Kebo Lajer Pajajaran TUS Rojo Gundolo

10590558_1712292255668741_9142982091114899016_n

Mahar : 5.555.555,- (TERMAHAR) Tn. AHP, SCBD Jakarta


1. Kode : GKO-479
2. Dhapur : Kebo Lajer
3. Pamor : Beras Wutah
4. Tangguh : Pajajaran (Abad XIII)
5. Sertifikasi Museum Pusaka No : 858/MP.TMII/VI/2021
6. Asal-usul Pusaka :  Bandung
7. Dimensi : panjang bilah 34 cm, panjang pesi  6 cm, panjang total 40 cm
8. Keterangan Lain : warangka dusun, pamor rojo gundolo


ULASAN :

Kebo Lajer, adalah salah satu bentuk dhapur keris lurus. Keris Kebo Lajer mudah untuk dikenali dimana bentuknya hampir mirip dengan dhapur brojol sebab gandhik-nya polos tidak memakai ricikan apa-apa. Yang membedakan adalah pada dhapur Kebo Lajer gandhik-nya lebih panjang/tinggi, panjangnya kira-kira dua kali ukuran gandhik keris normal. Selain itu permukaan keris Kebo Lajer rata, tanpa adha-adha dan umumnya tipis, kebanyakan berasal dari tangguh tua.

FILOSOFI, Dalam bahasa Jawa Kuno (Kawi), “Kebo Lajer” berarti Kerbau yang kuat/pokok. Terkait dengan budaya agraris, kerbau menempati posisi penting dalam ruang alam pikir masyarakat kepulauan Nusantara. Sejak masa budaya Megalitikum, masyarakat di Nusantara, khususnya di pulau Jawa, mulai memasuki masa budaya bercocok tanam menetap, meninggalkan gaya hidup nomaden yang berpindah kemudian mencari tempat yang lebih subur dan dirasa lebih banyak sumber daya alamnya untuk dimanfaatkan. Kesinambungan kehidupan bercocok tanam yang menetap melibatkan pengelolaan lahan dengan pengolahan tanah, pemupukan serta irigasi yang baik demi memastikan kesuburan sawah dapat terus terjaga hingga dapat memberikan hasil panen yang berlimpah ruah.

Pengelolaan tanah untuk menjaga siklus kesuburan lahan sawah tersebut dilakukan dengan bantuan hewan kerbau sebagai penarik bajak. Mata bajak yang ditautkan dengan perangkat kayu ke bahu punggung kerbau, membuat tanah terangkat dan memutar sehingga yang semula di atas menjadi di bawah, demikian pula sebaliknya, menimbulkan jejak tanah yang setelah dibajak menjadi alur seperti terputar/terpelintir spiral. Kondisi yang demikian selain memberikan kesempatan tanah untuk bersiklus kembali subur juga menjadi lebih gembur karena bekas pijakan kaki sang kerbau.

Kerbau (Bubalus bubalis) berasal dari arni (Bubalus arnee), semacam kerbau liar yang hidup di rawa-rawa dan hutan berumput di India. Domestikasinya diperkirakan bermula 4000 tahun yang lampau dan akhirnya berkembang menjadi kerbau perah (dairy buffalo) dan kerbau lumpur (swamp buffalo). Kerbau perah mendominasi wilayah yang terbentang dari India, Mesir hingga Tenggara Eropa. Sedangkan kerbau lumpur lebih banyak terdapat di kawasan Asia Tenggara.

Bulunya yang jarang dan kelenjar keringatnya yang jarang dibandingkan dengan sapi, mengharuskan kerbau mandi, dibasahi tubuhnya minimal 2 kali sehari atau berkubang lumpur. Dapat dikatakan kerbau merupakan hewan semi aquatik. Badannya yang berat (rata-rata 400 kg, bahkan bisa mencapai 800 kg), kakinya yang kuat, teracaknya yang lebar, langkahnya yang lambat namun mantapp, ibarat  sebuah traktor hidup yang membuatnya sangat cocok untuk bekerja di sawah.

Kendati melambangkan kesuburan dan terkait dengan dunia pertanian, Kebo Lajer tidak harus selalu dimiliki oleh kaum petani saja. Sebagai simbol kesuburan dan kemakmuran serta pencapaian ketenteraman sejati, keris ber-dhapur Kebo Lajer dapat dimiliki oleh siapa saja yang berniat menghayati ikon kerbau sebagai lambang pengharapan dan permohonan kesejahteraan. Bahkan para bangsawan dan aristokrat istana juga memuliakan keris pusaka dengan ragam dhapur Kebo sebagai pusaka ageman. Tercatat ada beberapa pusaka Keraton Yogyakarta yang berdapur Kebo Lajer, yaitu Kanjeng Kiai Ageng Mahesa Nular, merupakan pusaka persembahan Kiai Mandureja kepada Nyai Mas Ageng Danureja I, isteri Sri Sultan Hamengku Buwono IV. Kemudian ada Kanjeng Kiai Mahesa Gendari, semula milik Adipati Danurejo yang bergelar KPH Kusumoyudo. Kemudian diserahkan ke Kraton pada masa pemerintahan Sri Sultan Hamengku Buwono V.

TANGGUH PAJAJARAN

Tantingan : ringan, sebab bilahnya agak kecil dan tipis
Besi : ngrekes, berserat dan agak kering
Baja : agak kelabu, keras sekali, seringkali tidak mempan dikikir sebab sepuhannya benar-benar tua hingga kadang terasa tajam, tepi keris kadang retak (pegat waja), dan pamorpun sampai nglingkap (lepas/terangkat)
Pamor : muncrat putih, beberapa nggajih, kasap
Bilah : agak kecil dan tipis, beberapa adapula yang corok panjang
Ganja : sering membingungkan sebab biasanya masih ikut bentuk ganja Jenggala
Gandik : lebih tinggi sedikit dari keris Tuban, dari samping pun terlihat agak melengkung sedikit (mboto rubuh)
Pejetan : sebagian masih ikut gaya Jenggala, ada yang lebar namun adapula yang sempit
Sogokan :  jarang yang memakai
Adha-adha : bulat agak melengkung (nglingir ndering)
Kruwingan : tidak dalam, malah kebanyakan tanpa kruwingan
Luk : kebanyakan kemba dan hemet
Wadhidang : agak mblancir

PAMOR BERAS WUTAH, adalah motif yang cukup familiar di dunia perkerisan, bentuknya didominasi oleh butiran-butiran putih menyerupai beras yang tersebar. Bermakna kiranya sebagai “mantra nonverbal”, supaya mereka yang memilikinya tidak kurang sandang pangan papan.

PAMOR ROJO GUNDOLO, Biasanya, pamor rojo gundolo terselip diantara pamor lain yang lebih dominan, seperti pamor wos wutah, pulo tirto atau ngulit semongko. Bentuknya ada yang menyerupai ganbaran abstrak hantu, makhluk halus, manusia hingga binatang. Pada umumnya, pamor raja gundala muncul di bagian sor-soran keris atau tombak, jarang yang dijumpai pada tengah badan bilahnya atau pucuknya.

Manusia adalah homosemiotikus. Sebagai homosemiotikus setiap saat manusia hidup dengan tanda-tanda yang memerlukan penafsiran. Baik itu berupa hewan, tumbuhan, manusia, bahkan benda-benda mati. Dalam pembacaannya, pamor Rojo Gundolo bisa dikatakan cenderung subyektif. Karena termasuk jenis pamor tiban (tidak dirancang) dengan bentuk “mirip” sesuatu (makhluk tertentu), bisa saja intepretasi tersebut menghasilkan respon penafsiran yang berbeda tiap orang terhadap obyek yang dimaksud.

Menurut kepercayaan sebagian besar masyarakat perkerisan, tuah dari keris berpamor rojo gundolo akan sangat multifungsi bergantung pula dengan motif/gambar tiban yang ada. Beberapa dipercaya misal untuk sosok ghaib penjagaan diri, pengusir atau penangkal gangguan makhuk halus, penangkal guna-guna (santet), dan lain sebagainya. Namun, pamor ini tergolong pemilih, tidak setiap orang akan cocok memilikinya. Lagipula jika mereka yang cocok pun harus memiliki pantangan berbagai hal, utamanya tidak boleh melakukan hal-hal yang bersifat maksiat, seperti yang menyangkut soal seks bebas.

Pada bilah keris ini terdapat setidaknya dua (2) pamor Rojo Gundolo pada bagian sisi depan dan belakang. Adapun penafsiran pamor Rojo Gundolo yang pertama ada di bagian depan, dimana tampak seseorang (tampak seperti  seorang laki-laki/resi?) yang sedang berjalan menggunakan tongkat.

Sedangkan pamor Rojo Gundolo selanjutnya terdapat pada sisi belakang, terdapat gambaran seseorang (seperti seorang wanita?) dengan memakai hiasan kepala (mahkota?) tampak sedang memberkati seseorang (seperti seorang laki-laki mengenakan topi perang baja?) yang tengah duduk di depannya dengan menopangkan tangannya di atas dahi.

CATATAN GRIYOKULO, Meski bukan termasuk dhapur keris yang langka dan masih banyak dijumpai, namun untuk menemukan keris Kebo Lajer dengan garap dan material yang mumpuni ternyata bukan perkara yang mudah. Mungkin salah satu hal yang memperkuat image dari Kebo Lajer sebagai keris petani karena pada kenyataannya di lapangan memang banyak ditemukan keris Kebo Lajer dengan garap dan pamor seadanya (nggajih, ngapas, nyanak dll).

Secara keseluruhan penampilan bilah dengan usianya yang berabad-abad ini dapat dikatakan masih cukup prima. Terlihat dari bagian pesi yang panjang hingga ujung bilahnya yang tidak tajam (membulat) masih terjaga orisinalitasnya. Bagian gonjo juga cukup unik, terkesan tinggi membawa gaya Jenggala. Tantingan-nya sudah pasti ringan, dengan tintingan nyaring. Pamornya meskipun tidak royal/berlebih, namun cukup merata sepanjang bilah. Terlebih adanya pamor Rojo Gundolo pada kedua sisi seperti membawah berkah tersendiri dari Yang Maha Kuasa. Barangkali ke depan jika ada rezeki berlebih, bagian warangka dapat diperbaharui. Yang agak lucu, dulunya pada bagian warangka dan gandar sempat diisolasi oleh pemilik lamanya supaya tidak terlepas, namun sudah dilakukan pengeleman dan sedikit penambalan supaya lebih kuat.

Dialih-rawatkan (dimaharkan) sesuai dengan foto dan deskripsi yang tertera.


Contact Person :

Griyokulo Gallery Jl. Teluk Peleng 128A Kompleks TNI AL Rawa Bambu Pasar Minggu Jakarta Selatan

Facebook : Griyo Kulo SMS/Tlp/WA : 0838-7077-6000 Email : admin@griyokulo.com

————————————

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *