Mahar : 7.777.777,- (TERMAHAR)Tn. AHP, Villa Melati Mas, Serpong Utara
1. Kode : GKO-486
2. Dhapur : Crubuk
3. Pamor : Dwi Warno
4. Tangguh : Mataram (Abad XVIII)
5. Sertifikasi Museum Pusaka No : –
6. Asal-usul Pusaka : Trenggalek, Jawa Timur
7. Dimensi : panjang bilah 38,5 cm, panjang pesi 6,5 cm, panjang total 45 cm
8. Keterangan Lain : pamor unik
ULASAN :
CRUBUK atau CARUBUK menurut Serat Kawruh Empu (Wirapustaka 1914) adalah salah satu bentuk dhapur keris yang memiliki ricikan: Luk pitu, lambe gajah siji, pejetan, sraweyan, kêmbang kacang, grènèng.
Kisah mengenai penciptaan keris Crubuk yang menjadi keris ageman kesayangan Kanjeng Sunan Kalijogo dapat ditemukan dalam berbagai Babad, antara lain Serat Demak (anonim, 1831), Babad Pajang (Anonim, abad 19), dan Babad Demak (Dewabrata, 1914). Dikisahkan awal mula keris Carubuk tercipta karna sebelumnya Kanjeng Sunan Kalijaga sebagai seorang ulama merasa kurang cocok mengenakan keris Sengkelat luk tiga belas. Menurut Kanjeng Sunan keris Sengkelat akan lebih cocok dipakai oleh Raja di tanah Jawa. Kemudian Sunan Kalijaga meminta dibuatkan kembali keris yang lebih cocok dipakai oleh Ulama. Lalu Empu Supo diberi lagi besi yang ukurannya sebesar klungsu (biji asam), biji besi itu kemudian dipijit tiga kali oleh Mpu Supo jadilah sebilah keris, yang oleh Sunan Kalijaga diterima dengan senang hati dan diberi nama Kyai Crubuk. Dalam kisah selanjutnya ternyata keris Kyai Crubuk ini kemudian dihadiahkan kepada Jaka Tingkir yang tidak lain adalah murid Kanjeng Sunan Kalijaga sendiri. Keris Crubuk menjadi ageman yang mengantar Jaka Tingkir menuju tampuk kekuasaan sebagai Raja Pajang dengan gelar Sultan Hadiwijaya.
FILOSOFI, Dhapur Carubuk binabar | maknanira puniku apan siti | murad momot bakuh pêngkuh | dene ta rahsanira | aja tampik ingkang dènarêpi amung | marang ing bêcik kewala | kang ala aja dènmohi || (Sêrat Cênthini )
Arti yang tersirat dalam suatu bentuk ujaran mengenai Dhapur Carubuk dalam Serat Centhini adalah merenungi kembali eksitensi diri sebagai manusia. Tanpa disadari eksistensi manusia sebenarnya berasal dari tanah. Kata “human” yang artinya “manusia” memiliki akar kata “humus” yang dalam bahasa latin tanah merupakan bahan organik, terutama berasal dari daun dan bagian tumbuhan lainnya yang menjadi lapuk sesudah mengalami pelapukan di atas permukaan tanah, berwarna hitam, banyak mengandung unsur hara yang diperlukan tumbuhan.
Tanah dalam ranah penciptaan atau dari sudut pandang religius digunakan Sang Pencipta dalam proses penciptaan manusia. Eksistensi manusia berawal dari tanah, dan akhirnya juga manusia akan kembali menjadi debu tanah. Karena itu, eksistensi manusia terkatup dalam ranah filosofi tanah.
Sebagai tempat kehidupan, tanah menyediakan semua unsur kebutuhan dasar makhluk hidup. Tanah merupakan bumi tempat berpijak dan senantiasa memiliki keikhlasan untuk memberi pada semua makhluk (momot). Dan ketika segala sesuatunya tidak berjalan sesuai yang diharapkan. Manusia sepantasnya belajar sabar dan khusyu dari tanah. Ketika tanah mengalami kekeringan, karena Sang Pencipta belum menurunkan hujan, tanah selalu sabar dalam permohonannya. Tanah tetap khusyu dalam ibadah, istiqomah dalam meminta (bakuh). Tidak menyimpang, atau meminta kepada selain Penciptanya. Tidak maksiat, tidak putus asa dan lari dari Tuhannya. Tanah tetap khusyu dalam doanya kepada Allah sekalipun kekeringan menghampiri (pengkuh).
Dan ketika Allah mengabulkan doanya, berupa turun hujan, maka tanah pun tak menikmati untuk dirinya sendiri, ia berbagi menggeliat, bergerak, menyampaikan rasa syukur kepada Allah. Tanah kering menjadi subur, menumbuhkan tanaman dan menyediakan makanan bagi segala makhluk hidup di bumi. Tanah dan tumbuhan tampak hijau berseri-seri menandakan bertasbih, bersyukur, dan bersujud kepada Allah. Tanah memuji Tuhannya bersama para malaikat dan alam semesta lainnya.
“Mari kita sama-sama belajar dari tanah, sabar menjadi tempat berpijak, dan tulus terus menumbuhkan.”
PAMOR DWIWARNO, merupakan istilah yang ditujukan untuk menyebut keris yang pada satu sisi bilahnya memiliki dua macam motif pamor dominan yang berlainan bentuknya (dwi = dua, warno = macam, ragam, jenis). Misalnya pada bilah ini terdapat dua mcam pamor, yakni pamor mayang mekar pada bagian sor-soran dan pamor ngulit semangka di sepanjang sisi atas bilahnya.
PAMOR MAYANG MEKAR, merupakan salah satu motif pamor yang tergolong langka karena pembuatannya tidak gampang. Pamor ini tergolong pamor miring rekan, yakni pamor miring yang dibuat sesuai dengan rancangan sang Empu. Bentuknya berurai indah, seperti daun mayang/bunga pinang yang sedang mekar. Menurut sebagian pecinta keris, keris dengan pamor Mayang Mekar mempunyai tuah yang bisa membuat pemiliknya dikasihi oleh orang sekelilingnya, luwes dalam pergaulan, mudah mendapatkan pengikut, dan bahkan ada yang sangat mempercayai dapat digunakan untuk memikat lawan jenis. Walaupun penampilannya indah dan menyenangkan serta banyak dicari, pamor ini tergolong pamor pemilih, tidak semua orang dapat cocok untuk memilikinya. Mereka yang duduk di dalam pemerintahan, seperti pejabat milter dan pemerintahan, wakil rakyat, top level manajemen, bahkan artis dianggap cocok memilikinya.
PAMOR NGULIT SEMANGKA, disebut demikian karena pamor yang dibuat oleh sang Empu mirip sekali dengan corak pada kulit buah semangka, yakni berupa beberapa garis lengkung dari bentuk garis lengkung terkecil kemudian melebar dengan lengkungan yang membesar, menunjukkan gerak yang teratur harmonis.
Buah semangka adalah salah satu buah yang digemari oleh Kanjeng Nabi. Dan apabila kita renungkan lebih dalam, buah semangka mencerminkan kepribadian seseorang yang rendah hati dan tidak sombong. Sikap “humble” ini disimbolkan dengan batangnya yang tumbuh merambat di permukaan tanah. Dalam 1 pohon/tanaman hanya terdapat 1-2 buah semangka saja, seolah hendak mengajarkan untuk selalu fokus memberikan yang terbaik. Buahnya besar dan rasanya menyegarkan, menggambarkan bahwa orang tersebut hidupnya penuh dengan manfaat bagi orang lain atau lingkungannya. Buah semangka juga menunjukan kedamaian bagi orang lain dengan warna kulitnya yang hijau meski di dalamnya berwarna merah, yang bisa diartikan sebagai bentuk nafsu amarah. Artinya kita harus pandai dalam menjaga hati, jangan sampai amarah kita merugikan diri kita apalagi merugikan orang lain dan menjadikan banyak musuh.
CATATAN GRIYOKULO, Keris Crubuk dulunya banyak dipakai oleh mereka yang mendalami agama, dunia spiritual dan kebatinan (kejawen). Mereka ini pada umumnya sangat menghormati Sunan Kalijaga yang dianggapnya sebagai guru suci sekaligus guru spiritual para raja Jawa, mulai dari Keraton Demak Bintara, kemudian Keraton Pajang Hadiningrat hingga Keraton Mataram. Gaya berdakwahnya juga terbilang unik, beragama sekaligus berbudaya.
Jika kita melihat tayangan televisi maupun film, keris kerapkali dilekatkan dengan atribut berbau klenik yang menyeramkan, namun pada keris Crubuk ini seolah menggugurkan gambaran tersebut. Keris yang konon dulunya biasanya dipakai oleh para spiritualis kebatinan justru malah tampil indah. Tak terasa sedikitpun aura menyeramkan seperti yang lazim dinarasikan di media. Keris ini juga terlihat cukup unik karena memiliki dua macam pamor (dwi warno). Pada bagian sor-soran terdapat pamor miring rekan berupa pamor mayang mekar, sedangkan pamor dominan yang lainnya ialah ngulit semangka.
Dialih-rawatkan (dimaharkan) sesuai dengan foto dan deskripsi yang tertera.
Griyokulo Gallery Jl. Teluk Peleng 128A Kompleks TNI AL Rawa Bambu Pasar Minggu Jakarta Selatan
Facebook : Griyo Kulo SMS/Tlp/WA : 0838-7077-6000 Email : admin@griyokulo.com
————————————