Nogo Siluman Ki Salekta

Mahar : ?,- (TERMAHAR) Tn R, Bogor


1. Kode : GKO-371
2. Dhapur : Nogo Siluman (Ki Salekta)
3. Pamor : Ilining Warih
4. Tangguh : Mataram Sepuh (Abad XVI)
5. Sertifikasi Museum Pusaka No : 767/MP.TMII/VII/2019
6. Asal-usul Pusaka :  Jakarta
7. Dimensi : panjang bilah 36,5 cm, panjang pesi 7,7 cm, panjang total 44,2 cm
8. Keterangan Lain : termasuk dhapur yang banyak dicari


ULASAN :

NOGO SILUMAN, secara umum visualiasi dari dhapur ini pada bagian gandik-nya dipahat/diukir dengan bentuk kepala naga dengan moncong menganga lalu setelah bagian lehernya, badan naga itu seolah menghilang, menyatu ke dalam bilah keris. Selain itu ricikan lainnya adalah sraweyan, ri pandan dan/atau greneng. Diantara varian keluarga naga, dhapur Nogo Siluman lebih banyak dijumpai daripada dhapur naga lain seperti; nosososro, nogo lare, nogo poso dan lain sebagainya. Konon menurut dongeng atau mitos dhapur pancer Nogo Siluman dibuat pertama kali oleh Mpu Gebang pada masa pemerintahan Prabu Ciungwanara di kerajaan Pajajaran, sekitar tahun 1326 M.

Salah satu keris pusaka milik Keraton Kasultanan Yogyakarta juga berdhapur Nogo Siluman (luk 13), Keris tersebut adalah Kanjeng Kyai Gandawisa. Kanjeng Kiai Gandawisa diharapkan oleh si Empu memiliki keampuhan seperti namanya. Gandawisa berarti bau bisa, makna lebih jauh pada nama keris ini adalah “amat beracun”. Dalam catatan keraton keris ini dibuat oleh Panembahan Mangkurat pada zaman pemerintahan Sri Sultan Hamengkubuwono V.

Keris Nogo Siluman tampaknya juga memiliki kedudukan yang sakral bagi Pangeran Yogya yang lain, seperti Pangeran Diponegoro. Konon Pangeran Diponegoro adalah sosok lain yang perjuangannya juga dikaitkan dengan keris pusaka “Kyai Nogo Siloeman”. Pangeran dari Keraton Yogyakarta putera Sultan Hamengkubuwono III itu diceritakan selalu menyelipkan keris (Kyai Nogo Siloeman?) dengan warangka gayaman timoho pelet kendhit di dadanya. Dengan jubah dan surban kiai, keris pusakanya selalu tersengkelit secara jelas. Perang Jawa yang dikobarkan oleh Diponegoro sejak Juli 1925 itu memang dahsyat. Belanda harus mengerahkan segenap sumber-sumber dayanya untuk memadamkan perlawanan Diponegoro dan pengikutnya. Kendati memiliki persenjataan yang lebih modern dan taktik perang Eropa, Belanda benar-benar dibuat impotent menghadapi laskar Diponegoro. Bahkan pada tanggal 21 September 1829 Belanda mengeluarkan woro-woro disertai ganjaran, bahwa siapa saja yang dapat menangkap Pangeran Diponegoro akan mendapat hadiah 20.000 ringgit. Tetapi usaha ini tidak berhasil, karena rakyat pribumi bersatu dalam semangat “Sadumuk bathuk, sanyari bumi ditohi tekan pati”; sejari kepala sejengkal tanah dibela sampai mati.

Dalam perjuangannya, Pangeran Diponegoro mendapat dukungan dari rakyat, ulama dan juga kaum bangsawan. Sebanyak 15 dari 19 pangeran bergabung dengan Diponegoro, diantaranya ada Pangeran Mangkubumi, Pangeran Joyokusumo dan lain-lain. Sementara dari kaum ulama ada Kiai Mojo (yang juga menjadi pemimpin spiritual), Haji Mustopo, Haji Badaruddin dan Alibasha Sentot Prawirodirdjo. Dalam perang jawa ini Pangeran Diponegoro juga berkoordinasi dengan I.S.K.S. Pakubowono VI serta Raden Tumenggung Prawirodigdoyo Bupati Gagatan.

Karena biaya operasional perang yang besar (diperkirakan 20.000 gulden)  dan korban banyak berjatuhan (tercatat kurang lebih 8000 serdadu belanda), membuat Belanda akhirnya mengubah taktik. Setelah perang selama 5 tahun, pada tanggal 28 Maret 1830 Kumpeni Belanda mengajak berunding di rumah Residen Kedu (Magelang). Maka digelarlah genjatan senjata. Inilah, konon awal kehancuran Sang Pangeran Tegalrejo. Ketika memasuki ruang perundingan, Pangeran Diponegoro diminta menyerahkan semua senjata dan keris pusaka yang selalu disengkelit kepada opsir penjaga. Ternyata semua hanya siasat, perundingan tidak mencapai kata sepakat. Jenderal De Kock ternyata mengingkari janjinya karena pada saat Pangeran Diponegoro hendak meninggalkan meja perundingan, beliau ditangkap oleh pasukan Belanda. Para analisis kebatinan menyebutkan, ini merupakan kesalahan Diponegoro. “Bila tidak melepas, Belanda tidak akan punya nyali meringkusnya”. Dikisahkan keris Kiai Nogo Siluman bersama dengan tombak Kiai Rondhan dan pelana kuda, diserahkan pada Raja Willem I yang bertahta 1813-1840 sebagai sebagai bukti sekaligus simbol bahwa sang pangeran Diponegoro telah ditaklukkan dan ditangkap.

Hari itu juga Diponegoro ditangkap dan diasingkan ke Ungaran, kemudian dibawa ke Gedung Karesidenan Semarang, dan langsung ke Batavia menggunakan kapal Pollux pada 5 April. Di Batavia Sang Pangeran ditawan di Stadhuis (sekarang gedung Museum Fatahillah), sambil menunggu keputusan penyelesaian dari Gubernur Jenderal Van den Bosch. Beliau wafat dalam masa pembuangannya di Makasar pada tanggal 8 Januari 1855.

FILOSOFI, Dalam cerita pewayangan Jawa, Naga dianggap sebagai bangsa terkuat dan memiliki intelektualitas tertinggi pada zamannya sehingga disinggung dalam peperangan besar Baratayudha bangsa naga tidak boleh ikut campur dalam peperangan tersebut. Dalam dunia pakeliran disebutkan bahwa para dewa mempunyai skenario bahwa keluarga Bharata (Pandawa dan Kurawa) harus berperang sampai titik darah penghabisan untuk memperebutkan Astinapura. Ini takdir para dewa yang harus terjadi. Karena itu apapun yang menghalangi skenario ini, harus disingkirkan. Menurut para dewa, Antareja salah satu dari tiga Ksatria Pandawa yang pasti akan menggagalkan Bharatayuda. Salah satu anak Pandawa ini dipastikan akan dalam sekejap menumpas Kurawa, sehingga yang akan terjadi adalah penumpasan kilat sekaligus pembunuhan massal, bukan perang dahsyat yang membanjirkan darah di kedua pihak. Sehingga Antareja anak dari Bima yang memiliki darah naga dari ibunya Nagagini, akhirnya kembali kekediaman bangsa naga di dunia bawah.

Hiasan berbentuk naga juga sangat lekat dengan budaya Jawa. Umumnya terdapat di gamelan, pintu candi, gapura, juga budaya tosan aji, sebagai “lambang penjaga”. Naga di peradaban timur mendapat tempat terhormat, karena meskipun mempunyai kekuatan dahsyat yang bisa menghancurkan, namun tidak semena-mena dan bahkan bisa mengayomi. Istilah naga sendiri merupakan kata serapan dari bahasa Sansekerta atau India kuno yang bermakna “ular”.

Sedangkan Siluman, dalam KBBI Siluman memiliki dua (2) arti. Dalam arti nomina atau kata benda siluman dapat menyatakan nama dari seseorang, tempat, atau semua benda dan segala yang dibendakan (Siluman berarti makhluk halus yang sering menampakkan diri sebagai manusia atau binatang). Arti dari siluman bisa juga masuk dalam jenis adjektiva atau kiasan sehingga penggunaan siluman bisa bukan dalam arti kata yang sebenarnya, sehingga siluman dapat mengubah kata benda atau kata ganti, dengan menjelaskannya menjadi lebih spesifik (Siluman berarti tersembunyi tidak kelihatan).

Dalam budaya Jawa dikenal juga dengan bangsa Siluman, yakni sebuah dunia yang dihuni oleh makhluk halus/gaib yang tidak tampak oleh mata orang biasa (gaib). Pemujaan kepada danyang, baureksa, lelembut penguasa suatu teritorial sebenarnya adalah kepercayaan Jawa asli, yang ada sebelum Hindu-Budha masuk ke Indonesia. Tampaknya hal itu bertahan sampai sekarang. Pertemuan antara manusia dengan siluman seringkali menjadi bagian dari cerita-cerita misteri yang digemari. Seperti halnya dikisahkan dalam Serat Wedatama bahwa Nyai Ratu Kidul dikatakan kalah perbawa dengan wong agung (Sutawijaya) dan tunduk kepadanya.

Maka dhapur Nogo Siluman memiliki makna sebagai “guru sejati” dalam bentuk daya supranatural yang memiliki kekuatan adikodrati, artinya menyadari bahwa pengaruh dan kekuatan penentu itu tidak lagi berasal dari roh-roh yang tidak kelihatan, melainkan berasal dari satu kekuatan mutlak, adikodrati, yaitu Tuhan Yang Maha Esa. Tuhan merupakan satu-satunya penentu, sebab pertama dan tujuan akhir segala sesuatu yang ada, sehingga dengan demikian segala fikiran, tingkah laku dan perbuatan manusia selalu diorientasikan kepada Tuhan, sejalan dengan dogma-dogma agama yang dianut manusia.

TENTANG TANGGUH, meski dalam tampilan wujud yang sederhana bentuk sang Naga tetap mampu memancarkan aura maskulinitas. Bentuk Naga menggunakan topong kethu (mahkota tumpul), seperti mahkota yang dikenakan Bathara Guru dan Adipati Karna. Mulut sang Naga tampak menyeringai tanpa sumpalan mut-mutan bola emas atau apapun. Pada moncong yang menganga ini seringkali dijejali butiran emas/batu mulia. Dimaksudkan untuk meredam penampilan galak dari naga itu, selain itu tentu saja dapat difungsikan untuk menambah keindahan dan kemewahannya. Namun jika bentuk naga yang diukir pada gandik itu tidak mempunyai kesan penampilan yang galak/angker, penyumpalan butiran emas atau batu mulia tidak perlu dilakukan. Sedangkan badan sang Naga sendiri dilukiskan mulai dari leher dan dadanya kemudian menghilang menjadi ada-ada pada keris.

Besinya pun berwarna hitam wingit, terutama dari material pasir besinya yang berpori, Dalam perabaannya cenderung kering, kemungkinan bahan biji besinya berasal dari pesisir pantai atau dalam penyepuhannya menggunakan air yang salinitasnya tinggi. Apabila diminyaki terasa sekali cepat keringnya, sehingga memerlukan porsi minyak dua hingga tiga kali lebih banyak dari tosan aji sejenis. Orang-orang tua zaman dahulu menyebut jenis besi seperti ini adalah besi ‘yang hidup’, mampu menyerap minyak dengan cepat, dan dipercaya mempunyai kelebihan lain, yakni untuk menyerap energi-energi negatif seperti halnya keris tindih. Namun memang secara visual jenis besi seperti ini terkadang kurang disenangi oleh para penikmat tosan aji yang lebih mendambakan tosan aji dengan karakter halus/pulen seperti pipi bayi.

Naga Siluman ini juga memiliki condong leleh (derajad kemiringan) agak berbeda dari keris-keris normal, seolah tampil lebih percaya diri diwujudkan dalam bentuknya yang cenderung tegak. Sebuah condong leleh yang menampilkan karakter surya (kewibawan/kedudukan/kekuasaan). Demian pula dengan bentuk luk sarpa lumampah atau sarpa lumaku, dengan ciri lekukannya yang agak kaku/agak kendur, irama lekukannya seperti gerak ular yang sedang melata dengan tenang, tidak tergesa-gesa. Sedangkan untuk warangka yang disandangnya pun masih gagah mendampingi. Tidak ada pekerjaan rumah yang menunggu.

KI SALEKTA, adalah nama asli dari pusaka ini yang Penulis dapatkan dari pemilik sebelumnya. Namun hingga kini Penulis masih belum bisa menyingkap arti dan makna yang sebenarnya dari Ki Salekta. Penulis sangat berharap sekaligus mendoakan, siapapun nantinya ndoro barunya yang kalungguhan pusaka ini akan dapat menyingkap tabir ‘pusoko asmo‘ dari Ki Salekta.

PAMOR ILINING WARIH, atau sering disebut banyu mili secara harafiah berarti air yang mengalir, merupakan salah satu motif pamor yang bentuk gambarannya menyerupai garis-garis yang membujur dari pangkal bilah hingga ke ujung. Garis-garis pamor itu ada yang utuh, ada yang putus-putus, dan banyak juga yang bercabang. Garis yang berkelok-kelok itu seolah menampilkan kesan mirip gambaran air sedang mengalir. Seperti filosofi air yang selalu mengalir mencari jalannya sendiri dari Gunung (hulu) hingga Samudera (hilir), membasahi daratan kering, menghidupi tempat-tempat yang tandus. Pamor ini dipercaya membawa semangat pembaharuan, keluar dari masa sulit dalam kehidupannya.  Tak heran banyak Pecinta keris menggemari keris dengan pamor motif sederhana ini karena tuahnya.

Dialih-rawatkan (dimaharkan) sesuai dengan foto dan deskripsi yang tertera.


Contact Person :

Griyokulo Gallery Jl. Teluk Peleng 128A Kompleks TNI AL Rawa Bambu Pasar Minggu Jakarta Selatan

Facebook : Griyo Kulo SMS/Tlp/WA : 0838-7077-6000 Email : admin@griyokulo.com

————————————

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *