Patrem Naga Pasa

10590558_1712292255668741_9142982091114899016_n

Mahar : 7.777,777,- (TERMAHAR) Tn. AP, Gatsu – Jakarta


1. Kode : GKO-372
2. Dhapur : Naga Pasa/ Naga Tapa
3. Pamor : Ilining Warih
4. Tangguh : Cirebon (Abad XVIII)
5. Sertifikasi Museum Pusaka No : 768/MP.TMII/VII/2019
6. Asal-usul Pusaka :  Surakarta
7. Dimensi : panjang bilah 18 cm, panjang pesi 4 cm, panjang total 22 cm
8. Keterangan Lain : keris patrem


ULASAN :

KERIS PATREM,  dalam dunia perkerisan istilah ‘patrem‘ dipakai untuk menyebutkan keris dengan bilah versi kecil, dapat berbentuk lurus atau luk (kebanyakan hanya sampai luk 5). Atau dalam bahasa yang lebih sederhana, patrem adalah versi kecil dari keris-keris pada umumnya. Meskipun patrem secara ‘size’ bentuknya kecil, namun dalam pembuatannya tetap mengikuti kaidah/pakem sehingga nama dhapur untuk keris patrem pun sama dengan keris-keris pada umumnya. Ada patrem brojol, jangkung, naga siluman dan lain sebagainya. Untuk mengenalinya secara mudah dapat diukur dengan menggunakan rentangan jari tangan. Bila ada keris ukuran panjangnya selebar rentangan ujung ibu jari dan ujung jari kelingking, maka bisa dipastikan bahwa itu adalah patrem. Atau dengan standar ukuran zaman sekarang, sekitar 20 cm.

Memang, dalam masyarakat perkerisan dikenal secara luas beberapa penggolongan jenis tosan aji berdasarkan ‘ukuran panjang bilah’. Tosan aji yang memiliki panjang kurang dari 15 cm masuk dalam golongan Jimatan (walaupun berbentuk putran dari sebuah keris/tombak). Lalu, yang ukurannya kurang lebih sejengkal tangan, atau sekitar 17-25 cm disebut Patrem. Sedangkan panjang 30-39 cm merupakan ukuran normal dari keris. Dan untuk keris yang panjang bilahnya di atas 40 cm lazim disebut Corok.

Lalu mengapa sang Empu harus bersusah-payah membuat keris patrem ini? Ada yang berkeyakinan, bilah pusaka kecil itu sengaja dibuat senyaman mungkin untuk digenggam, khususnya disesuaikan dengan kepalan jari-jari tangan wanita dan sesuai untuk kebutuhan wanita yang memang posturnya lebih kecil dari laki-laki. Patrem kerap diasosiasikan sebagai simbol kehormatan dan keprajuritan wanita jawa, sebuah simbol kekuatan di balik kelembutan. Sebab umumnya kaum perempuan tidak ingin menonjolkan kekerasan dalam pembelaan dirinya. Ketika Raja miyos (keluar keraton) untuk bertemu orang banyak-misalnya bertahta di Sitihinggil, memimpin audensi atau pagelaran, atau ke alun-alun sewaktu acara Gerebegan-Sang Raja selalu diapit pasukan pribadi yang semuanya perempuan. Bersenjata aneka ragam-tameng, busur, panah beracun, tombak, tulup, bedil dan tak lupa dengan sebilah keris diselipkan. Mereka bergelar abdi dalem priyayi manggung atau prajurit keparak estri (juga disebut pasukan Langenkusumo), anggota pasukannya umumnya direkrut dari putri pejabat daerah (lurah, demang) setingkat kecamatan atau kabupaten. Hal ini juga semakin diperkuat dengan catatan Thomas Raffles dalam bukunya The History of Java, diceritakan ketika Ia berkunjung ke Keraton Yogyakarta Ia banyak melihat para prajurit wanita menyandang keris kecil di pinggangnya. Selain membawa tombak, pandai berkuda juga mempunyai ketrampilan memanah. Ketika Malam tiba biasanya semua laki-laki diwajibkan keluar dari dalam keraton, prajurit-prajurit wanita inilah yang bertugas menjaga lingkungan dalam keraton. Bahkan saat menonton acara-acara besar seperti rampogan macan (gladiator ala jawa) Raja Jawa selalu dikelilingi prajurit wanita.

Tak hanya itu, sejarah menulis bahwa sejak jaman kerajaan-kerajaan besar di Jawa, para putri bangsawan selalu memiliki keris. Di zaman itu patrem lazim menjadi teman setia kaum hawa. Kerap diceritakan, saat menanti kepulangan suami yang sedang bertugas jauh, di dalam rumahpun para wanita seringkali menyembunyikan patrem di dalam belitan setagen yang melingkari pinggang, untuk berjaga-jaga dan demi menjaga kehormatan. Takkala sang wanita harus keluar sendiri didampingi para pembantu-pembantunya patrem menjadi busana wajib yang akan selalu disengkelit. Jadi patrem diumpakan sebagai wakil suami yang menjaga dirinya, membuat batin tenang. Orientasi kaum putri terhadap keris berbeda dengan para pria. Mungkin para putri lebih berorientasi pada bidang esoterisnya

Pendapat selanjutnya meyakini keris patrem biasanya merupakan keris pertama anak laki-laki, hal ini diperkuat oleh catatan perjalanan Ma Huan (Ying-Yai Sheng Lan). Ma Huan adalah penerjemah dalam perjalanan ekspedisi laksamana Cheng-Ho. Dia mengikuti 3 dari 7 ekspedisi Cheng Ho, dimana dia mencatat ;” dari anak-anak berumur tiga tahun hingga orang tua berumur seratus tahun, mereka semua, menyelipkan di pinggangnya satu atau dua bilah pisau pendek yang dinamai pu-la-t’ou (belati, mungkin yang dimaksud adalah keris), yang dibuat dari Pin t’ieh (sejenis besi impor dari Persia, atau maksudnya adalah besi berkualitas bagus), dengan pola garis-garis rumit yang sangat indah (mungkin pamor). Gagang (hulu keris) biasanya [dibuat] dari emas atau cula badak atau gading gajah, yang diukir bentuk-bentuk manusia (maksudnya kepala manusia) atau wajah setan (mungkin raksasa). bentuk [senjata] ini sangatlah halus [menunjukkan] karya seni yang tinggi.

Pendapat lain menyebutkan, bahwa bilah tersebut tidak hanya menjadi monopoli kaum hawa dan taruna, akan tetapi bisa saja menjadi senjata fungsional khusus untuk mempersenjatai para Banteng Wareng (pengawal pilihan) dan Wira Tamtama (prajurit pilihan) untuk menunjang kepraktisan tugas mata-mata, hingga mudah disembunyikan ketika dibawa, dan mudah dicabut ketika hendak dipakai untuk pertempuran jarak dekat.

Tetapi ada juga pendapat lain lagi mengatakan bahwa kecilnya bilah itu untuk keperluan spiritual, agar pusaka itu mudah disematkan di tubuh sebagai piandel yang bisa dibawa kemana-mana. Selain kekuatan bendawi dalam keris kecil, ada kekuatan non fisik dari patrem, dimana dipercaya dalam keris kecil kekuatan “isi-nya lebih besar. Pendek kata dalam memahami seluk beluk keris patrem seyogyanya beriringan dengan sejarah, budaya dan ilmu perkerisan secara luas, karena seringkali dalam satu pertanyaan memungkinkan serangkaian jawaban lebih dari satu.

FILOSOFI, dalam jarwo dosok berarti Panggange ingkang damel tentrem atau sesuatu yang dapat membuat tentram hati orang yang membawanya (patrêm: sesuatu yang membuat tentram). Menentramkan jiwa dari kekhawatiran akan ancaman bahaya, baik fisik maupun non fisik. Mereka dapat merasa tentram batinnya, taklala menyanding patrem yang berasal dari orang tua atau leluhurnya sendiri. Mereka merasa yakin, piandelnya ini cukup ampuh, karena dibabar oleh para Empu keris dengan berbagai ritual dan persyaratan ketat. Sebagai pusaka, ukurannya yang kecil, ditambah bentuknya yang luwes dan terkesan manis,  membuatnya menempati ruang tersendiri di hati para pecinta perkerisan.

NAGA PASA, oleh sebagian pecinta keris dhapur Naga Pasa kadang juga disebut Naga Tapa. Keris dhapur Naga Pasa (tapa) dapat ditengarai dengan ciri-ciri antara lain; 1) hanya dijumpai dalam bentuk lurus dan tidak dijumpai yang berupa luk; 2) motif naga ditampilkan dari bagian kepala hingga petit (ekor), badan naga dibuat kurus, menjuntai ke atas (lurus) mengikuti bentuk bilah hingga ujung bilah; 3) motif pendukung lain berupa sraweyan dan greneng serta tidak dilengkapi dengan ornamen logam mulia apapun baik tumbuhan (flora), binatang (fauna), geometrik atau rerajahan. Sesuai dengan nama dhapurnya, keris Naga Pasa atau Naga Tapa di zaman dahulu banyak dikenakan oleh tokoh-tokoh agama atau mereka yang mendalami dunia spiritual

FILOSOFI, Istilah Naga Pasa atau Naga Tapa secara harfiah berarti “naga yang sedang berpuasa” atau “naga yang sedang bertapa (pati raga). Ekspresi naga tampak tenang, dengan mata menatap sayu, mulut terbuka, badan tampak kurus membelah kruwingan menggambarkan kondisinya yang sedang bertapa. Bagian kepala naga dibuat cukup detil dan rumit (ngrawit) tapi tidak meninggalkan kesan kebersahajaannya. Ekor naga pada dhapur Naga Pasa berbentuk kudhup, atau kuncup bunga kanthil. Kanthil yang dalam bahasa Jawa berarti lekat atau melekat. Bentuk semacam ini mempunyai makna kanthi laku, tansah kumanthil. Maksudnya, untuk meraih ilmu spiritual serta meraih kesuksesan lahir dan batin, setiap orang tidak cukup hanya dengan memohon-mohon doa. Kesadaran spiritual tak akan bisa dialami secara lahir dan batin tanpa adanya penghayatan akan nilai-nilai luhur dalam kehidupan sehari-hari (lakutama atau perilaku yang utama). Bunga kanthil berarti pula, adanya tali rasa, atau tansah kumanthil-kanthil, yang bermakna pula pengabdian yang mendalam tiada terputus. Yakni mencurahkan kasih sayang dan manfaat kepada seluruh makhluk, kepada kedua orang tuanya dan para leluhurnya.

PAMOR ILINING WARIH, atau sering disebut banyu mili secara harafiah berarti air yang mengalir, merupakan salah satu motif pamor yang bentuk gambarannya menyerupai garis-garis yang membujur dari pangkal bilah hingga ke ujung. Garis-garis pamor itu ada yang utuh, ada yang putus-putus, dan banyak juga yang bercabang. Garis yang berkelok-kelok itu seolah menampilkan kesan mirip gambaran air sedang mengalir. Seperti filosofi air yang selalu mengalir mencari jalannya sendiri dari Gunung (hulu) hingga Samudera (hilir), membasahi daratan kering, menghidupi tempat-tempat yang tandus. Pamor ini dipercaya membawa semangat pembaharuan, keluar dari masa sulit dalam kehidupannya.  Tak heran banyak Pecinta keris menggemari keris dengan pamor motif sederhana ini karena tuahnya.

CATATAN GRIYOKULO, Sangat sulit rasanya kita bisa menemukan keris patrem yang digarap dengan lumayan detail. Dimensinya yang lebih kecil dari keris umumnya tentu akan sangat memerlukan perhatian ekstra dari sang Empu untuk dapat menampilkan ricikan dengan baik, misal ricikan pada bagian greneng. Sosok naga, terutama kepalanya digarap secara apik dan pakem. Bentuk rahang dengan gigi-gigi kecil menampilkan karakter bentuk nogo nom-noman Jawa bagian tengah (Surakarta). Meski secara keseluruhan terlihat sangat wutuh namun pada bagian rahang bawah naga sudah mengalami korosi. Apakah hal ini disebabkan adanya mut-mutan bola emas yang secara paksa dilepas atau memang korosi alami karna tipisnya bentuk rahang bawah, penulis tidak mengetahui secara pasti. Sebagai abdi yang berkewajiban menemani sang bilah, sandangan patrem yang ada juga masih cukup miyayeni. Sudah dijamas dan diwarangi ulang. Tidak ada pekerjaan rumah, tinggal merawat dan menyimpan saja. Atau barangkali pusaka ini juga dapat dijadikan pilihan sebagai paringan (pemberian/hadiah istimewa) kepada istri tercinta atau putra terkasih untuk ikut nguri-uri budaya bangsa sendiri.

Dialih-rawatkan (dimaharkan) sesuai dengan foto dan deskripsi yang tertera.


Contact Person :

Griyokulo Gallery Jl. Teluk Peleng 128A Kompleks TNI AL Rawa Bambu Pasar Minggu Jakarta Selatan

Facebook : Griyo Kulo SMS/Tlp/WA : 0838-7077-6000 Email : admin@griyokulo.com

————————————

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *