Sempana Pamor Rojo Gundolo Meteorit

10590558_1712292255668741_9142982091114899016_n

Mahar : 7.777.777,- (TERMAHAR) Tn. D, Tuban


1. Kode : GKO-512
2. Dhapur : Sempana
3. Pamor : Adeg Siji, Jala Tundha, Rojo Gundolo
4. Tangguh : Tuban Majapahit (Abad XV)
5. Asal-usul Pusaka :  Rawatan/Warisan turun-temurun
6. Dimensi : panjang bilah 37,5 cm, panjang pesi 6 cm, panjang total 42,5 cm
7. Keterangan Lain : Pamor Meteorit


ULASAN :

SEMPANA, adalah salah satu bentuk dhapur keris luk sembilan, yang tergolong sederhana. Keris ini hanya memakai kembang kacang, jalen, lambe gajah dan pejetan. Ricikan lainnya tidak ada. 

Mungkin keris Sempana tidak sepopuler Sengkelat, Sabuk Inten atau Nogo Sosro, Namun jangan under estimate, di Cirebon misalnya beberapa pusaka kagungan ndalem Kasultanan Kasepuhan Cirebon yang menjadi ageman aktif Alm Sultan Sepuh XIV Pangeran Raja Adipati Arif Natadiningrat salah satunya adalah Sempana Luk 9 dengan kinatah. Keris ini memakai model warangka gayaman dari kayu timoho (digebeg tanpa diplitur) dengan hulu tunggak semi mataraman, yang agak berbeda dengan sandangan Cirebon lainnya (tidak dihitamkan). Pusaka ini disimpan dan dipamerkan di Museum Keraton Kasepuhan Cirebon (berpasangan dengan cangak lihat foto di bawah).

Dalam Babad Pajang (1845) juga mencatat, Keris Sempana menjadi salah satu dari tiga pusaka andalan Adipati Pragola Pati, musuh terberat Sultan Agung. Adapun cuplikan kisahnya sebagai berikut: 

Pangran Dipati Pragola | pan wus siram jamas brêsih | nulya sigra anggêgănda | jêjêbadan marbuk wangi | sampunira anuli | angrasuk busananipun | nyamping samboja sêkar | paningsêt cawêni putih | arasukan krêsna rinenda kêncana || pamêkak cindhe puspita | curiga wrăngka tinulis | sawat pinarada ing mas |alandhehan tunggak sêmi | katga aparungsari | jigja ika tangguhipun | nyuriga dhuwung tiga | kang satunggil tangguh Tubin | dhapuripun parung sangklat cinarita ||curiga ingkang satunggal | Ki Kêling ingkang anggitik | dhapure inggih sumpana | katiga sampun winangking | lancinganira abrit | rinenda pinggiranipun | lan mawi têratean | samya rinenda kêkitir | tiningalan rênyêp-rênyêp kadya lintang ||ajamang mas kinatipa | têbah jaja anting-anting | kêlatbau agêgêlang | bêbadhonge wus rinakit | myang êmêr binuka sri | busana cahyane murub | warnanira dipatya | lir krêsna lagya prang tandhing | nitih kuda anèng têngahing payudan ||

terjemahan bebas:

Pangeran Adipati Pragola telah melaksanakan upacara jamasan/siraman dengan penuh khidmat; tubuhnya kini tampak bersih dan harum. Ia lalu mengenakan busana kebesaran: memakai kain jarit bermotif bunga, ikat pinggang putih, serta pakaian berwarna hitam yang dihiasi renda-renda dari benang emas. Dalam balutan kain cindhe itu, tampak sebilah keris dengan warangka ukiran prada emas serta hulu berbentuk tunggak semi, Parungsari karya empu Jigja. Sang Adipati membawa tiga pusaka keris, salah satunya merupakan warisan dari masa Tuban, dengan bentuk Parung Sangkelat Cinarita. Satu lagi adalah keris buatan Ki Kêling, ber-dhapur Sumpana. Dari belakang ketiga keris itu tampak berkilau seperti bintang. Sebagai pelengkap penampilan, ia mengenakan perhiasan emas berupa anting-anting, kelat bahu, dan kalung—menjadikan sosoknya tampak berwibawa dan bercahaya. Ia tampil gagah, laksana seorang kesatria yang siap bertempur, menunggang kuda di tengah medan laga.

Dhapur Sumpana winasna | makna ngimpi dene muradirèki | nahan têrang ingkang kawruh | rahsa manungsa kêdah | darbe kira-kira prayoga ywa kantun | watara ringa sujana | siyang dalu dènkaèsthi ||…. Serat Centhini

FILOSOFI, Keris Sempana berbicara tentang pengetahuan sejati yang tersembunyi dalam rahasia batin manusia, seperti makna mimpi yang bukan sekadar bunga tidur ataupun bayang-bayang malam, melainkan simbol petunjuk dari alam rasa bagi mereka yang sedang mencari arah. Dalam Serat Centhini, keris ini menuntun manusia dalam memahami bahwa rahasia hidup tak selalu bisa dibaca dengan logika, melainkan dirasa dengan batin yang bening. Seperti para bijak terdahulu, kita diajak menempuh jalan pengetahuan siang dan malam dengan perenungan dan laku. Seorang sujana tidak tergesa-gesa memaknai tanda; ia mengendapkan, meraba, lalu merangkai pemahaman yang lahir bukan dari pikiran semata, tapi dari kesadaran yang terlatih oleh ketekunan laku. Maka, hidup bukan sekadar berjalan atau mengalir apa adanya, melainkan membaca semesta yang berbisik lewat mimpi, lewat rasa, lewat setiap detak yang tak tampak. Di situlah manusia diajak untuk terus eling lan waspada—menemukan dirinya sendiri dalam perjalanan pulang menuju  sangkan paraning dumadi, ketika jiwa kembali menyatu dengan sumber asalnya, dalam keheningan yang suci dan abadi.

TANGGUH TUBAN MAJAPAHIT, Dalam Buku Seserepan Bab Dhuwung Tuwin Ubarampe Saha Lalajengipun yang ditulis oleh RT. Waluyodipuro (1959), pada era zaman Majapahit tercatat ada 19 nama Empu, tiga diantaranya:

  1. Ki Tapan, bersama dengan Ki Angga pindah dari keraton Pajajaran ke Majapahit. Ki Tapan membuat dhapur keris: balebang, brojol, sempana, carita, tilam upih. Cirinya: besinya kering, pamornya: bagus, ngawat. Seringnya membuat: ganja sampir. Untuk Tombak membuat dhapur: cekel, totog, biring wadon dan biring lanang. Ciri pamornya mirip dengan keris buatannya.
  2. Empu Suratman/Jakasuratman di Tuban adiknya ki Bekeljati (Majapahit). Empu Suratman membuat dhapur keris: carangsoka, kidangsoka, puthut, brojol, tilam upih, sempana, pasopati, dan jalak sangu tumpeng dengan ciri-ciri: ukuran sedang, panjang ganja sedang, luknya lenggang (lenggak-lenggok sekali/rengkol), sekar kacang methit (lancip) sekali, serta tipis. Pamornya putih mencolok sekali, sepuh dilat, bertuah. Selain itu Empu Suratman juga membabar keris: sepokal, sempaner, kebo teki, kebo dhengen, jangkung, sabuk tampar, dengan ciri: ganja ambatok mengkurep, pamornya jelas, penuh tanpa sela sampai ujung bilah. Empu Suratman/Jakasuratman juga membuat dhapur tombak, biring, kudhup, totog, daradasih, dan dora manggala.
  3. Empu Mandhangkara, putra empu Jigja. Membuat keris yang besar-besar birawa, dhapurnya: sinom, brojol, jalak ngore, tilam upih, jalak sangu tumpeng, serta sempana (ini yang paling bagus), pamornya: tebal di tengah, imbang kiri dan kanan pamor sanak, sekar kacang: lenggang, sedikit kecil dan agak methit (lancip). Empu Mandhangkara mengalami juga zaman Demak. Ia juga membuat tombak dhapur: godong pring, sigar jantung, dan biring lanang.

PAMOR METEORIT, Jangan salah paham, meteorit tidak menjadi bahan keseluruhan pembuatan bilah keris. Yang dimaksud pamor meteorit adalah pamor keris yang terbuat dari bahan batu meteor yang jatuh ke bumi. Meteorit dianggap sebagai bahan pamor terbaik atau kasta paling atas, baik dari sisi  material maupun spiritual. Secara material, yang paling nyata adalah sifat anti korosi, serta tahan terhadap asam, clorine gas dan juga tahan terhadap garam. Karenanya keris yang diduga dengan pamor meteorit dapat diindikasikan dengan rabaan ngintip (seperti kerak nasi) dimana besi karena usia dan proses pewarangan yang berulang biasanya akan lebih dulu ‘kalah” terkorosi dibandingkan pamor. Secara spiritual, karena batu meteor jatuh dari langit, dianggap berkah khusus dari Yang Maha Kuasa.

Untuk menentukan mana keris yang berpamor meteorit dan yang bukan tentu bukan pekerjaan mudah. Sama halnya dalam menangguh pusaka, maka sifatnya hanya menduga (bukan memastikan). Sekali lagi, bukan memastikan. Idealnya memang kita harus pernah membuat atau melihat sendiri keris baru yang pamornya menggunakan meteorit. Di Griyokulo sendiri terdapat dua pusaka yang menggunakan pamor meteorit yakni buatan Empu Sungkowo (baca disini) dan buatan Empu Ngadeni (khusus bagian ganja, baca disini).

Ada beberapa kesimpulan yang mungkin bisa dijadikan acuan adalah bahwa jika mengamati keris-keris tangguh PB atau keris baru yang menggunakan meteor pastilah pamornya bernuansa. Ada keabu-abuan dan ada yang jernih (ndeling). Berbeda dengan pamor nikel biasanya mati (tidak bernuansa) atau orang Jawa menyebutnya dengan menteleng (melotot) alias jreng.

Bahan irons meteorite bisa digunakan menjadi bahan pamor keris, terutama karena adanya kristal Fe/Ni yang banyak, disertai unsur lain seperti adanya phospor, senyawa Ti, As, Pb sebagai isotop pengikatnya. Ketika dalam prakteknya menjadi pamor keris, unsur-unsur heterogen itu tidak hilang sama sekali sehingga alur pamor meteor akan bernuansa. Pamor ini secara visual ada warna abu-abu dan ada kehitaman serta ada pula bagian yang putih cemerlang, yang jika diamati tampak aura sinar warna-warni. Hal ini menjadi sangat jelas jika keris diminyaki dan dipandang dibawah sinar matahari. Empu Djeno Harumbrojo (alm), menyebutnya dengan kata ”sulak” atau bias pelangi warna.

PAMOR ADEG SIJI, Mungkin di setiap daerah berbeda penyebutannya, seperti ada yang menyebut adeg siji, sodo sakler, atau sodo lanang. Ada pula nama lain keris dengan pamor seperti ini yang mungkin kurang “familiar” di telinga para pecinta tosan aji, dalam catatan pribadi yang ditulis tangan Madi Ronggo Wijoyo Mulyo (Ponorogo, 1985) berjudul Primbon Pusaka Jawi, yakni pamor Lananging Djawa. Sesuai dengan namanya gambaran motif pamor Lananging Djawa terdapat pada keris luk, garisnya membujur sepanjang tengah bilah, dari sor-soran hingga ujung mengikuti bentuk luk-nya. Kadang bentuk garis tidak hanya satu garis, tetapi terdiri dari beberapa garis yang mengelompok menjadi satu.

Konon pada saat Sultan Agung Raja Mataram yang paling termasyur itu memerintah, untuk mewujudkan cita-cita kebesaran Mataram, melalui Empu Supo Anom Sultan Agung berkehendak untuk yasan (membuat) tujuh (7) pusaka kerajaan, salah satu diantaranya adalah keris berpamor Sodo Saler. Sedangkan enam pusaka yang lain adalah ; dhapur Nagasasra kinatah kamarogan, luk 3 dhapur Manglar Monga, keris Singo Barong, keris Pasopati, keris kalawijan luk 29 Kolo Bendu, dan tombak kalawijan Wulan Tumanggal. Konon pula keris dengan berpamor Sodo lanang dipercaya sebagai pusaka pegangan Raden Sahid (Sunan Kalijaga). 

Menurut Serat kuno berjudul Pakem Pusaka (Duwung, Sabet, Tombak) yang ditulis oleh oleh R.Ng Hartokretarto (1964) berdasarkan babon asli peninggalan R, Ng Ronggowarsito dituliskan bahwa : pamor sodo sa’ler merupakan ageman priyayi agar supaya lurus hati dan pikirannya, menjadi lebih baik dan besar keberuntungannya. Bahkan jika ditorehkan di pedang yang memakainya sepatutnya menjadi Senapati.

PAMOR JALA TUNDHA, Sepintas pamor Jala Tundha mirip dengan pamor Wengkon, namun memiliki garis yang lebih lebar serta perpaduan area simetris dan asimetris yang mendekati bagian tengah bilah keris sehingga tampak seperti kurang rapi dibandingkan pamor wengkon, sebab cenderung lengkung bergelombang laksana air berombak.

Tuah dari pamor Jala Tundha menjadi daya tarik utama tersendiri, karena diyakini dapat membuat pemiliknya lebih menonjol atau mudah dikenal orang. Tak heran jika pamor ini banyak diburu oleh berbagai kalangan profesi—mulai dari pegawai swasta yang ingin lebih diperhatikan oleh atasannya, aparatur sipil negara yang berharap dikenal pimpinan, hingga anggota TNI maupun Polri yang ingin mendapat kepercayaan lebih dari komandannya.

Selain itu, pamor ini dipercaya mampu meningkatkan pengaruh, kharisma atau wibawa serta membantu mempermudah pemiliknya dalam menghadapi berbagai situasi hidup. Konon, dapat pula sebagai sarana menampung semua doa/permintaan yang selama ini tertunda. Pamor Jala Tundha merupakan kombinasi dari jenis Pamor Mlumah dan Tiban, atau bisa juga masuk dalam kategori Miring dan Rekan. Pamor ini bisa termasuk dalam pamor pemilih maupun tidak pemilih, tergantung kecocokannya dengan sang pemilik.

Dalam bahasa Kawi, yang merupakan bentuk kuno dari bahasa Jawa, kata “Jala” memiliki arti “banyu”. Hal ini sejalan dengan penggunaan kata “Jala” dalam bahasa Sanskerta yang juga berarti air. Sedangkan kata “Tundha” dalam bahasa kawi berarti: menaruh atau menambatkan. Dengan demikian, jika kita merujuk pada bahasa Kawi, pamor Jala Tundha dapat diartikan secara konteks (bukan literal langsung) sebagai air yang ditampung. Secara simbolis, ini menggambarkan sifat yang tenang, sabar, dan penuh pertimbangan dalam menghadapi berbagai situasi, seperti air yang menunggu waktu tepat untuk mengalir, “diam senyap, bergerak mematikan” (maya netra yamadipati)

PAMOR ROJO GUNDOLO, Pada umumnya, pamor rojo gundolo muncul di bagian sor-soran keris atau tombak (jarang dijumpai di tengah bilah atau pucuk). Bentuknya ada yang menyerupai gambaran abstrak hantu, makhluk halus, manusia hingga binatang.  Seperti pada keris ini tampak seperti ada bentuk wajah dengan mata besar dan mulut atau rahang terbuka lebar, seperti sosok gaib sedang menatap ke arah kita. Di sisi lain, ada lekukan menghias kepala mirip dengan tanduk dan di tengah dahi terlihat ada tanda kecil yang membentuk semacam mata ketiga. Jika dibayangkan lebih lanjut, sosok tersebut tampak seperti berdiri dengan tangan terangkat ke samping, atau agak ke depan, dan kakinya sedikit ditekuk seperti sedang siap melangkah atau menari.

Menurut kepercayaan sebagian besar masyarakat perkerisan, tuah dari keris berpamor rojo gundolo akan sangat multifungsi bergantung dengan “khodam” atau  motif gambar tiban yang ada. Beberapa dipercaya, misal sebagai sosok ghaib yang menjaga diri, penjaga tempat, pengusir gangguan makhuk halus, penangkal guna-guna (santet), dan lain sebagainya. Namun, pamor ini tergolong pemilih, tidak setiap orang akan cocok memilikinya. Lagipula jika mereka yang cocok pun harus memiliki pantangan, utamanya tidak boleh melakukan hal-hal yang bersifat maksiat.

CATATAN GRIYOKULO, keris yang tampak “biasa” ini menjadi salah satu klangenan Griyokulo. Entah kenapa saat pertama melolos bilah keris ini dari warangkanya langsung bisa “nyetrum”. Mungkin karena keris ini didapatkan langsung dari orang yang jelas keberadaannya. Atau filosofi dhapur dan pamor-nya, yang tidak begitu kabotan songgo (berat) namun tetap relevan dengan zaman now, telah menjadi magnet tersendiri. Plus bonus Rojo Gundolo menjadi berkah pemberian sendiri.

Keunikan yang lain dari keris ini adalah batas sepuhan (quenching) atau proses pendinginan yang tiba-tiba suatu logam untuk mendapat tingkat kekerasan tertentu, terlihat kentara bagian mata rojo gundolo hingga ke bagian pucuk bilah. Di masa lalu, penyepuhan adalah sebuah ritual wajib dalam tahap akhir pembuatan sebuah “pusaka”. Selain untuk mengeraskan bilah, secara spiritual proses ini dipercaya untuk menguatkan esoteri pusaka itu sendiri. Oleh karenanya dikenal beragam teknik penyepuhan dari yang biasa/normal hingga ekstrim, seperti: sepuh dilat (dengan menjilat keris yang sedang panas membara), sepuh akep (keris diletakkan diantara bibir atas dan bibir bawah Empu dan ditiup), sepuh kempit (dilakukan dengan menjepit keris yang sedang membara di ketiak Empu), dan sepuh wadi/sepuh wewadi/sepuh saru, yang biasanya dilakukan secara khusus oleh Empu wanita dimana menjepit bilah yang panas tersebut pada bagian pangkal paha/vitalnya. Agak susah diterima nalar memang.

Jika dilihat dari material besi tampak padat dan halus, pamornya pun Penulis yakini salah satu keris yang menggunakan bahan pamor batu meteorit. Bentuk sekar kacang masih sangat utuh, ramping dan luwes, demikian juga jalen-nya tampak lancip dan tajam seperti duri dengan bentuk gonjo ambatok mengkurep khas buatan empu kulonan yang hijrah ke Tuban. Sudah sepantasnya keris ini berkelas Kiyahi.

Sudah sekitar 5 tahunan kami rawat dengan baik, sudah sekian kali pula keris ini Penulis coba tayuh, namun sepertinya kami tidak mendapatkan pertanda apapun. Mungkin, ada benarnya jika pamor pada keris ini cocok-cocokan atau pemilih. Dan pusaka ini sedang akan memilih sendiri Tuannya, Panjenengan kah orangnya?

Dialih-rawatkan (dimaharkan) sesuai dengan foto dan deskripsi yang tertera.


🌍 Jelajahi Dunia Tosan Aji
🔍 Temukan kawruh yang tersembunyi
📚 Jurnal, majalah, buku, hingga serat-serat kuno kini tersedia di SINENGKER.COM
📖 Ayo sinau bareng!

👉 TEKAN UNTUK MASUK 🗝️


Contact Person :

Griyokulo Gallery Jl. Teluk Peleng 128A Kompleks TNI AL Rawa Bambu Pasar Minggu Jakarta Selatan

Facebook : Griyo Kulo SMS/Tlp/WA : 0838-7077-6000 Email : admin@griyokulo.com

————————————

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *