Ngadeni Sang Empu Pungkasan?

mpu-ngadeni-parto-sentono

“Untuk menempa pusaka, seseorang tak cukup hanya mempunyai keahlian kasar, tapi juga kehalusan batin agar mewujud sempurna” – Griyokulo

MPU NGADENI, Karena banyaknya rasa penasaran serta keingintahuan dari rekan-rekan melalui sosmed, sms, bbm, wa, maupun via telp pada kesempatan kali ini Griyo Kulo sengaja menuliskan sosok seorang Empu, yang keberadaannya saat ini seakan terlupakan oleh ruang dan waktu. Beliau adalah Parto Sentono atau lebih dikenal Mpu Ngadeni. Nama seorang pembuat keris di desa Grogol II, Wonosari, Kabupaten Gunung Kidul, Yogyakarta. Meski sosoknya sudah memasuki usia senja (menurut penuturan beliau dilahirkan pada tahun 1933) masih cukup trengginas melakukan aktifitas fisik sehari-hari seperti  bertani, membuat alat pertanian seperti bendo, celurit dll, hingga secara khusus membabar keris-keris yang dipesan kepada beliau.

Jiwa “Pendekar Besi” sudah mendarah daging mengalir dari leluhurnya, baik dari ayahnya maupun kakeknya. Ayahnya Karyo Diwongso adalah adik dari Martodinomo, yang juga membuat keris. Keris-keris buatannya tergolong masih sangat sederhana, baik bentuk maupun pamornya. Untuk bahan baku pembuatan keris digunakan besi kejen kuno yang kadang-kadang ditemukan disekitar tempat tinggalnya. Kejen adalah mata bajak. Penduduk setempat menyebut besi kejen kuno itu dengan istilah wesi budo. Karyodiwongso tidak mencampur bahan tersebut dengan logam lainnya. Pamor yang diharapkan hanyalah pamor tiban yang seringkali memang muncul dari bahan besi budo. Bahkan ibunda Presiden Amerika Serikat (Barrack Obama) S. Ann Dunham, dalam desertasinya yang telah diterjemahkan dalam buku berbahasa Indonesia dengan judul : Pendekar-Pendekar Besi Nusantara, telah melakukan studi Antropologi yang cukup mendalam di Desa Kajar, sosok lain yang dibahas pada buku tersebut adalah Empu Djeno Harumbrodjo. Sedangkan Kasan Ikhsan yang bernama kecil Jakiman adalah nama sang kakek. Jakiman adalah seorang Empu dari Singosari, Malang Jawa Timur yang berkelana hingga ke Dusun Kajar, Desa Karang Tengah Wonosari. Di Dusun in Empu asal Singosari ini mendirikan besalennya.

Ngadeni belajar menjadi panjak saat usia muda 20 tahunan. “Supervisi” penempaan sebagai seorang Empu langsung dilakukan sang Ayahandanya sendiri. Sehingga selepas Ayahandanya meninggal, tanggung jawab untuk meneruskan atau nguri-uri tradisi dengan keihlasan dan senang hati diterima sebagai garis hidup yang telah ditakdirkan dan harus dilakoninya. “Saya hanya membuat keris jika dipesan. Saya tidak membuat keris untuk dekorasi. Biarkan keris dekorasi dibuat oleh orang lain saja” demikian penurutan Ngadeni. Sebagai pewaris langsung Empu Karyo Diwongso, Mpu Ngadeni sangat memegang teguh pesan ayahnya untuk selalu bertindak jujur dan tidak termakan kemewahan dunia.

Sebutan Empu bagi Ngadeni, menurut pandangan pribadi penulis sangat layak untuk disandangnya. Pada umumya terutama di Jawa pembuat keris dikenal dengan sebutan Empu, di Bali dikenal dengan nama Pande atau Wangsa Pandie, di Sunda dikenal dengan istilah Guru Teupa. David van Duuren dalam bukunya The Kris menyatakan: “Empu merupakan orang-orang yang dianggap suci dan memiliki kedudukan tinggi di masyarakat”. Mas Ngabehi Wirasoekadga juga menuliskan Empu adalah “mahluk/manusia yang memiliki derajat tinggi”. Bahkan S. Ann Dunham juga berpendapat “seorang Empu secara kelas wong cilik (lawan kata wong gedong/ningrat), tetapi secara status tinggi”.

Di mata penulis sosok Ngadeni adalah seorang yang rendah hati dan sederhana (prasojo) bahkan aura yang adem ayem terpancar dari raut muka, di usianya yang ke 83 beliau sangat paham dan bijak akan arti hidup dan banyak makan asam dan garam kehidupan. Perihal ketertarikan awal membabar pusaka kepada Empu Ngadeni adalah sebuah kerinduan lama untuk memiliki sebuah pusaka yang memang dibabar dan disesuaikan sesuai karakter pemiliknya. Dalam benak penulis pusaka-pusaka sepuh yang ada tentunya dulu dibuat atas pesanan orang lain dan disesuaikan dengan karakter pemesan, kenapa tidak membuat sebuah pusaka yang diperuntukkan untuk diri sendiri, dan suatu saat bisa diwariskan kepada anak cucu? kriteria Empu yang penulis kehendaki tentu saja adalah yang sudah cukup matang usia,  berdarah keturunan empu, sikap serta tingkah laku kesehariannya haruslah juga mencerminkan sebagai seorang Empu. Kemudian dalam teknik pelaksanaannya pun tidak lepas dari ritual dan laku cegah dhahar lawan nendro (mengurangi makan atau puasa dan sedikit tidur) juga sajen, karena dari jaman dahulu pun menjadi bagian yang tak terpisahkan dari pembuatan tosan aji.

Pucuk dicinta ulampun tiba, berbekal dengan informasi yang terbatas, pada awal tahun 2015 penulis beserta adik ipar ketika suatu waktu ada suatu acara keluarga besar berkunjung ke Yogyakarta, berkesempatan untuk mencuri-curi waktu menuju ke tempat kediaman Mpu Ngadeni. Dan setelah beberapa kali bertanya dengan orang-orang hingga sempat hampir tersesat ke arah Gua Pindul akhirnya ditunjukkan arah yang benar. Akses menuju Desa Grogol II relatif mudah dijangkau, dari kota Yogyakarta naik menuju kota Wonosari lebih kurang 1 jam an. Sebelum masuk kota Wonosari ada sebuah bunderan (siyono), belok kiri ikuti jalan sejauh kurang dari 5 km lalu di sebelah kiri jalan akan ada sebuah  gapura (bertuliskan : selamat datang di desa bejiharjo), masuk dan ikuti jalan sekitar 1 km di sebelah kanan jalan ada SDN Grogol II. Berhenti disitu dan cobalah untuk bertanya dengan penduduk setempat, mereka akan dengan ramah menujukkan arah pastinya, karena untuk menuju kediamannya masih harus masuk perkampungan kecil dan hutan pekarangan. Tetapi untuk arah pulang justru lebih mudah, dari kediaman Mpu Ngadeni tinggal belok kiri dan lurus terus, mentog sudah akan bertemu jalan Yogya – Wonosari.

dusun-grogol-ii rumah-mpu-ngadeni

 (jalan menuju dusun Grogol II dan kediaman Mpu Ngadeni, GPS:  7°55’42.8″S 110°37’15.2″E)

Alhamdulliah, Penulis dan adik Ipar diterima dengan hangat dan penuh kekeluargaan oleh Mpu Ngadeni, istri beliau dan seorang anak laki-lakinya, Rubiyo. Di atas meja tamu tersuguh makanan camilan ndeso (kacang, ketela pohon) yang ditanamnya sendiri, teh hangat yang sangat nikmat (direbus dengan kayu bakar)  hingga nasi lengkap dengan lauk pauknya. Sebuah brotherhood yang sudah mulai hilang pada zaman ini untuk  para musafir. Setelah menikmati hidangan yang disajikan Penulis mengutarakan maksud dan kedatangannya, hampir 90% pembicaraan menggunakan bahasa Jawa. Khusus untuk pembabaran pusaka kami tidak merequest dhapur khusus, kami percayakan semuanya kepada beliau. Beliaupun meminta nama lengkap, weton, tanggal, bulan, tahun kelahiran serta pekerjaan sekarang untuk ditulis di secarik kertas. Bagi yang penasaran dengan berapa jumlah mahar untuk membabar keris di Mpu Ngadeni, dari pengalaman yang ada saat itu disepakati mahar per bilah adalah Rp. 2.000.000,-. Biasanya jika menginginkan keris buatannya harus diniatkan untuk datang sendiri, mahar diserahkan langsung (tidak ditransfer) juga setelah selesai dibabar haruslah diambil sendiri (tidak dipaketkan) karena biasanya kita akan mendapat cerita mengenai proses pembabaran pusaka tersebut dari awal hingga akhir serta wejangan (nasehat).

besalen-tradisional-ngadeni ububan

(besalen milik Mpu Ngadeni)

Penulis juga diperkenankan untuk menengok besalennya, dari Pengamatan Penulis, besalen yang ada masih menggunakan alat-alat tradisional, mulai dari ububan yang masih tradisional, paron (landasan untuk menempa) hingga alat bantu lain seperti petil (palu kecil), paju (untuk memotong), supit (penjepit) hingga kikir. Praktis tidak diketemukan gerinda, las, blower dan alat-alat yang menggunakan listrik lainnya. Pekerjaan untuk menyelesaikan satu bilah pusaka dilakukan dengan dibantu mas Rubiyo sebagai Panjak dan sang istri untuk memompa ububan, dan tahap terakhir finishing (pengikiran) dilakukan oleh beliau sendiri. Lama proses pembuatan dijanjikan adalah 1 bulan ke depannya (hitungan jawa 35 hari), dan ternyata tidak sampai melebihi waktu yang ditentukan sudah selesai.

besalen-mpu-ngadeni pusaka-mpu-ngadeni

(kiri: Mpu Ngadeni sedang membabar pusaka pesanan, kanan: serah terima pusaka Sri Wijaya Handayani)

Sekali lagi kami harus sowan kembali, menurut penuturan beliau selama proses pembabaran pusaka lancar tidak ada halangan, saat njenang (meminjam istilah beliau, artinya menempa melipat hingga memotong) juga lancar, api yang keluar di prapen juga menyala tenang.  Pada kesempatan itu juga Mpu Ngadeni berkenan memberi wedaran, jika “keris darinya yang diambil adalah asepnya”, yang dimaknai laku dan doa-doa yang diijabkan terbang ke atas sampai ke surga dan dapat diridhoi dan dikabulkan oleh Allah SWT.

Dengan hati berdebar menantikan dhapur dan pamor apa yang akan kami dapat. Kami juga belajar kearifan lokal lain, dan hasilnya adalah keris yang dibabar sang Empu untuk pribadi penulis adalah keris luk lima dengan ricikan yang ada menurut literatur-literatur adalah dhapur pandhawa menurut penuturan beliau adalah dhapur panca, dengan hadiah nama dari beliau Sri Wijaya Handayani. Sedangkan keris untuk pribadi adik ipar dengan ricikan yang ada menurut literatur-literatur adalah dhapur sempaner menurut penuturan beliau adalah dhapur panggeng, dengan hadiah nama Sri Unggul Handayani. Perbedaan nama dhapur yang ada antara kawruh text book dengan pemahaman turun temurun bukanlah sesuatu untuk diperdebatkan tetapi menambah keanekaragaman budaya Nusantara.

Untuk Pamor yang ada, memang secara teknis pembuatannya cenderung tergolong pamor tiban. Mpu Ngadeni juga menuturkan bahwa “Dalam membuat membabar sebuah pusaka, Ia sifatnya hanya menemani saja, tangannya hanya dipinjam sebagai alat, hasilnya adalah sebuah “kodrat” atas kehendak Yang maha Kuasa”.  Kebetulan pamor yang penulis dapat adalah pamor banyu mili, diharapkan rejeki mengalir terus menerus tanpa henti-henti.

Mpu Ngadeni hanya mempercayai dan menggunakan besi-besi tua sebagai bahan material pembuatan pusaka, seperti kudi kuno hingga tombak-tombak yang sudah tidak sempurna, untuk ditempa (istilah beliau : dimuliakan). Di tangan beliau tosan aji yang berasal dari kumpulan bermacam tangguh bisa tampak sama besinya tapi pamor yang “keluar” bisa berbeda satu dengan yang lain. Sungguh suatu anugerah serta sebuah kelebihan. Seperti contoh keris yang dibabar dan diperuntukkan untuk mendiang Sri Sultan Hamengkubuwono IX, bersama ayahnya ketika didhawuhi sebagai duta pameran di depan tamu negara tahun 1980 berluk sembilan muncul pamor bunga-bunga menghiasi bilah, sehingga dinamakan “sekar buwono”. Ada juga milik salah seorang rekan yang muncul pamor kendit, serta wengkon.

keris-empu-ngadeni

(kiri : contoh keris buatan Empu Ngadeni setelah selesai dibabar, kanan : kondisi setengah jadi)

TANGGUH NGADENI – PENDAPAT PRIBADI, Mungkin jika dibandingkan keris-keris lain, keris buatan Mpu Ngadeni akan tampak sangat sederhana (primitif), tetapi mempunyai karakter kuat. Keris baginya tak hanya sebuah karya tangan, tetapi juga karya batin. Secara jujur pula harus diakui banyak keris yang dibuat oleh para pengrajin madura kualitasnya melebihi semuanya baik dari segi garap maupun pola pamor. Justru dalam konsistensi kekurangannya tersebut menjadi sebuah signature tersendiri.  Keris Ngadeni dapat ditengari dengan ciri-ciri : Pamornya semua tiban, besinya jika diwarangi akan tampak hitam legam seolah basah mirip aspal, gandik-nya melengkung/miring jika memakai sekar kacang terlihat sederhana akan tampak tidak akan keluar melebihi gandik-nya atau segaris, jalen tebal berbentuk segitiga letaknya agak jauh dari sekar kacang, lambe gajah yang dibentuk melintang tebal samar dan sederhana mirip goresan melintang, bentuk pejetan ala kadarnya dangkal seolah-olah hanya diuser-user, tidak terdefinisi jelas, jika memakai sogokan tampak pendek, dangkal, tidak rapi. Tikel alis-nya pun nyaris tidak bisa didefinisikan jelas. Jika keluar keris luk, luknya memanjang di awal, meliuk cantik semakin rapat di atas dengan condong leleh (kemiringan) agak menunduk. Bentuk ganjanya rata berlapis-lapis dengan sirah cecak bulat melingkar, gulu meled samar, buntut urang lancip, jika memakai greneng dha nya tidak kentara, pesi-nya gilig, posisinya agak maju tidak centre di tengah  dan  hampir selalu dipuntir.

Dalam rasa merupakan perpaduan antara sor-soran Segaluh dan luk Mataram, tak salah kiranya jika lebih cocok digolongkan keris tayuhan yang oleh beberapa pemiliknya banyak disinengker-kan (tidak ada hubungan dengan mistis, tetapi lebih kepada chemistry/hubungan batin antara sang pemilik dengan kerisnya). Meski sebagian orang mengagapnya keris STW, tetapi dibuat dengan tanpa melupakan atau meninggalkan cara dan laku yang masih sama dengan jaman dulu oleh orang yang dianggap pantas (benar) dan terakhir dijemput dengan niatan dan pengorbanan untuk mendapatkannya, roso ati marem (PUAS).

foto-bersama-mpu-ngadeni

(foto bersama Mpu Ngadeni dan Istri)

Bagi Panjenengan yang belum mengetahui dan ingin mengetahui lebih sosok empu Ngadeni bisa membaca gambar yang disajikan pada majalah Keris vol 30/2013 serta melihat video di bawah ini:

mpu-ngadeni mpu-ngadeni-2

mpu-ngadeni-3mpu-ngadeni-4

Semoga sharing kali ini bisa memberikan maanfaat bagi semua…..

Rahayu,

Griyo Kulo

13 thoughts on “Ngadeni Sang Empu Pungkasan?

  1. Maturnuwun.. Trimakasih artikelnya.. Sy twtangga Dari Karangtengah Tapi baru tahu semoga menjadi khasanah budaya dn kearifan lokal. Smga Nanti Bisa berkunjung dn meminang maha karyanya..
    Jaya Handayani

Tinggalkan Balasan ke Anton Wijonarno Batalkan balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *