Korowelang

10590558_1712292255668741_9142982091114899016_n

Mahar : 5.555,555,- (TERMAHAR) Tn. BI Kodamar, Jakarta Utara


1. Kode : GKO-333
2. Dhapur : Korowelang
3. Pamor : Ngulit Semangka
4. Tangguh : Mataram Madiun (Abad XVIII)
5. Sertifikasi Museum Pusaka No : 1611/MP.TMII/XII/2018
6. Asal-usul Pusaka :  Semarang
7. Dimensi : panjang bilah 34 cm, panjang pesi 6,8 cm, panjang total 40,8 cm
8. Keterangan Lain : warangan lama, warangka dusun+ mendak perak lamen


ULASAN :

KOROWELANG, adalah salah satu bentuk dhapur keris luk tiga belas. Ukuran panjang dan lebar bilah keris ini sedang. Permukaan bilahnya nggigir lembu, karena memakai ada-ada. Keris ber-dhapur Korowelang memakai kembang kacang, lambe gajah-nya hanya satu, dan eri pandan. Selain itu tidak ada lagi ricikan lainnya pada keris ini. Menurut Buku Ensiklopedi Keris karangan Alm. Bambang Harsrinuksmo (2004) keris Korowelang tergolong keris yang langka.

CERITA RAKYAT, Pada zaman Majapahit, keris Prabu Brawijaya bernama Jalak Sumelang Gandring menghilang dari gedong pusaka kerajaan. Dalam sayembara yang diadakan Empu Supa Mandrangi menyanggupi untuk menemukan kembali pusaka kerajaan yang hilang dicuri tersebut. Ia kemudian pergi ke daerah Blambangan dan menyamar menjadi Ki Pitrang. Karena kepandaiannya dalam membuat keris, Ki Pitrang pun menjadi cepat terkenal. Suatu waktu Ki Pitrang dipanggil Adipati Blambangan yang bernama Siyunglaut, untuk membuat keris. Setelah sang Adipati mengeluarkan keris untuk diputrani, Ki Pitrang akhirnya tahu, bahwa keris tersebutlah yang sedang dicari. Ki Pitrang lalu menyanggupi untuk membuat putran keris tersebut. Kemudian dibuatlah sebanyak 2 (dua) bilah keris yang sama persis, dan aslinya disembunyikan. Kemudian 2 (dua) keris putran tersebut dihaturkan kepada Adipati Siyunglaut. Karena gembira hati, Sang Adipati memberikan ganjaran kepada Ki Pitrang putrinya yang bernama Retna Sugiyah. Putri ini sudah beberapa kali menikah, namun pernikahan tersebut tidak pernah lama, sang suami selalu meninggal. Ki Pitrang penasaran, rahasia apa yang sebenarnya terdapat pada sang Putri. Akhirnya rahasia tersebut diketahui, sebab pada kemaluan sang Putri terdapat ular welang, dimana ular tersebut keluar dan menggigit alat kelamin pria yang menyanggamainya. Oleh Ki Pitrang ular welang tersebut dicabut, dan kemudian ditanam di bawah pohon Koro (sejenis polong-polongan). Pada malam hari, ular welang yang ditanam itu hilang, yang tertinggal hanya sebilah keris luk tiga-belas. Oleh Ki Pitrang keris tersebut dinamakan Koro Welang.

CERITA KEPAHLAWANAN, Selain itu terdapat juga kisah Keris Korowelang yang menjadi salah satu piyandel Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Arya (KGPAA) Mangkunegara I, atau yang lebih akrab di telinga sebagai Pangeran Samber Nyawa yang hingga saat ini pusaka tersebut masih tersimpan di Tugu Ireng Kecamatan Selogiri, Wonogiri, Jawa Tengah. Keris pusaka ini dianggap ‘berjasa’ saat digunakan dalam peperangan melawan Belanda, dan dipercaya memiliki tuah untuk menangkal segala macam halangan dan rintangan yang menghadang. Pangeran Jawa satu ini memang tidak mengenal rasa takut. Sejak usia muda, ia sudah akrab dengan konflik. Pada satu titik dalam hidupnya ketika dewasa, ia harus melawan tiga musuh sekaligus: VOC (Belanda), Kasunanan Surakarta, dan Kesultanan Yogyakarta, sebelum tampil sebagai Mangkunegara I. Sepak-terjangnya susah dihentikan dan justru mengakibatkan banyak “makan” korban dari pihak lawan. Dari situlah ia dijuluki Pangeran Sambernyawa, bahkan sampai akhir per­juangannya tidak pernah dapat ditangkap Belanda.

Dalam bertempur, Pangeran Sambernyawa sendiri merupakan peletak dasar strategi perang gerilya. Yaitu sebuah siasat perang dengan menggunakan tiga teknik yaitu jejemblungan, dhedhemitan, dan weweludan. Jemblung bagai orang gila dan tidak punya rasa takut, dhemit atau hantu yang susah diraba keberadaannya, serta welud atau belut yang sangat licin ketika hendak ditangkap, juga berdasar pada pertimbangan kerahasiaan yang tinggi untuk mengecoh dan menguasai lawan. Secara garis besar, Pangeran Sambernyawa dan pasukannya adalah pasukan elite yang sangat taktis, lihai, dan sukar diendus gerakan maupun keberadaannya. Selain konsep gerilya, ternyata Samberyawa pun membagi pasukannya dalam tiga matra, yaitu matra darat, matra laut, dan matra gunung. Untuk pasukan masing-masing matra sengaja dipilih dari penduduk lokal per matra, sehingga menguasai teknis dan medan pertempuran sesuai karakter masing-masing. Strategi perang itu kemudian ditiru Panglima Besar Jenderal Sudirman, dan kemudian juga dipakai pasukan elite TNI hingga sekarang.

Murub Kumbul Kusumaning Bangsa, “Menyala menjulang kusuma bangsa”. Sudah menjadi rahasia umum, jika Pangeran Sambernyowo menjadi salah satu tokoh yang sangat dikagumi oleh mantan presiden ke-2 yakni Soeharto. Kini, makam Soeharto pun  tidak jauh dari makam Pangeran Samber Nyawa. Semangat juang dan rasa kesetia-kawanannya juga sangat menonjol tercermin dalam semboyan perjuangan “Tijitibeh” atau “Mati Siji Mati Kabeh Mukti Siji Mukti Kabeh”, yaitu “Mati satu mati semua, mulia satu mulia semua”. Dapat dimaknai sebagai konsep kebersamaan antara seorang pemimpin dengan rakyat yang dipimpin. Sebuah konsep yang patut ditiru oleh pemimpin saat ini.

Pangeran Samber Nyawa ratusan tahun lalu melahirkan falsafah “Tri Dharma” bahwa dalam membela negara seluruh bangsa hendaknya rumangsa melu handarbeni (merasa memiliki), wajib melu hanggondeli (wajib ikut mempertahankan). Dan ajaran ketiga adalah mulat sarira hangrasa wani atau mawas diri. Falsafah Tri Dharma  diajarkan untuk memotivasi rakyat mencintai dan loyal terhadap kerajaan/negerinya. Tidak mengherankan dhapur Koro Welang merupakan dhapur klangenan mereka yang berprofesi dalam kedinasan militer/polri. 

TANGGUH MADIUN, Pada Palihan Nagari (1755), Mataram dibagi menjadi dua keraton (Surakarta dan Yogyakarta), maka Madiun yang menjadi vasal Keraton Yogyakarta, adalah penyumbang utama senjata-senjata keraton baru itu. Tidak sedikit pusaka-pusaka Keraton Yogyakarta yang dibuat oleh para Empu Madiun – khususnya daerah Magetan dan Sewulan. Berdasarkan cerita tutur rakyat, Desa Sewulan merupakan tanah perdikan yang dihadiahkan seorang Raja pada akhir kerajaan Majapahit. Sewulan berasal dari kata sewu dan wuwul. Sewu adalah seribu, sedangkan wuwul sama dengan ukuran tanah yang diperkirakan seluas satu hektar. Jadi kemungkinan Sewulan adalah semua wilayah yang seluas kurang lebih seribu hektar yang dijadikan tanah perdikan (bebas pajak atau glondhong pangareng-areng). Konon pula pada jaman Demak, di tanah perdikan ini tinggal seorang Empu keris dari kerajaan Islam pertama itu di Jawa yang bernama Empu Suro – yang nantinya menurunkan generasi pembuat keris. Empu Suro ini diyakini oleh masyarakat perkerisan sebagai Ki Umyang. Pada zaman Mataram Kartasura. Sewulan merupakan salah satu desa di Madiun yang membuat keris untuk kepentingan pihak keraton – sekitar pemerintahan Susuhunan Amangkurat II, Susuhunan Amangkurat III, sunan PB I dan sunan PB II.

Keris-keris Madiun memang tidaklah seindah keris-keris Surakarta atau Yogyakarta. Kesannya justru wagu, angker, dan nggegirisi. Pamor yang ada pada keris-keris Madiun juga tak terlalu beragam. Yang banyak ditemui di tangan para kolektor lokal (mantan-mantan lurah atau sesepuh desa)  umumnya adalah ngulit semangka, wos wutah dan beberapa pamor miring seperti uler lulut hingga buntel mayit. Bentuknya sederhana, tetapi dengan melihat sepintas saja sudah terlihat kesan wingit-nya sangat kuat dan terasa mempunyai perbawa sendiri. Dan memang sepertinya nilai esoteri inilah yang hendak ditonjolkan oleh keris-keris Madiun, yang dipercaya membuat tenang dan percaya diri pemiliknya.

Jika umumnya keris-keris Madiun mempunyai ciri sogokan dan blumbangan yang tidak pernah imbang antara sisi kanan dan kirinya, serta jarang menggunakan ada-ada (bagian tengah yang lebih menonjol) justru keris Koro welang ini seolah tampil di luar mazhab Madiun. Mesti ukuran panjang bilahnya masuk rata-rata keris pada umumnya, seolah mengesankan birawa dengan bilah yang lebar dan luk rengkol. Besinya ngrasak, kasap dengan pamor tlotor-tlotor mirip keris Mataram muda (Kartosuro) yang banyak dibabar pada masa-masa pergolakan. Bentuk gandik yang amboto rubuh (miring), dengan sekar kacang yang nggelung wayang (yang sangat Penulis sukai} serta lambe gajah yang tipis dan runcing seperti duri menambah kesan nyatriya dan keluwesan tampilannya. Tantingannya juga ringan khas keris-keris sepuh yang matang tempa. Seolah bagian gonjo maskumambang tak ingin ketinggalan, tampil unik dengan cocor yang maju ke depan dan pada bagian belakang dimbangi sedikit tungkakan serta bagian greneng yang masih terlihat wutuh, huruf jawa dha nya masih kentara.

gonjo maskumambang, Pemilik keris dengan gonjo semacam ini bisa bergaul baik dengan kalangan atas maupun bawah

Pusaka ini didapat dari seseorang di daerah Semarang, yang merupakan “tinggalan” dari Bapak mertuanya. Stereotip mengenai keris Korowelang banyak dimiliki sebagai piyandel bagi mereka yang aktif berdinas di dunia “keperwiraan”seolah semakin bertambah dengan temuan sample pusaka ini yang memang dulunya dimiliki oleh seseorang yang pernah berdinas di Angkatan Darat. Untuk pekerjaan rumah selanjutnya barangkali adalah mengganti  warangka yang sudah uzur, terdapat bekas retakan di bagian belakang antara sambungan warangka dan gandar yang sudah dilem. Pilihan warangka Surakarta sepertinya lebih masuk akal, karna dengan bilah yang agak lebar “agak susah” dipasangkan dengan warangka yogykarta dengan pendok yang ramping. Penjamasan dan pewarangan ulang sepertinya juga bisa dijadikan pilihan juga jika ingin tampil lebih “cakep” dalam detil kontras.

PAMOR NGULIT SEMANGKA, disebut demikian karena pamor yang dibuat oleh sang Empu mirip sekali dengan corak pada kulit buah semangka, yakni berupa beberapa garis lengkung dari bentuk garis lengkung terkecil  kemudian melebar dengan lengkungan yang membesar, menunjukkan gerak yang teratur harmonis. Dapat dikatakan bahwa garis-garis lengkung yang berirama pada pamor ngulit semangka ini membawa pesan moral dalam kehidupan manusia yang selalu berubah (naik dan turun). Menjadi orang yang lebih percaya diri (optimis), bijaksana dalam memutuskan suatu permasalahan (dinamis), dan pandai dalam pergaulan untuk menyesuaikan dengan segala keadaan (flexible). Fase kehidupan yang kemudian berkembang untuk mencari jati diri, mau belajar dan menjalin kehidupan sosial agama. Yang nantinya akan membawa dirinya menuju ke dalam penyatuan diri melalui pasang surut  keadaan, dan pada akhirnya harus kembali ke asalnya.

Dialih-rawatkan (dimaharkan) sesuai dengan foto dan deskripsi yang tertera.


Contact Person :

Griyokulo Gallery Jl. Teluk Peleng 128A Kompleks TNI AL Rawa Bambu Pasar Minggu Jakarta Selatan

Facebook : Griyo Kulo SMS/Tlp/WA : 0838-7077-6000 Email : admin@griyokulo.com

————————————

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *