang menunjukkan kehidupan hewan di dalamnya seperti ikan dan beberapa hewan lainnya. Pada gunungan gapuran dapat dicirikan dengan ornamen gapuran (rumah joglo: bahasa Jawa) yang lengkap dengan dua sosok raksasa di bagian kanan dan di bagian kiri gapura yang berfungsi sebagai penjaga.

Bayangkan sebuah wayang berbentuk gunung, dihiasi ornamen yang hidup. Di bawahnya terdapat gambar pintu gerbang yang dijaga oleh dua raksasa yang memegang pedang dan perisai di depan gerbang istana. Di puncaknya, pohon kayu menjulang, dililit ular naga yang misterius. Di sekitarnya, binatang-binatang hutan berlarian, seolah menggambarkan rimba raya yang penuh rahasia. Inilah gunungan, lukisan alam semesta dalam sehelai kulit atau kayu.

Namun di balik bentuknya, ia lebih sering dikenal sebagai kayon. Kata “kayon” berasal dari bahasa Kawi: kayun, yang berarti niat, kehendak, atau tekad batin. Gunungan adalah minatur semesta, keadaan dunia beserta isinya. Setiap goresan dan ornamen di dalamnya adalah simbol kehidupan. Seperti bentuk gunungan yang meruncing ke atas melambangkan perjalanan batin manusia menuju Yang Mahatinggi. Pohon kehidupan adalah wujud perlindungan Tuhan bagi umat-Nya. Hewan-hewan yang tersebar tak lain simbol watak manusia, dari yang jinak hingga yang buas. Pendapa yang tergambar adalah lambang negeri—tempat tinggal ideal yang damai dan tenteram. Dua raksasa penjaga pintu gerbang bukan sekadar dekorasi: mereka mewakili kekuatan gelap dan terang, baik dan buruk, yang selalu hadir berdampingan dalam kehidupan. Gerbang itu sendiri adalah lambang peralihan dari dunia fana menuju alam baka. Tangga bertingkat di depannya melambangkan jalan spiritual, naik perlahan menuju pencerahan. Dan di puncak gunungan, terdapat mustika: mutiara jiwa, lambang tujuan akhir manusia—bersatu dengan Sang Khalik.

Dalam era digital yang riuh oleh algoritma, gunungan masih berdiri tegak sebagai saksi bahwa para pujangga Nusantara telah lebih dahulu membicarakan spiritualitas dalam bahasa yang simbolik namun mendalam. Filsafat tentang hidup dan mati, niat dan tujuan, baik dan buruk, Tuhan dan manusia.

KALA MAKARA, Dalam dunia arkelogi, Kala dan Makara sesungguhnya adalah dua entitas yang berbeda: berbeda rupa, berbeda letak. Kala kerap hadir di atas ambang pintu candi dan bangunan suci dalam wujud wajah raksasa yang menyeramkan: bermata membelalak, berhidung lebar, dan bertaring besar, sementara Makara muncul di ujung relung, di sisi kanan dan kiri pintu, biasanya berbentuk makhluk mitologis gabungan—berkepala gajah, berbadan naga, atau menyerupai buaya.

Kala yang terpahat pada ambang pintu candi bukan sekadar hiasan. Ia adalah wajah waktu—sosok yang diam namun penuh kuasa, menganga bukan untuk menakuti, melainkan untuk menelan apa yang perlu dilebur. Dalam rahangnya yang tanpa tubuh, tersembunyi ajaran tua: bahwa setiap manusia membawa serta di dalam dirinya unsur-unsur liar—diyu—nafsu, amarah, angkara murka. Dan sebelum seorang peziarah layak melangkah ke ruang suci, ia harus terlebih dahulu melewati Kala, ditelan olehnya, dimurnikan olehnya. 

Kala berdiri sebagai penjaga, bukan untuk menolak, melainkan untuk menuntun. Ia adalah gerbang yang menuntut perenungan, bahwa kesucian tak dapat dicapai tanpa keberanian menghadapi gelapnya batin. Ia mengingatkan, bahwa waktu bukan sekadar penggerus usia, melainkan cermin dari laku kita sendiri. Dan dalam wajahnya yang garang, justru terpantul ajakan yang lembut: “Kenalilah dirimu, tundukkan dirimu, bersihkan dirimu.” Sebab siapa pun yang ingin sampai pada cahaya, harus terlebih dahulu rela dilebur dalam keteguhan sunyi. Kala, dalam diamnya yang agung, tidak menakut-nakuti—ia menjaga arah.

Namun dalam dunia tosan aji, batas antara Kala dan Makara justru menjadi cair. Istilah Makara di sini lazim digunakan untuk menyebut ornamen pada gandhik—bagian muka keris di pangkal bilah—yang wujudnya lebih menyerupai Kepala Kala: raksasa bermata membelalak, berhidung lebar, dan bertaring panjang Ia bukan hanya penghias, tetapi pengingat. Pengingat akan waktu, kekuatan, dan keterbatasan. Ia juga adalah simbol kewaspadaan. Ia mengingatkan pemiliknya untuk senantiasa hati-hati dalam menapaki jalan hidup, menuju kesempurnaan spiritual.

Makna yang sama menjelma dalam dunia pewayangan. Di sana, sosoknya hadir secara simbolik lewat ornamen pada beberapa jenis Gunungan, seperti Gunungan Kayon Gapuran Solo dan Gunungan Kayon Blumbangan Solo. Pada bagian tengah pohon kalpataru, kadang tersembul wajah raksasa—mata membelalak, rahang menganga, taring mencuat. Makhluk mitologis ini hadir bukan sekadar dekorasi, tapi simbol transisi: antara dunia luar dan dunia batin, antara kekacauan dan tatanan, antara rimba nafsu dan jalan dharma. Gunungan bukan hanya lambang alam semesta, tapi juga lambang rimba—hutan tempat segala kegelisahan dan cobaan bermula. Dan hutan tempat banaspati bertahta, dalam nalar Jawa, bukan hanya tempat liar yang belum tertata. Ia adalah panggemblengan jiwa, tempat seorang ksatria menempa dirinya, meluruhkan keakuan, menundukkan diyu dalam batin, dan menempuh jalan sunyi menuju kesempurnaan hidup. Inilah yang oleh leluhur kita disebut pangruwating diyu—laku menyucikan diri dari sifat kebinatangan, bukan dengan membuangnya, melainkan dengan menundukkannya dalam kesadaran.

Kala dalam pahatan candi, ornamen dalam Gunungan dan dalam gandhik tosan aji, sejatinya adalah satu wajah yang sama: wajah penuntun. Ia tidak melarang, ia menyaring. Ia tidak menakuti, ia membimbing. Ia hadir sebagai pengingat sunyi, bahwa kesucian bukan sesuatu yang datang tiba-tiba, tapi buah dari laku melewati waktu, melebur gelap, dan lahir kembali dalam terang.

PAMOR ROJO SULEMAN, Yen ono pamor mangkene roepane iki, diarani pamor Radja Soeleman, regane satoes negara, sapa sang nganggo barang karepe katekan, lan kena ginawe toembal lelara, yen digawe perang bisa ngaling-ngalingi kang nganggo, lan diwedeni setan, lan ora kena dialani (Pamor Duwung Babon Asli Saking Surakarta, 1937) 

Konon, bila dalam sebilah keris tampak pamor berbentuk bintang bersudut lima—yang dalam bahasa empu disebut “roepane mangkene”—maka itulah yang dinamakan sebagai pamor Raja Suleman. Nilainya tidak biasa. Bahkan disebut-sebut, mahar yang pantas untuknya adalah regane satus negara—seratus negeri—sebuah idiom yang melampaui harga duniawi. Tapi kita semua tahu, bahwa nilai itu tak selalu tentang harta. Tidak sedikit sutresna keris yang berpendapat bahwa makna “seratus negara” bukan untuk dibaca secara harfiah. Ia adalah lambang—bahwa hanya mereka yang telah makarti, menapaki jalan batin dengan kesungguhan dan diberi wahyu, yang pantas memiliki pamor seagung ini. Bukan sekadar milik siapa saja, tapi milik mereka yang dipilih oleh waktu, oleh takdir, oleh Gusti. Ia bicara tentang kelayakan—tentang siapa yang pantas menyandangnya.

Masih menurut serat yang sama, siapa yang menyimpan atau memakai pusaka berpamor ini, maka apa pun kehendaknya akan dipermudah jalannya. Doanya mustajab, seakan ditarik lebih dekat ke langit, harapannya lebih lekas menemukan perwujudan. Raja Suleman diyakini bukan hanya pembawa berkah, tetapi juga penjaga. Ia bisa menjadi toembal lelara—penangkal sakit yang menyerang secara fisik maupun batin. Bahkan bila dibawa dalam pertempuran, keris ini dipercaya mampu ngaling-ngalingi—menjelma menjadi tameng tak kasat mata, menyelubungi pemiliknya dari mara bahaya. Tak hanya manusia, bahkan bangsa jin dan lelembut pun disebut segan mendekat. Ada aura gaib yang dipercaya terpancar dari pamor ini, yang bukan hanya menolak bala, tapi juga memantulkan niat jahat kembali kepada pengirimnya. Siapa yang berniat mencelakai, konon justru akan menuai balas dari langit. 

sumber: Majalah Kebudayaan Citra Yogya No 20-21/Th. IV Maret-Juni 1991

Para pinisepuh di Yogyakarta kadang menyebut pamor ini dengan nama Lintang Purbo—bintang permulaan, bintang purba. Ia bukan sekadar pamor titipan pada bilah keris, melainkan simbol dari sebuah cahaya mula, nur cahya, yang bersinar sejak awal segala ada. Cahaya yang bukan sekadar penerang, melainkan sumber terang itu sendiri—Nūrun ‘alā Nūr—“Cahaya di atas Cahaya”.

Bintang Raja Suleman bukan hanya simbol, tapi juga petunjuk bagi siapa saja yang hendak membaca hidup sebagai ayat. Dalam pemahaman sosio-religi, cahaya itu bukanlah milik satu umat, tapi bersinar pada tiap-tiap makhluk yang hidup, di setiap ruang dan waktu. Ia adalah Nur yang diagungkan, dijadikan petunjuk, penuntun, dan pengingat bahwa dalam gelapnya hati manusia, hanya Nur Allah yang mampu menyalakan lentera keimanan. Tanpa cahaya itu, jiwa manusia ibarat gua tanpa pintu—tertutup dari hidayah, tersesat dari arah pulang. Tetapi ketika cahaya itu masuk, maka hidup menjadi hidup yang sebenar-benarnya: terang, penuh arah, penuh rasa. Di sanalah makna Nurun ‘ala Nur menjadi nyata—karena cahaya itu bukan sekadar menyinari, tetapi menghidupkan. Menghidupkan hati yang mati, menggerakkan batin yang kering, menyentuh sisi manusia yang terdalam.

Dan pada titik terang itulah, makna hidup mencapai puncaknya: manunggaling kawula lan Gusti—persatuan antara hamba dengan Tuhannya. Bukan lebur tanpa batas, melainkan sadar bahwa dalam tiap helaan napas, dalam tiap desir kehidupan, ada Nur yang meliputi. Ada cahaya yang tak pernah padam. Dialah awal, dialah akhir. Dialah cahaya yang menjadi jalan kembali.

Sedangkan bentuk bintang Rojo Suleman yang bersudut lima—menyerupai irisan buah belimbing—bukan sekadar motif geometris. Ia menyimpan isyarat yang halus, seperti bisikan dari langit yang meresap ke dalam bumi. Dalam tembang Lir-Ilir yang digubah Sunan Kalijaga, bentuk ini hadir tak hanya sebagai rupa, melainkan cermin esensi kehidupan yang menuntun jiwa menuju ketauhidan. Lima sisi bintang Rojo Suleman bagaikan lukisan filsafat. Bagi umat Islam, setiap sudutnya mencerminkan lima rukun Islam—pilar kokoh yang menjadi fondasi iman. Bersamaan dengan itu, lima sisi ini juga melambangkan shalat lima waktu, ritme spiritual yang mengalir setiap hari, mengingatkan manusia untuk selalu terhubung dengan Sang Pencipta. 

Dalam ajaran Hindu, bintang ini menjelma sebagai Panca Maha Bhuta, lima elemen dasar yang menyusun alam semesta (bhuwana agung) sekaligus tubuh manusia (bhuwana alit). Panca Maha Bhuta adalah harmoni alam yang hidup dalam diri manusia. Ada Akasa, ruang kosmik yang menjadi wadah bagi empat unsur lainnya: Pertiwi (tanah), Tirta (air), Agni (api), dan Bayu (angin). Ketika seseorang mampu membangkitkan sinergi kelima elemen ini dalam dirinya, ia menjelma menjadi manusia sejati, yang hidup dengan keseimbangan sempurna. Pertiwi mengajarkannya keteguhan dan pantang menyerah, seperti bumi yang kokoh menyangga kehidupan. Tirta memberinya keluwesan, bak air yang mengalir menyesuaikan bentuk wadahnya. Agni menyulut semangat, gairah, dan wawasan luas, laksana api yang tak pernah padam. Sementara Bayu menanamkan rasa hormat dan harga diri, sebagaimana angin yang berhembus dengan kebebasan namun penuh makna.

Manusia yang menyadari dirinya tersusun dari Panca Maha Bhuta dan mampu mengendalikannya adalah sosok yang istimewa. Ia bagaikan avatar dalam legenda, penguasa empat unsur alam semesta. Ia menjalani hidup dengan penuh kesadaran sejati, menggabungkan keteguhan bumi, keluwesan air, kobaran api, dan kepekaan angin. Dialah manusia paripurna, yang tak hanya hidup, tetapi juga memberi makna bagi alam semesta.

METHUK KENDHIT, dalam bahasa jawa istilah “kendhit” setidaknya memiliki 3 (tiga) arti, yakni: 1 sabuk; 2 bulu yang melingkar di badan sapi yang berbeda warna dengan bulu lainnya membentuk ikat pinggang; 3 sebutan untuk kambing yang memiliki corak putih yang melingkar di perut. Dalam dunia tosan aji methuk kendhit adalah sebutan bagi methuk tombak yang memakai pamor berbentuk garis membujur pada badan ganja, bisa lurus bisa agak miring, bisa tipis bisa tebal. Dalam bab spiritual, kendhit adalah sabuk rasa—pengikat halus antara daya pusaka dan jagad batin pemiliknya. Kendhit adalah pengingat bahwa dalam setiap ikatan, ada kekuatan; dalam setiap lingkaran, ada keabadian. Dan di tangan yang tepat, methuk kendhit menjadi kunci untuk membuka simpul-simpul tak kasat mata tersebut.

PANDE I MADE SUBRATA, Jika Yogyakarta memiliki sosok Mpu Ngadeni pendekar besi yang tak muda lagi, maka Bali pun tak kehilangan sinarnya. Di prapen Setia Karya Banjar Dangin Pangkung, Desa Kaba Kaba, Kediri, Tabanan, hidup seorang pria yang tangannya setia menari di atas bara—I Made Subrata (74 tahun), penjaga bara tempa lipat tradisi lama.

Segalanya diawali di tahun 1985. Kala itu, Subrata hanya membuat alat-alat pertanian di rumahnya—pisau, sabit, dan alat-alat pertanian bagi petani sekitar. Tapi,  besi dan api memanggil hatinya pada sesuatu yang lebih dalam: keinginan untuk menekuni jalan pande sejati—pande keris. Perjalanannya bermula dengan belajar kepada Jro Mangku Sandi di kawasan Tatasan, Denpasar. Di sana, ia mulai mengenal seluk-beluk kerja pande, dari mempersiapkan bahan hingga menempa. Namun jalan para pande tak pernah mudah. Kritik datang silih berganti—kurang ini, belum begitu…”—sebuah tempaan nonfisik yang justru makin menguatkan tekadnya. Ia tahu, api bukan musuh; ia adalah guru. Menolak menyerah, ia menundukkan hati, dan mohon tuntunan lebih di Prapen Pura Tamblingan, tempat sakral bagi para pande, di mana api bukan sekadar panas, tapi sarana penyucian batin. Di sinilah ia mulai menempuh jalannya sendiri. Ia tidak hanya menempa logam—ia menempa dirinya sendiri.

Waktu berjalan, dan langit memberi restunya. Tahun 2006, Subrata mendapat kehormatan untuk mendemonstrasikan pembuatan keris di hadapan publik kampus ISI Denpasar. Di sana, bukan hanya logam yang ia pijar, tapi juga kepercayaan publik yang mulai mencair. Namanya perlahan dikenal, diperbincangkan, dan dicari.

Empat tahun berselang, tahun 2010, ia disarankan untuk menapak lebih jauh—belajar langsung kepada Mpu Basuki, tokoh dunia perkerisan Jawa. Subrata menerimanya dengan rendah hati. Karena baginya, ilmu tidak mengenal tua atau muda; seorang pande sejati akan terus belajar, sebagaimana besi, baja, dan pamor yang tak akan menjadi pusaka bila tak bersatu dengan api. 

Hingga kini di usia senjanya, I Made Subrata tetap berdiri: nama Mpu Pande Subrata tak sekadar dikenal sebagai pande pembuat keris, tetapi sebagai penjaga nilai-nilai luhur yang hidup di setiap wesi aji yang ia lahirkan. Ia adalah penghubung zaman, api yang menjaga bara leluhur agar tak padam oleh waktu.

Wewayangan ingsun kang hambaturi ragaku. Raga ingsun kang amadahi cahyo Kuoso. Kuoso Ingsun lantaran ghaib kang tanpo sedyo. Ingsun sedyake nutupi ragaku lan ngembani lakuku

CATATAN GRIYOKULO, Setiap bilah pusaka tak sekadar besi yang ditempa—ia adalah kisah, doa, dan getar semesta yang menjelma rupa. Ia punya latarnya sendiri, punya jiwanya sendiri, bahkan punya jalan spiritualnya sendiri. Seperti manusia, setiap keris dan tombak lahir dengan watak dan takdir yang berbeda, membawa misi yang tak serupa.

Banyak yang memandang pusaka tua sebagai yang paling sakti, dan yang muda sekadar bayangan tiruan tak bertuah. Padahal, tidak selalu demikian. Sebab dalam dunia spiritual, bukan waktu yang menentukan nilai, tapi getaran semesta. Secara spiritual, bisa saja bilah baru menyimpan nyala langit, dan ada kemungkinan bilah lama hanya tinggal cangkang sejarah.

Seperti pusaka satu ini—pusaka yang ditempa dari bahan meteorit Campo del Cielo, logam angkasa yang pernah melintasi langit ribuan tahun silam. Besi dari bintang, kini menyatu dalam pamor Raja Suleman. Bukan pamor sembarang, tapi pamor yang ditepa oleh tangan seorang mpu Pulau Dewata, penjaga cahaya terakhir dari sang Wilwatikta.

Lalu oleh sang Empu disematkanlah padanya asma: Ki Lintang Jaya. Ki Lintang Jaya bukan hanya pusaka. Ia adalah harapan yang menajam, doa yang ditempa, dan cita-cita yang mengeras dalam bilah logam langit. Ia membawa pesan: bahwa kejayaan leluhur bukan untuk dikenang semata, tapi untuk dihidupkan kembali—dengan sinar baru, dengan tangan-tangan baru yang setia pada akar.

Dan ketahuilah—langit tak hanya mendengar doa dari masa silam. Doa hari ini pun menjulang. Doa dari anak-anak zaman kini yang masih percaya pada kesucian niat dan ketulusan laku. Doa yang memanggil kejayaan leluhur bukan untuk disembah, tapi untuk dihidupkan kembali—dengan tekad, kerja nyata, dan dengan keyakinan bahwa cahaya tak pernah benar-benar padam—ia hanya menunggu tangan yang tepat untuk memantiknya kembali. Karena sebagaimana bintang tak pernah redup oleh malam, demikian pula pusaka sejati bersinar bukan karena kemewahannya, tapi karena menyimpan cahaya dari dalam dirinya sendiri.

Dialih-rawatkan (dimaharkan) sebagaimana tergambar dalam foto dan deskripsi yang tertera.


🌍 Jelajahi Dunia Tosan Aji
🔍 Temukan kawruh yang tersembunyi
📚 Jurnal, majalah, buku, hingga serat-serat kuno kini tersedia di SINENGKER.COM
📖 Ayo sinau bareng!

👉 TEKAN UNTUK MASUK 🗝️


Contact Person :

Griyokulo Gallery Jl. Teluk Peleng 128A Kompleks TNI AL Rawa Bambu Pasar Minggu Jakarta Selatan

Facebook : Griyo Kulo SMS/Tlp/WA : 0838-7077-6000 Email : admin@griyokulo.com

————————————

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *