Mahar : 7.000.000,-
1. Kode : GKO-511
2. Dhapur : Sedhet
3. Pamor : Keleng
4. Tangguh : Pesisir Jawa Tengah Utara (Abad XV)
5. Asal-usul Pusaka : Surakarta
6. Dimensi : panjang bilah 32,5 cm, panjang pesi 6 cm, panjang total 38,5 cm
7. Keterangan Lain : kembang kacang bungkem
ULASAN :
SEDHET, dalam buku-buku perkerisan mulai dari Serat Centhini, Kawruh Empu, Tjuriga Dhapur, Ensiklopedi Keris, Buku Dhapur Damartaji, serta Tabel nama Dhapur dan Ricikan pada buku keris Jawa Antara Mistik dan Nalar menjelaskan Sedhet adalah salah satu bentuk dhapur keris luk ima belas. Keris ini tergolong kalawijan. Walaupun jumlah luk-nya banyak, ukuran panjang bilahnya sedang. Permukaan bilahnya nggigir sapi karena keris ini memakai ada-ada. Keris Sedhet juga memakai kembang kacang, tikel alis, jalen dan lambe gajah-nya satu. Sogokan-nya rangkap depan dan belakang. Sebagian keris dhapur Sedhet memakai gusen, sebagian lagi tidak. Ricikan lainnya adalah greneng. Keris dhapur Sedhet pada zaman dahulu banyak dimiliki oleh orang yang berkecimpung di bidang seni budaya, terutama pedalangan, karawitan, dan tari.
FILOSOFI, Secara harfiah dalam kitab Bausastra Jawa Poerwadarminta (1939) kata “sèdhêt” dalam bahasa krama ngoko paling tidak memiliki dua arti, yakni : I singsêt sarta bêcik tmr. wanguning pawakane wong wadon. II kêmbang kêncur. Pertama, arti kata sèdhêt merujuk pada bentuk ideal tubuh seorang wanita (singset/langsing/tidak kendur ), dan yang kedua adalah bunga kencur.
Kencur, atau yang dikenal dengan nama ilmiahnya Kaempferia galanga, adalah salah satu tanaman herbal yang sudah lama menjadi bagian dari budaya pengobatan tradisional di Indonesia. Masuk dalam keluarga empon-empon, kencur mudah ditemukan di pasar tradisional dan bahkan bisa dibudidayakan di pekarangan rumah. Tanaman ini tumbuh subur di tanah yang gembur, baik di dataran rendah maupun pegunungan, tanpa memerlukan banyak air—sangat cocok untuk iklim tropis kita. Yang membuat kencur terbilang istimewa bukan hanya aromanya yang khas, tetapi juga kandungan senyawa alaminya yang bermanfaat bagi kesehatan. Di dalam rimpang kencur terdapat minyak atsiri yang memiliki sifat analgesik (pereda nyeri), antiinflamasi (anti peradangan), serta roboransia, yakni zat yang berfungsi memperkuat daya tahan tubuh. Tak heran jika kencur menjadi andalan para seniman tradisional seperti sinden dan dalang. Mereka kerap mengonsumsi kencur untuk menjaga kesehatan pita suara. Aktivitas vokal yang intens bisa menyebabkan peradangan lokal pada pita suara. Sifat antiinflamasi dari kencur membantu meredakan iritasi, menjaga suara tetap jernih dan powerfull selama pertunjukan berlangsung. Lebih dari sekadar bumbu dapur, kencur adalah warisan alam yang menyimpan manfaat luar biasa. Dari dapur hingga panggung seni, kencur membuktikan bahwa tanaman sederhana pun bisa memiliki peran besar dalam menjaga kesehatan dan mendukung performa.
Dalam masyarakat Jawa, orang Jawa mengucapkan kehendaknya dengan menggunakan kata kunci peribahasa. Peribahasa Jawa dianggap sebagai cermin watak, sifat dan perilaku manusia Jawa. Orang Jawa biasanya mengelompokkan peribahasa Jawa menjadi lima kelompok ucapan sebagai kata kuncinya, yaitu sebagai berikut:
a. Peribahasa mengenai binatang
b. Peribahasa mengenai tanam-tanaman
c. Peribahasa mengenai manusia
d. Peribahasa mengenai anggota kerabat
e. Peribahasa mengenai anggota tubuh.
Watak manusia secara positif menurut pandangan moral orang Jawa dapat diperhatikan dari pola kehidupan manusianya. Hal itu akan tercermin dalam perilaku. Namun, ada wujud-wujud dasar yang berupa watak yang membentuk perilaku tersebut. Dalam hal ini ada peribahasa mengenai tanam-tanaman yang berhubungan dengan watak positif. Watak positif manusia Jawa salah satunya tercermin dalam peribahasa “Jaka kencur”. Hal ini merupakan sebutan dasar bagi anak lelaki muda. Bagi manusia jawa, Jaka Kencur mempunyai watak dan karakteristik. Lelaki muda diibaratkan kencur, karena tanaman kencur merupakan tanaman yang dapat digunakan untuk obat dan masakan. Oleh karena itu Jaka kencur adalah lelaki muda yang belum berpengalaman sehingga masih memerlukan bimbingan. Kencur yang memiliki rasa sedikit pedas adalah simbol fase kehidupan manusia yang perlahan-lahan mulai merasakan kehidupan yang sebenarnya.
PAMOR KELENG, Pada keris keleng ini tidak nampak pamor putih seperti halnya keris-keris lain. Keris ini jika diwarangi hanya terlihat hitam kehijauan, kebiruan atau keabu-abuan. Kadang dalam masih terlihat sedikit warna pamor sanak, akan tetapi banyak yang mengatakan warna tersebut muncul akibat dari lipatan besi. terlepas dari hal-hal tersebut, justru keris keleng ini banyak memiliki keistimewaan. Penempaan keris ini biasanya sangat matang, sehingga memiliki pesona tersendiri bagi penikmat tosan aji.
Keris keleng lebih mengutamakan kematangan tempa juga kesempurnaan garap. Garap di sini yang dimaksud adalah meliputi keindahan bentuk bilah, termasuk di dalamnya ricikan. Keris Keleng juga bisa menjadi bahasa untuk memahami tingkat kematangan Si Empu, secara lahir maupun batin. Secara lahir bisa dilihat kesanggupan Si empu dalam mengolah besi untuk menjadi matang dan presisi. Dalam penggarapan keris tersebut juga dibutuhkan kecermatan dan kedalaman batin. Kedalaman batin Empu diterjemahkan dalam pamor yang hitam polos tidak bergambar. Empu sudah menep (mengendap) dari keinginan nafsu duniawi. makna yang disampaikan harus diterjemahkan dengan kedalaman rasa yang bersahaja. Efek yang ditimbulkan dari sugesti terhadap keris keleng tersebut adalah, bahwa keris tersebut mampu menjadi tolak bala. Ada juga yang beranggapan bahwa keris keleng tersebut memiliki kekuatan secara isoteri lebih multifungsi, dibanding dengan keris yang berpamor.
TENTANG TANGGUH, Menentukan tangguh sebuah keris bukanlah perkara yang sederhana. Setiap bilah menyimpan riwayat panjang yang terekam melalui bentuk, ragam hias, hingga nuansa estetik yang melekat padanya. Demikian pula halnya untuk menangguh keris ini ternyata memiliki tantangannya tersendiri. Keris Sedhet ini sebelumnya diyakini bertangguh Demak oleh pemilik lamanya. Tergerak oleh rasa penasaran, penulis pun turut mengamati dan mencoba mencermati lebih dalam. Hasil pengamatan menunjukkan bahwa keris ini tampaknya memiliki sejumlah ciri yang tidak lazim ditemukan pada keris bertangguh Mataram, sebagaimana umumnya. Misalnya, bentuk pejetan-nya tidak menunjukkan ciri khas Mataram yang biasanya jamak berbentuk kotak atau persegi. Bagian bebel—yakni sekitar 1–2 cm di atas sogokan—jika dilihat dari samping juga tampak tidak terlalu cembung dibandingkan keris Mataram pada umumnya. Ditambah lagi, keris ini menggunakan greneng tunggal, bukan bentuk greneng rangkep yang kerap menjadi ciri khas era Mataram. Ketidakhadiran unsur-unsur khas tersebut (gaya Mataram) menimbulkan ruang tafsir dan menambah kompleksitas dalam menentukan perkiraan tangguh yang paling mendekati dari keris Sedhet ini.
CATATAN GRIYOKULO, Secara visual keris ini mempunyai ukuran panjang sedang (sekitar 32,5 cm), dengan karakter luk 15 yang semakin rapat ke atas. Bentuk ganja-nya bantat (tanggung), secara keseluruhan dimensinya lebih kecil atau singset (ramping) dibandingkan keris Mataram atau Tuban. Besinya halus namun berpori, hal ini kemungkinan disebabkan oleh pengaruh kondisi air yang digunakan untuk menyepuh atau air tanah yang digunakan untuk mencuci keris mengandung lebih banyak garam atau dekat pesisir pantai.
Pada pucuk bilah terlihat nyujen. Jika dicari benang merah dengan pemilik sebelumnya yang berasal dari daerah Surakarta mungkin dapat dipahami, dimana sejak tahun 1930-an muncul budaya di kalangan penggemar tosan aji di Surakarta untuk membesut ujung bilah pusaka kesayangannya mengikuti karakter keris nom-noman yang ambutut tumo. Kebetulan pada masa itu banyak empu keris menganggur karena situasi ekonomi yang sedang “malaise”.
Visual selanjutnya adalah bilahnya nggigir sapi karena memakai adha-adha. Pejetan tampak lebar dan dalam, demikian pula pada bagian sogokan lebar dan dalam. Gandhik-nya sedang agak menonjol ke dalam, dengan bentuk sekar kacang nyambah aking yang mungkin beberapa orang kurang menyukainya. Namun ujung sekar kacang yang menempel pada gandhik (sebagian orang menyebut bungkem) seolah menjadi “gift” tersendiri dari sang Empu pembuatnya, yang banyak dicari para pemburu esoteri sehubungan dengan tuahnya. Perlu ekstra hati-hati saat membuka dan memasukkan kembali bilah ke dalam warangka. Untuk warangkanya sendiri menggunakan kayu cendana jawa yang sudah di-gebeg ulang demikian pula jejeran (hulu) keris lawasan yang dulu retak sudah diservis, relatif sudah tidak ada pekerjaan rumah menunggu, panjenengan tinggal menyimpan dan meneruskan merawatnya saja. Secara filosofis dhapur Sedhet juga menarik, mirip filosofi dhapur Sinom tapi versi tak biasa (kalawijan).
Dialih-rawatkan (dimaharkan) sesuai dengan foto dan deskripsi yang tertera.
🌍 Jelajahi Dunia Tosan Aji
🔍 Temukan kawruh yang tersembunyi
📚 Jurnal, majalah, buku, hingga serat-serat kuno kini tersedia di SINENGKER.COM
📖 Ayo sinau bareng!
Griyokulo Gallery Jl. Teluk Peleng 128A Kompleks TNI AL Rawa Bambu Pasar Minggu Jakarta Selatan
Facebook : Griyo Kulo SMS/Tlp/WA : 0838-7077-6000 Email : admin@griyokulo.com
————————————