Mahar : 18.000,000,- (TERMAHAR) Tn. MA, Pekalongan
1. Kode : GKO-334
2. Dhapur : Brojol
3. Pamor : Udan Mas
4. Tangguh : Tuban Pajajaran (Abad XIV)
5. Sertifikasi Museum Pusaka No : 1629/MP.TMII/XII/2018
6. Asal-usul Pusaka : Kolektor Jakarta
7. Dimensi : panjang bilah 33,5 cm, panjang pesi 7 cm, panjang total 40,5 cm
8. Keterangan Lain : warangka cendana wangi iras, kolektor item
ULASAN :
BROJOL, adalah salah satu bentuk dhapur keris lurus. Ada dua versi bentuknya; yang pertama, panjang bilahnya hanya sekitar 15 sampai 19 cm, bilahnya tipis, rata dan biasanya merupakan keris kuno. Pejetan yang ada hanya samar-samar saja. Gandhik-nya pun polos dan tipis. Kadang-kadang memakai gonjo iras (menyatu dengan bilah). Kadang-kadang pula pada bilahnya ada lekukan-lekukan dangkal, seolah lekukan itu bekas ‘pijitan‘ dari jari tangan. Keris brojol jenis pertama ini (pendek) sering disalah kaprahkan secara “berjamaah” dengan sebutan keris Sombro, padahal sombro bukan nama dhapur keris, melainkan nama seorang empu wanita dari Pajajaran yang hijrah ke Tuban. Sedangkan jenis brojol yang kedua (seperti pada udan mas ini), ukuran panjang bilahnya sama dengan keris biasa, sekitar 30-35 cm. Gandhik-nya polos dengan ricikan hanya pejetan (kentara) tanpa ricikan lain. Menurut mitos/dongeng keris dhapur brojol bersama dengan dhapur betok dibabar oleh mpu Windusarpa pada masa pemerintahan Nata Prabu Kudalaleyan, tahun jawa 1170.
FILOSOFI, Bahasa Jawa adalah bahasa yang kompleks dan rumit, banyak sekali kata atau sebutan istilah yang sulit sekali untuk diterjemahkan, termasuk didalamnya istilah “brojol”. (m)Brojol adalah suatu istilah atau terminologi jawa sering dipergunakan untuk mengungkapkan peristiwa lahirnya jabang bayi ke dunia (dari alam rahim ke alam dunia). Keris sebagai suatu karya spiritual, tentunya juga “membawa pesan” yang ingin disampaikan oleh sang empu. Bayi yang baru saja dilahirkan tentunya sangatlah polos dan bersih, belum memiliki apapun kecuali berpasrah diri terhadap ibunya, begitulah kita wajib berpasrah diri kepada Tuhan Yang Maha Esa. Sesungguhnya dengan kelahiran itu, kita kembali diingatkan akan asal muasal kita. Pesan yang ingin dititipkan oleh sang empu melalui keris dapur brojol adalah agar manusia dapat dilahirkan kembali secara spiritual – kembali ke fitrah (lahir dan hidup baru menjauhi dosa-dosa lama) atau hijrah (berpindah menuju kehidupan lebih baik, bermakna, dan indah).
Ketika kita sudah mbrojol (lahir) berarti kita siap untuk tahap berikutnya, yakni hidup. “Hidup sekali harus berarti”. Berarti mempunyai makna bahwa orang lain akan merasakan adanya kita, lingkungan merasakan kehadiran kita. Ketika kita diberikan kesempatan untuk hidup maka berilah apapun yang bisa diberikan, bantu apapun yang bisa dilakukan dan lindungi apapun yang mampu kita dekap. Ketika hidup kita sudah mempunyai arti maka tahap selanjutnya tidak akan berbuah penyesalan. Tahap yang dimaksud adalah kematian, karna kematian merupakan takdir yang akan kita terima diujung waktu sebagai penggenapan akan kelahiran.
PAMOR UDAN MAS, bagi sebagian orang daya tarik sebuah pusaka, keris khususnya, adalah daya linuwih atau vibrasi yang dipancarkannya. Melalui pamor, gambaran daya linuwih ini dapat diraba untuk dibaca dan dipercaya mampu menarik energi positif yang akan mempengaruhi nasib atau peruntungan pemiliknya. Seperti pamor udan mas, adalah salah satu motif pamor yang sangat legendaris dalam dunia perkerisan. Bentuk pamor udan mas memang mirip dengan butiran tetesan air hujan yang jatuh ke tanah, berupa bulatan-bulatan kecil yang tersebar di permukaan bilah keris atau tombak. Bulatan-bulatan ini terdiri dari lingkaran bersusun. Paling tidak, satu bulatan terdiri atas tiga puseran, lebih banyak puseran wijang (rapat) semakin menunjukkan “tingkat garap” dan biasanya bulatan-bulatan tersebut membentuk pola formasi beraturan (kelompok) 212 atau balak 5 kartu domino.
Pamor udan mas oleh para pecinta keris dipercaya tuahnya dapat membuat pemiliknya terus diguyur limpahan berkah/rezeki yang deras dari Yang Maha Kuasa. Sebagian lagi beranggapan bahwa tuah pamor ini dapat membuat pemiliknya jadi “bakat kaya”. Orang Jawa menyebutnya ‘kuwat kebandan, urip mapan’ (bakat kaya dan hidup sejahtera). Anggapan seperti ini tidak hanya ada di Jawa, tetapi juga di daerah-daerah lain, termasuk Malaysia dan Brunei Darussalam. Telah banyak kesaksian orang yang sukses menyimpan “piyandel” keris pamor udan mas. Karena kepercayaan semacam itu juga, berbondong-bondong orang tidak hanya menjadi monopoli kaum pedagang dan pengusaha saja ingin memiliki keris, tombak, atau pedang dengan pamor udan mas, tetapi juga dari kalangan sipil/pegawai negeri hingga militer, sehingga nilai mas kawin (mahar) udan mas menjadi sangat tinggi.
Seperti referensi menarik yang ditemukan pada babon asli peninggalan R. Ng Ronggowarsito mengenai Pakem Pusaka, Duwung, Sabet Tumbak yang disalin dan di-aksaralatin-kan oleh R.Ng Hartokretarto (1964), dapur brojol dengan pamor udan mas ternyata pernah menjadi ageman Panewu (Penewu dari kata sewu yang artinya seribu. Secara singkat, penewu pangkat abdi dalem Kraton yang membawahi seribu orang) – Brojol sekare udan mas kencana abyor mubyar kinurung surya baturetno, ganjane seret puser. Ingkang ngagem Panewu saklangkung sae luhur derajade.
FILOSOFI, Udan Mas berati hujan emas. Hujan adalah berkah dan kasih sayang yang diturunkan oleh Yang Maha Kuasa untuk alam dan seisinya. Bahkan turunnya hujan dianggap sebagai pertanda baik, seperti kepercayaan masyarakat Tionghoa yang menyebut hujan semarak menjelang Imlek bisa mendatangkan berkah dan rezeki berlimpah satu tahun ke depan. Maka bisa dibayangkan dahsyatnya sebuah metafora hujan emas.
Secara simbolis pamor udan mas mengandung arti ‘kemakmuran yang menyeluruh bagaikan hujan jatuh di hamparan sawah yang menguning subur laksana hamparan permadani emas, diakhiri dengan sukacita para petani. Masa menuai memijak sejuk lumpur dimulai, membawa padi tuai dan mengisi lumbung-lumbung padi penuh. Padi yang menguning keemasan seakan memberi sebuah buku terbuka untuk dibaca. Hamparan sawah yang menguning subur memberi harapan serta jawaban atas doa maupun ikhtiar akan kecukupan pangan bagi keluarga dan orang banyak (kemakmuran), atau jaman sekarang sering dikaitkan menghasilkan pundi-pundi rupiah (kekayaan). Dan sekaligus rasa syukur atas totalitas perjuangan panjang memeras keringat, rajin yang tidak pernah surut diterpa angin, disengat matahari, dibasahi hujan dalam merawat tanaman padi. Sebuah kesungguhan yang kuat hingga akhir tercapai tujuan hidup. Dalam sisi kontradiksi, pamor ini juga bisa menjadi sebuah pameling (pengingat) bahwa seseorang tidak boleh berpangku tangan untuk menopang hidupnya, lalu merasa cukup berdoa kepada Tuhan untuk memenuhi segala keperluan hidupnya, padahal dia sendiri tahu bahwa langit tidak pernah menurunkan hujan emas. Hidup adalah sebuah perjuangan.
TANGGUH TUBAN PAJAJARAN, Sebutan tangguh Tuban Pajajaran tidak bisa dikatakan mutlak keris atau tombak itu berciri Tuban atau mutlak berciri Pajajaran. Karena kemungkinannya, bahan-bahan besi dan pamor turut dibawa dalam hijrahnya oleh sang Empu dan keturunannya yang kemudian berkarya di Tuban. Karenanya masih mengandung unsur kekhasan sifat besi-besi Pajajaran, namun sudah mulai dalam balutan style Tuban. Jadi besinya Pajajaran namun bentuknya Tuban, oleh karenanya sering disebut Tuban Pajajaran. Seperti pada udan mas ini, keris-keris dengan bilah tipis serta tantingan sangat ringan (nyaris tak berbobot) umumnya menjadi ciri-khasnya Pajajaran.
Beberapa orang mempunyai cara unik dalam menangguh, yakni pertama kali justru melihat dari bagian gonjo, alasannya karena bagian ini lebih mudah untuk menyamakan persepsi antara satu orang dengan yang lain serta akan lebih mudah membandingkan dengan gambaran tangguh/langgam/cengkok yang ditulis pada serat-serat kuno semisal Serat Centhini atau yang lebih lengkap seperti Serat Panangguhing Duwung. Apabila kita melihat bagian wuwungan gonjo (bagian gonjo keris yang terlihat saat keris dimasukkan dalam warangka), bentuk sirah cecak yang menter (tidak terlalu lancip) tentunya tidak sesuai dengan penggambaran penangguhan yang ada di Serat Panangguhing Dhuwung, dimana tercatat rata-rata keris Pajajaran sirah cecak-nya buweng (membulat). Bentuk sirah cicak yang menter justru lebih banyak ditemukan pada keris Tuban. Tetapi jika kita membuka catatan yang sama, buntut urang keris Tuban justru papak, sedangkan untuk keris Pajajaran justu methit sama halnya pada keris ini.
wuwungan gonjo Tuban Pajajaran
Kemudian penangguhan di arahkan kepada bagian blumbangan/pejetan karena kebetulan keris ini berdhapur brojol yang hanya mempunyai satu (1) ricikan saja yakni; pejetan/blumbangan. Menurut Serat Penangguhing Duwung rata-rata keris yang dibuat oleh Empu Pajajaran ditulis blumbangan wiyar (luas/lebar), sedangkan rata-rata keris yang dibuat oleh Empu Tuban blumbangan sedeng (sedang). Agak susah memang untuk menentukan standar ukuran lebar atau sedang-nya. Namun jika melihat area yang tepat berada di atas pesi, mengesankan bentuk blumbangan-nya masih dalam kategori sedang saja. Dengan melihat blumbangan otomatis kita akan melihat gandik. Pada keris Tuban gandiknya ditulis celak ke sedeng (dekat/pendek ke sedang), sedangkan keris Pajajaran sedeng ke panjang. Melihat tinggi gandik dibandingkan panjang gonjo dan proporsi bilah keseluruhan rasanya masuk ke kategori gandik sedeng.
pola puseran udan mas yang syahdu, mampu menampilkan kesan 3 Dimensi
Selanjutnya penangguhan masuk pada bagian utama, yakni besi dan pamor. Menurut Serat Panangguhing Duwung, karakter besi yang dibuat oleh Mpu Pajajaran beraneka-macam mulai dari secara umum warnanya abu-abu, jene (kekuning-kuningan) dan hitam dengan wasuhan pamor lembut. Secara spesifik digambarkan pula oleh Wirasukadgo buatan Ki Keleng besinya agak mentah kering mengeras, wasuhan pamornya lembut. Buatan Ki Kuwung besinya hitam dan madhas. Buatan Ki Loning besinya mentah agak kering dengan wasuhan pamor lembut. Empu Ki Angga besinya mentah kering ngglugut mengeras. Buatan Empu Pagelen sama dengan Ki Keleng. Empu Ki Sikir Dusun Tapan besinya madas merekah dengan wujud pamor ngawat menegang. Dan terakhir Empu Siyung Wanara (Banyak Wide) besinya madas ngglugut dengan pamor lembut. Sedangkan untuk Empu-empu dari Tuban karakter besi tidak tercatat secara spesifik, Empu Ki Panekti dalam rasa pandangnya halus mengeras dengan wasuhan pamor seperti kulit semangka, Empu Ki Soeratman dalam rasa pandangnya serba halus dengan wasuhan pamor seperti kulit semangka, Empu Ki Modin dalam rasa pandangnya serba keras dengan wasuhan pamor seperti kulit semangka agak mentah, Empu Ki Galaita dalam rasa pandangnya keras dengan wasuhan pamor ngulit semangka muyek, Empu Ki Bekel Jati dalam rasa pandangnya luwes dengan wasuhan pamor halus, Empu Ki Supadriya dalam rasa pandangnya luwes wasuhan pamor halus lumer agak ngawat, dan Empu terkenal Ni Mbok Sombro dalam rasa pandangnya agak mentah wasuhan pamor kesed lembut kadang ngglugut. Dan terakhir Empu Jirak besi kasap namun menarik hati dengan wasuhan pamor muyek kulit semangka.
Jika mencermati besi keris udan mas ini akan terlihat warna hitam keabu-abuan yang heterogen khas besi-besi keris sepuh yang proses smelting (pengolahan) besinya masih dengan cara tradisional, oleh karenanya masih banyak terdapat “unsur pengotor” lainnya. Meski tipis besi bajanya berserat, padat, dan mengeras seolah tidah gampang untuk berkarat, masuk dalam besi tangguh Pajajaran. Lalu bagaimanakah standar ukuran pamor yang lembut itu? Apakah jika dilakukan pengamatan visual terlihat seperti kapas dan tidak terlalu kontras? Ataukah jika diraba tidak terasa? Karna jika menatap pola pamor udan mas yang ada pada bilah ini cenderung sangat kontras antara pamor dan besi bajanya, serta saat diraba terasa sedikit ngintip (seperti kerak nasi), dimana besi karena usia dan proses pewarangan yang berulang biasanya akan lebih dulu ‘kalah” dibandingkan pamor.
puseran udan mas
Penulis dibuat takjub, sebersit pertanyaaan :bagaimana caranya membuat versi udan mas pada bilah yang setipis ini dengan pola puseran yang wijang dan menampakkan kesan tiga dimensi (3D)? apalagi jika diamati pola puseran balak 5 yang ada tidak tembus sama pada sisi depan dan belakang atau berselang-seling – sungguh mempunyai kesulitannya tersendiri. Belum lagi ternyata jika diamati dengan kaca pembesar pola puseran yang ada ternyata tersusun dari minimal 3 puseran, bahkan amazing-nya lagi banyak yang tersusun oleh 8 puseran. Asumsi yang ada jika bilah sekarang tipis, dulunya pasti pernah tebal atau lebih tebal -artinya pamornya betul-betul ditempa-lipat sampai pandes ke dalam, bukan sekedar ditumpuk di lapisan paling atas.
Dari beberapa koleksi keris yang ada di web griyokulo, keris udan mas ini termasuk salah satu keris klangenan. Untuk sandangan sebagai abdi pengiring terbilang sudah cukup besus, terlebih gayaman kagok bancih terbuat dari kayu cendana wangi tim-tim dengan gandar iras tanpa sambungan. Kayu Cendana dalam serat-serat kuno merupakan salah satu kayu terbaik untuk warangka keris. Selain baunya (getah) yang harum juga berguna untuk ‘menjaga” meminyaki bilah. Seratnya yang padat dan kuat membuatnya awet tahan lama, namun empuk atau lunak akan “sangat bersahabat” jika bilah harus dikeluar-masukkan dari sarungnya. Warangka dengan gandar iras juga memerlukan ‘pengorbanan’ bahan kayu 3 hingga 4x lebih banyak dari warangka biasa (seperti gambar di bawah), tak heran harganya lebih mahal dari warangka biasa. Hanya saja pada bagian ujung atas gelung ukel ketika didapatkan sudah dalam keadaan gumpil.
proses membagi bahan kayu untuk dibuat warangka
Hulu keris Yudhawinatan dengan mendak parijata, adalah model hulu keris yang diciptakan oleh Raden Mas Haryo Yudhawinoto, seorang wirotamtama Keraton Surakarta. Gaya dari bentuk hulu keris ini selanjutnya disebut Tunggak Semi Yudhawinatan, dimana bentuknya hampir sama dengan Pakubuwanan tetapi sirah-nya (kepala) agak membulat. Digarap sangat rapi dengan pola cecekan ukiran krawangan (berasal dari kata terawang, artinya tembus), yang tentu saja memerlukan skill dan ketelatenan lebih dari mranggi.
Pendok blewah (berasal dari kata blewehan, atau tengahnya terbuka) plisiran yang ada tergolong lebih tebal daripada rata-rata pendok yang dibuat jaman sekarang. Menjadi cukup unik karena apabila kita balik, pada sisi belakang terdapat grafiran bertuliskan: “Kenangan untuk saudaraku Ig. Soediarsoyo dari F.X Soesanto” tanggal yang tertulis adalah 30 tahun yang lalu, 14 Juli 1988. Tentu saja pusaka ini pernah mendapat tempat yang spesial di hati seseorang dan punya kisahnya sendiri.
Dialih-rawatkan (dimaharkan) sesuai dengan foto dan deskripsi yang tertera.
Griyokulo Gallery Jl. Teluk Peleng 128A Kompleks TNI AL Rawa Bambu Pasar Minggu Jakarta Selatan
Facebook : Griyo Kulo SMS/Tlp/WA : 0838-7077-6000 Email : admin@griyokulo.com
————————————