Sepenggal Perjalanan Sebuah Pusaka Keluarga

PENGANTAR, Keris adalah serenteng panjang cerita, baik cerita yang berawal dari masa lalu ataupun cerita awal yang bermula pada masa sekarang yang akan diteruskan. Lewat sebilah keris, begitu banyak hal bisa ditontonkan dan dituntunkan, mulai dari keindahan estetika hingga filosofi yang terkandung di dalamnya. Sir Thomas Stamford Raffles dalam bukunya The History of Java (1817) juga menulis tidak kurang dari 30 jenis senjata yang dimiliki dan dipergunakan oleh Prajurit Jawa, termasuk di antaranya senjata api. Dari kesemuanya itu, keris menempati kedudukan yang paling istimewa.

Keris juga memiliki banyak fungsi terkait kepercayaannya, dimana salah satunya merupakan sumber keteguhan atau penguat batin untuk mencapai cita-cita. Sejumlah contoh peristiwa pada masa silam memberikan gambaran akan hal tersebut, contoh paling populer, tentu saja pada masa awal kelahiran Kerajaan Singasari, Ken Arok memesan sebilah keris khusus kepada Empu Gandring, kenapa? Jika hanya digunakan untuk membunuh Tunggul Ametung penguasa Tumapel pada saat itu, haruskah digunakan keris baru? Tentunya banyak pilihan senjata lain yang bisa digunakan, apalagi keris yang dipakai Ken Arok belum selesai dibuat oleh sang Empu.

Dalam masyarakat Jawa melekat pula tradisi-tradisi budaya yang terkait keris. Semisal dalam sebuah keluarga/pengantin baru dalam tradisi Jawa, (dahulu) lazimnya akan memperoleh warisan keris pusaka. Orang Tua pihak pria atau pihak wanita akan memberikan keris pusaka kepada pasangan tersebut. Orang Tua pihak pengantin perempuan dianggap yang paling utama untuk memberikan keris pusaka kepada mempelai pria sebagai Kancing Gelung. Seandainya keluarga pihak pengantin wanita tidak mempunyai, maka keluarga pihak pria yang selanjutnya mempunyai kewajiban untuk memberikan pusaka sebagai Cundhuk Ukel. Esensi atau makna simbolik yang hendak disampaikan orang tua melalui keris adalah ada semacam pernyataan restu, petuah, doa, harapan, penyemangat, tanggung jawab dan komitmen dalam mengarungi mahligai perkawinan. Selain itu tentu saja adalah untuk mempertahankan hubungan batin antara anak dan orang tua.

Berkaca dari budaya yang sudah mulai pudar tersebut atau bahkan saat ini sudah tidak dikenal sama sekali, muncul kerinduan penulis sebagai kepala rumah tangga dan istri sebagai pendamping, untuk mulai menghidupkan kembali keris Kancing Gelung/Cundhuk Ukel itu pada saatnya nanti. Sebagai benda yang sangat berharga, keris kami anggap sebagai salah satu benda pusaka yang pantas diwariskan kepada anak-cucu dari generasi ke generasi. Kami berusaha menjadi orang tua yang bangga mewariskan sesuatu bukan mewarisi sesuatu!

Karena penulis pribadi sudah memiliki beberapa pusaka, maka untuk kali ini sebuah pusaka akan dibabar khusus dipersembahkan sebagai tanda penyatuan cinta kepada Istri terkasih.

PILIHAN EMPU, Belum ada pilihan nama lain selain Empu Ngadeni. Beliau bisa dikatakan Empunya keris Tayuhan yang masih tersisa hingga saat ini. Mpu Ngadeni bagaikan jejak hidup dari ketangguhan masa silam. Meski keris-kerisnya tak seindah empu seangkatannya yang sudah tiada, semisal Mpu Djeno atau Mageti IV (Pakurodji), namun jika kita mampu melihat dengan mata hati tanpa terikat wadah luar, melepas nilai kebendaan (rupiah), panjenengan akan dapat merasakan ‘sesuatu yang khusus’ Dudut Ati Ngayang Batin.

Darah pendekar besi merasuk ke dalam nadinya dari leluhur-leluhurnya. Usianya yang sudah menginjak 85 tahun tidak mengurangi ketrengginasannya bekerja di besalen tradisonal peninggalan kakeknya. Kesederhanaan hasil tempaannya justru banyak dipercaya menyimpan ‘sesuatu yang lain’. Ciri khas yang menonjol dari beliau adalah ikhlas dan semeleh, sebuah barang langka di era milenial. Mpu Ngadeni membuat keris-keris baru tanpa meninggalkan cara-cara lama atau nilai-nilai luhur yang diyakininya sebagai salah satu kekayaaan (intangible heritage) dari keris itu sendiri, seperti demi mendapatkan esoteri (daya spiritual) terbaik ia tetap tekun melakukan tirakat lek-lekan, sesaji, puasa hingga pemilihan hari tempa. Dengan pendekatan seperti itu, keris baginya tidak hanya sebuah karya tangan, tetapi juga karya batin.

Ngadeni, sang Empu Pungkasan?

PEMILIHAN DHAPUR KERIS, dari puluhan bahkan ratusan nama dhapur keris mengerucut tiga nama dhapur yakni; Sepang, Naga Pengantin dan Putut Kembar. Dimana kesemuanya memiliki ricikan gandik kembar. Namun setelah kami berdua berdiskusi lebih lanjut terpilihlah dhapur Puthut Kembar dengan jumlah Luk Tiga.

Puthut Kembar, adalah simbol keselarasan antara sisi kiri dan kanan, antara awal dan akhir, antara usaha dan hasil, dan antara ikhtiar dan kebahagiaan. Dalam sisi lain menggambarkan keseimbangan, keteguhan, kokoh, dan tidak mudah diubah. Sejak jaman Pajajaran hingga Pajang dipercaya sebagai salah satu pusaka andalan untuk kemakmuran. Banyak juga mitos yang berkembang di masyarakat mengenai keampuhan keris yang lebih dikenal dengan nama Omyang Jimbe ini.

Luk Tiga, keris berluk tiga atau jangkung memiliki makna bahwa manusia diharapkan jinangkung jinampangan dari permohonannya kepada Tuhan Yang Maha Kuasa. Seperti halnya tiga misteri besar hidup manusia di bumi, yakni : rejeki, jodoh dan kematian – semua itu rahasia Ilahi, kita tidak berhak mengurusnya, namun kita tetap diperintahkan untuk berusaha.

PEMILIHAN MATERIAL DAN FILOSOFINYA, Untuk mewujudkan pusaka keluarga tersebut, kami sengaja memilah sendiri semua bahan mulai dari besi, baja dan pamor hingga ke air yang akan digunakan untuk menyepuh nantinya. Adapun material-material yang kami siapkan adalah sebagai berikut :

A. Besi

Kami menggunakan besi-besi kuno yang kami ingin mulyakan sebagai berikut :

  1. Keris Luk 5 Dhapur Anoman, perkiraan tangguh Majapahit (sudah tidak utuh/tanpa ganja). Luk 5 nya melambangkan pengingat keagamaan yang lebih kuat dan seorang Anoman yang menjadi duta ke Alengka, adalah simbol pribadi yang yakin dan mampu menjalankan mission impossible.
  2. Rantai Jangkar Kapal Temuan, sebagai simbol pengharapan akan sesuatu yang kuat yang memberikan keamanan atau ketenangan.
  3. Tewek Punukan, sejenis tombak bermata dua (dwisula) perkiraan tangguh kabudhan, dua sisi tajamnya menyiratkan simbol seorang Istri dan menjadi Ibu.
  4. Pesi Kurung, sebagai pengingat jika kepercayaan sudah rusak, akan sulit untuk kembali seperti semula.
  5. Mata Pancing Besar Temuan, mata pancing yang besar tentu digunakan untuk memancing ikan yang besar pula, harapan yang terkandung di dalamnya semoga rejeki yang didapat akan besar juga nantinya.
  6. Paku Bumi, sejak jaman dahulu digunakan sebagai salah satu tolak bala.

besi-besi sepuh sebagai bahan pusaka

B. Baja

Untuk pemilihan baja, penulis mempunyai feeling untuk menggunakan sebuah pedang temuan sungai Brantas yang sudah bertahun-tahun disimpan. Dan alhamdulilah, ketika bahan tersebut diserahkan kepada sang Empu, ternyata feeling pemilihan tersebut tidak salah. Untuk memastikan apakah pedang tersebut merupakan bahan baja yang baik, lebih dahulu dilakukan pengetesan secara sederhana. Meminjam istilah Mpu Ngadeni adalah dengan cara di’tilam‘, yakni pedang temuan tersebut dipanaskan pada prapen (perapian) kemudian ujungnya sedikit ditekuk. Setelah memijar merah dicelupkan ke dalam air, kemudian dipijar kembali. Setelah logam kembali merah membara diletakkan di paron (landasan), jika nantinya dapat dipatahkan dalam sekali ketuk dengan palu berarti memang baja. Hasil pengetesan sederhana pada pedang temuan dengan cara ‘ditilam’ ini, baja dapat patah sempurna dengan suara nyaring seperti pecahan kaca dan berwarna putih keperakan.

proses menilam baja

C. Pamor Batu Meteor

Karena kami meyakini sebuah pusaka terlahir dari konsep Bapa Angkasa Ibu Bumi, untuk bahan pamor kami sengaja menyelipkan sedikit Batu Meteor pada bagian ganja. Yang penulis pahami meskipun sama-sama batu meteor, tapi kandungan logamnya tidaklah sama satu dengan yang lainnya. Pilihan kami sebenarnya apakah akan mengunakan batu meteor Nantan atau Campo Del Cielo? Menurut ilmu hasil kulak dengar mereka yang pernah menempa kedua batu meteor tersebut, meteor Nantan akan menghasilkan warna lebih gelap keabu-abuan dibandingkan meteor Campo Del Cielo yang lebih putih terang.

Pilihan kemudian jatuh pada batu Meteor Campo Del Cielo. Lewat jasa salah seorang rekan Pecinta keris sekaligus Seller Batu Permata di Rawa Bening, penulis memperoleh batu meteor melalui situs luar negeri e-meteority.cz dan untuk menjamin keamanan jual beli, transaksi dilakukan melalui ebay. Dan ternyata menjadi sebuah kebanggaan tersendiri pusaka ini adalah keris yang ditempa pertama kali oleh Mpu Ngadeni dengan salah satu bahannya mengunakan batu meteor.

pakubumi yang dipercaya sebagai tolak bala sebagai bahan utama ganja

meteor campo del cielo sebagai bahan pamor “khusus” pada bagian ganja

D. Air Sepuhan

Bahwasanya unsur dari sebuah pusaka tidak hanya besi, baja dan pamor saja, melainkan ada unsur-unsur lain; agni (api)  ketika dipijar, bayu (angin) yang dipompa melalui ububan, dan tirta (air) dalam penyepuhan, sebuah ritual akhir yang sejak dahulu wajib dilakukan ketika membabar pusaka. Air untuk menyepuh pusaka ini disiapkan secara ‘khusus’ dengan mengambil dari Sendang Dudo yang terletak dalam satu kompleks api Abadi Mrapen, Grobogan Jawa Tengah. Konon menurut cerita dan diamini langsung ketika Penulis bersama teman-teman perkerisan Jakarta menanyakan secara empat mata kepada salah satu dari tujuh Juru Kunci Mrapen, bapak Rubiatno, bahwa pusaka-pusaka pilih tanding kerajaan Demak salah satunya sangat tersohor, Kiai Sengkelat ‘dipijit-pijit’ di atas watu bobot dan disepuh menggunakan air Sendang Dudo, karena memang diyakini secara turun-temurun bahwa kawasan Mrapen dulunya adalah besalen kerja Mpu Supo. Dan sejarah juga mencatat jika Demak baik secara langsung maupun tidak langsung berperan dalam pudarnya Sang Surya Majapahit. Hal inilah yang menjadikan secara esoteri keris tangguh Demak memiliki penggemar fanatik tersendiri. Selain alasan spiritual di atas, air penyepuhan yang berasal dari Mrapen yang mengisi ‘jiwa’ pusaka ini juga menjadi pengingat agar sebagai kacang tak lupa dengan kulitnya, dimana asal mula/kelahiran Penulis di Grobogan, Jawa Tengah.

air yang tampak hijau keruh di sendang dudo, ternyata jika berada di dalam botol tampak hijau bening dan tidak berbau

api abadi mrapen, berangan-angan suatu saat bisa membabar pusaka tidak hanya mengambil air sendang dudo untuk menyepuh, tapi juga api abadi untuk menempanya

E. Rajah

Untuk menyempurnakan pusaka ini, sebuah ‘rajah’ yang tertulis dalam buku keris kuno (pamor duwung babon Surakarta) diinskripsikan ke dalam besi. Menjadi sebuah ‘enskripsi‘ karena memang setelah digoreskan ke dalam besi selanjutnya ditutup kembali, melekat menjadi sebuah doa hidup yang selalu terlantunkan, yang tidak akan bisa ‘dibaca’ oleh orang lain. “Biarlah menjadi rahasiamu dengan Tuhanmu“. Pengertian dari Mpu Ngadeni meyakini bahwa rajah seharusnya di ‘mantrakan’ dalam pusaka itu sendiri, bukan sesuatu yang hanya menjadi bedak atau hiasan luar untuk dipamer-pamerkan. Rajah mempunyai tataran hubungan spiritual tertentu yang sifatnya pribadi antara pemilik dan pusakanya (menambal kekurangan, penguat batin dll).

Rajah No. 41 (dalam buku tjuriga dapur dimanakan Sembada), jika diterjemahkan kurang lebihnya : siapa yang memakainya segala keinginannya tercapai, serta segala perkataannya harus menyenangkan hati, dan menjadi sosok panutan orang berdagang, selamat anak istrinya,

PROSES PENEMPAAN. Semua bahan diserahkan secara langsung di kediaman Mpu Ngadeni pada tanggal 27 Januari 2017 untuk dimulyakan menjadi sebuah pusaka keluarga. Pada momen tersebut kami juga menitipkan ‘hal lain’ secara khusus saat proses pembabaran pusaka nantinya; pertama pusaka hanya ditempa saat kondisi badan sang Empu sedang fit dan perasaannya sedang senang saja. Bukankah seorang Empu wajib berdamai terlebih dahulu dengan dirinya sendiri sebelum berkarya? Adapun waktu selesai pembabarannya pun bukan menjadi masalah, toh penulis tidak akan menjadi durhaka seperti Ken Arok yang akan menagih janji sebelum waktunya. Kedua pada saat akan hari H akan ditempa supaya memberitahukan via WA/Tlp melalui putranya Mas Rubiyo, karena jika tidak ada halangan akan ikut melakukan tirakat puasa dan lek-lekan.

Kami sangat mengucap Puji dan Syukur kepada Tuhan YME, selama proses penempaan hampir tidak ada kendala yang berarti. Beberapa kali proses penempaan juga diikuti dengan keberhasilan berpuasa, batu meteor yang sempat agak ragu untuk secara teknis bisa ditempa sang Empu ternyata bisa melebur sempurna, dan hingga proses penyepuhan ‘full wilah’ yang menjadi momok dapat dilewati dengan lancar. Terlebih secara khusus mendapat anugerah bisa ditempa saat penduduk bumi mengalami euforia fenomena Gerhana Bulan Total yang bebarengan dengan Super Blood Moon yang mustahil bisa kita alami lagi karena fasenya  bisa mencapai 150 tahun.

Yang menjadi sebuah kesedihan, Ibunda kami berpulang, adem tentrem nderek Gusti pada tangal 2 Maret 2018 karena sakit yang sudah lama dideritanya. Namun ternyata Tuhan memberikan penghiburan lain, dengan kehamilan sang Istri tercinta. Segala sesuatu memang sudah digariskan, kita tinggal menjalaninya dengan ikhlas (Gusti ingkang maringi, Gusti ugi ingkang mundhut).

surat kekancingan versi Mpu Ngadeni dalam bentuk dan kertas yang sangat sederhana, paling tidak agar suatu saat nanti anak cucu kita tidak perlu berdebat masalah tangguh

putut kembar versi Mpu Ngadeni dengan tarikan luk awal yang mirip keris Umyang, besinya tampak berwarna kekuningan, apakah ada hubungannya dengan air sepuhan yang berasal dari Mrapen? seperti catatan Wirasukadgo dalam Serat Panangguhing Dhuwung mengenai tangguh Demak : … pamor muyak merak ati tosanipun kuning raos kemba…..

Pada tangal 8 April 2018, setelah selesai nyekar dalam rangka 40 harian Ibunda di pasarean keluarga Ampel, Boyolali penulis langsung menyempatkan sowan ke Gunung Kidul untuk mengambil pusaka pesanan. Perjalanan menuju kediaman Mpu Ngadeni yang sengaja sedikit nekat mengambil jalan pintas belakang via Klaten dan Jurang Jero melewati medan terjal naik turun pun terbilang sangat lancar.

Pada saat proses serah terima pusaka, Mpu Ngadeni juga berkenan menceritakan mimpi yang beliau peroleh selama proses pembabaran keris ini. Beliau juga memberikan sebuah kenang-kenangan berupa udeng (ikat kepala) yang telah lama beliau pakai.

Inilah sebuah pusaka yang tercipta dari bahan terbaik yang bisa kami jangkau dan pilih untuk keluarga terkasih, ditempa dengan cara lama dan passion khusus sang Empu melewati saat-saat sedih dan bahagia. Keris Dhapur Unggul Jangkung dengan Pamor Segoro Madu, berjuluk Pandita Tapa Dwi Anggayuh Mulyo ini akan punya kisah ceritanya sendiri, mulai saat ini hingga ke generasi penerus  kami yang akan datang.

Semoga kisah pengalaman ini bisa menginspirasi,

12 thoughts on “Sepenggal Perjalanan Sebuah Pusaka Keluarga

  1. Sampurasun… selamat mas penulis semoga membawa berkah.. dan menjadikan inspirasi pecinta keris.. god lucky.. salam kpk….

  2. tulisan yang luar biasa, saya juga suatu saat ingin memesan keris pada sang empu, sudah ada beberapa nama empu. Keluarga saya sebelumnya/generasi sebelumnya tidak terdeteksi memiliki tosan aji pusaka, mungkin ada tapi entah kemana/sudah lama hilang. Maka saya berharap bisa memesan ke empu dan memiliki keris pusaka keluarga yang berkualitas baik, dibuat oleh empu dan diharapkan diwariskan dan diresapi filosofi dan nilai2 luhurnya oleh generasi di bawah saya nanti sampai hari akhir tiba. dan masih berharap suatu saat kita bisa bertemu dan memahari keris dari griyokulo, matur suwun

    1. Aamiin… semoga keinginan kangmas segera terwujud, untuk memiliki sebuah pusaka piyandel dan bisa memulai budaya mewariskan bukan mewarisi. Terima kasih atas atensinya, Rahayu… dhawah sami-sami kangmas

  3. Smg membawa berkah dan aku jg Turut Berduka untuk ibunda kangmas, smg bahagia dan tenang skrg disisi Tuhan. Sukses slalu n slm Rahayu ya kangmas. Takecare. =)

    1. Aamiin…. Matur sembah nuwun sekali mas boy ku yang paling ganteng…. terima kasih atas supportnya. Sukses juga kagem kangmas Oky…. Gusti mberkahi

  4. Sudah lama saya tau tentang Mpu Ngadeni dan keinginan untuk memesan keris pusaka kebeliau sampai sekarang belum terwujud, dan ketika saya baca tulisan kisah Panjenengan ada keinginan kuat dalam batin saya untuk segera mewujudkan keinginan itu, mudah2an Gusti paring ijabah supaya saya bisa segera sowan ke Sang Mpu di gunung kidul…?

  5. Salam rahayu.
    Kagum dengan tulisan dan cerita tentang berbagi pengalaman kang mas, baik suka maupun duka. Tetapi semoga semua berkah dan ada hikmahnya. Amin. Oh iya yg mau saya tanyakan, untuk biaya atau mahar pembuatan keris sendiri kalo boleh saya tau berapa ya. Sebelum dan sesudahnya saya ucapkan terima kasih. Sukses dan bahagia untuk kita semua.

    1. Terima kasih bpk Puji atas apresiasinya dan sudi meluangkan waktunya membaca tulisan di Griyokulo. Aamiin… segala sesuatu pasti ada hikmah dan rencana yang luar biasa dari Tuhan YME ke depannya. Nah untuk masalah mahar biasanya yang menentukan adalah Mpu Ngadeni sendiri, dan bisa jadi berbeda dari pribadi yang satu dengan yang lain. Monggo untuk konsultasi mungkin bisa langsung melalui putranya, Mas Rubiyo (0818268024) yang membantu menempa, karena Mpu Ngadeni sendiri tidak memegang HP. Semoga bisa sedikit membantu

  6. Salam rahayu. Keris pusakanya indah sekali. Tulisan dan pengalaman yang sangat menginspirasi. Kalau berkenan dibagi gambarnya setelah pusaka Bapak diwarangi, biasanya Simbah menyarankan untuk pusaka diwarangi. Untuk putut kembar seperti ini memakai sandangan kayu apa pak. Terima kasih saya ucapkan semoga sukses selalu.

Tinggalkan Balasan ke Griyokulo Batalkan balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *