Harga : 1,500,000,- (TERJUAL) Tn. J Bandung
- Perabot : Blawong
- Model : Wayang 2 sisi (Bolak Balik)
- Motif : Bima Suci dan Arjuna Srikandi
- Bahan : Kayu Jati Tua
- Dimensi : Tinggi 75 cm, lebar 34 cm, tebal 3 cm, berat -/+ 4 kg
- Keterangan Lain : kondisi masih sangat wutuh dan terawat
Ulasan :
BLAWONG, istilah blawong berasal dari daerah pesisir wetan Jawa (Tuban). Adalah papan untuk menempatkan keris lengkap dengan warangkanya, diletakkan dengan cara digantungkan di dinding ruang tamu sekaligus sebagai hiasan atau pajangan. Biasanya terbuat dari kayu jati berbentuk pipih, empat persegi panjang (mirip parut Jw). Keris yang ditaruh di blawong biasanya bukan keris piyandel dari pemiliknya, sebab keris piyandel biasanya disimpan dalam kendaga.
–
Sebagai sebuah produk hiasan, tentu saja papan blawong tidak meninggalkan estetika dan citra rasa seni. Tak heran, jika pada setiap papan blawong tergurat ukiran atau lukisan yang sangat bervariasi, lengkap dengan identitas primordialnya, dimana antara daerah yang satu dengan lainnya memiliki perbedaan yang cukup signifikan. Ada yang hanya dipahat dengan sederhana tanpa diberi pewarnaan, serta ada pula yang dipahat cukup dalam sehingga penampakan obyeknya seperti tiga dimensi. Yang pasti, setiap daerah memiliki kekhasan tersendiri-sendiri yang unik, baik dalam hal kontur pahatan ataupun motif yang terukir di atas papan blawong.
–
Obyek gambar atau motif pahat dari blawong biasanya adalah wayang (wayang purwo, klitik dan krucil). Gambar wayang purwo biasanya dipakai untuk obyek lukisan blawong dari hampir seluruh wilayah di Jawa kecuali daerah Tuban, Grobogan dan Blora yang kebanyakan memakai obyek wayang klitik. Adapun tokoh yang paling banyak digambar untuk blawong adalah para Pandawa dan Punakawan. Tetapi ada juga yang menampilkan bentuk kaligrafi, motif flora maupun fauna dan lain sebagainya (biasanya blawong model ini berasal dari daerah yang penduduknya mayoritas menganut agama Islam, seperti Kudus atau Jepara).
–
Bahan cat untuk menyungging (mewarnai) blawong pada masa lalu pun terbilang masih sangat sederhana sekali. Sebagaimana hasil sungging pada wayang beber, misalnya bahan dasarnya masih sebatas tulang yang digerus menjadi abu, atal batu, nila dan gincu. Untuk menyungging wayang kulit yaitu bubuk warna (oker) yang dicampur dengan ancur merang. Atau warna hitam bisa memakai jelaga yang dicampur dengan ancur juga, sedang untuk warna putih memakai kapur yang juga dicampur dengan lem ancur.
–
Sedangkan dalam corak pewarnaan, sebagian besar pewarnaan pada blawong lebih didominasi warna satu tone, yaitu cenderung warna kuning kecoklatan. Sesuai dengan warna dasarnya yaitu kayu jati yang coklat (biasanya warna natural kayu jati dibiarkan sebagai warna background). Hanya obyek-obyek wayang atau flora-faunanya yang kemudian diberi warna. Dan itu pun terbatas pada warna tertentu saja seperti hitam, oker atau merah dan kadang-kadang ada juga yang menambahkan prada emas. (kemungkinan pemesannya dahulu orang cukup berada seperti lurah atau bekel).
–
Biasanya, pahatan atau gambaran pada blawong hanya terfokus pada bagian muka saja. Namun demikian, ada pula blawong yang dipahat atau digambar secara bolak balik, seperti pada blawong ini. Selain masalah selera pribadi pemesan sebelumnya, alasan yang lebih masuk akal adalah suatu saat jika bosan dapat dibalik. Pada blawong ini tergambar cerita atau lakon :
–
1. Bima Suci
Lakon ini adalah simbol perjalanan olah batin orang Jawa. Lakon ini amat digemari di kalangan kasepuhan karena mengandung perenungan mendalam tentang asal dan tujuan hidup manusia (sangkan paraning dumadi) dan menjawab kerinduan hidup dalam perjalanan rohani orang jawa untuk bersatu dengan Tuhan (manunggaling kawulo Gusti; curiga manjing warangko). Dalam lakon ini dikisahkan Bima harus bertarung dengan Nagabanda. Bagian ini ingin menyampaikan pesan bahwa pada dasarnya yang paling sulit adalah mengalahkan lilitan nafsunya sendiri. Nafsu memang hanya bisa dikalahkan oleh kemauan keras yang disertai keyakinan bahwa dirinya pasti sanggup mengalahkannya. Kisah selanjutnya adalah “Bertemu Dewa Ruci”. Bagian ini ingin menjelaskan setelah keluar dari tubuh kecil Dewa Ruci, Bima yang semula brangasan, menjadi prasojo (digambarkan dengan berganti sandangan sederhana). Memang kenyataannya dalam kehidupan seperti itu. Dalam mempelajari ilmu, selama hakikat dan makrifatnya belum tercapai, seseorang akan sangat leterleks sesuai yang tertulis di buku/kitab atau yang dikatakan oleh guru. Berbeda sedikit saja, akan langsung ditolaknya. Bahkan hawanya cenderung mengarah ke permusuhan.
–
2. Arjuna dan Srikandi
Arjuna memiliki ketampanan luar biasa yang pasti diidam-idamkan oleh seluruh pria di dunia. Ketampanannya begitu melegenda, membuatnya memiliki 41 istri dalam hidupnya. Siapalah wanita yang tak kebat-kebit hatinya melihat sesosok pria tampan dan begitu perkasa tak pernah terkalahkan?
Wayang Srikandi memperlihatkan kepala yang agak mendongak , melambangkan sifat tokoh ini tegas, pemberani. Pribadi Srikandi menjadi salah satu contoh panutan kepribadian wanita Jawa. Dalam Serat Centhini pupuh ke-86 yang bertembang Asmarandana, dari bait 68 hingga 79 digambarkan dengan detail pribadi Srikandi. Yakni seorang perempuan yang mampu bersikap sangat tegas, keras hati, namun tidak kasar dan terhadap suami sangat sayang dan cinta. Banyak ilmunya, karena suka membaca kitab-kitab, pandai dalam soal sastra, tembang dan kesenian. Terampil merias diri, luwes dan ramah dalam pergaulan. Hormat sekali pada mertuanya, Dewi Kunti, serta pandai melayaninya. Bukan seperti Gayatri yang menyembunyikan kepintaran dan kecakapannya melalui tangan Gadjah Mada, dan juga bukan Kartini yang bagai putri pemalu serta penuh dengan hasrat kewanitaan untuk mencapai kesetaraan lewat tulisan-tulisan indah. Sedangkan teratai di bagian atas blawong melambangkan bahwa Srikandi adalah titisan Dewi Amba. Kalung Teratai adalah lambang amanat kutukan Dewi Amba atas kematian Bhisma.
–
Secara kesuluruhan blawong ini masih sanggup mencuri pandang dan layak untuk bersanding dengan pusaka-pusaka ageman. Dimensinya cukup tebal dan berat. Meskipun diukir secara sederhana, bahkan sisi-sisinya tampak seperti di pethel bukan digergaji. Meski begitu sukses menyampaikan pesan cerita yang ada. Blawong adalah simbol romantisme pria Jawa yang terlupakan, dimana seseorang sudah bisa dianggap sempurna dalam hidupnya salah satunya adalah dengan memiliki keris, dan blawong adalah sarana untuk ‘mempertontonkannya’. Namun sayang sekali literatur maupun buku-buku yang membahas mengenai seni blawong nyaris belum ada.
–
Ditawarkan sesuai dengan foto dan deskripsi yang tertera.
Contact Person :
Griyokulo Gallery Jl. Teluk Peleng 128A Kompleks TNI AL Rawa Bambu Pasar Minggu Jakarta Selatan
Facebook : Griyo Kulo SMS/Tlp/WA : 0838-7077-6000 Pin BB : 5C70B435 Email : admin@griyokulo.com
————————————
bagus pak
terima kasih apresiasinya kangmas