Damar Murub/Urubing Dilah

10590558_1712292255668741_9142982091114899016_n

Mahar : 4.750.000,-(TERMAHAR) Tn. AHP, SCBD Jakarta


1. Kode : GKO-448
2. Dhapur : Damar Murub
3. Pamor : Beras Wutah
4. Tangguh : Mataram Senopaten (Abad XV)/ Majapahit Peralihan?
5. Sertifikasi Museum Pusaka No : 1551/MP.TMII/XII/2020
6. Asal-usul Pusaka :  Sukabumi
7. Dimensi : panjang bilah 32 cm, panjang pesi 6  cm, panjang total 38 cm
8. Keterangan Lain : dhapur langka


ULASAN :

DAMAR MURUP, sering pula disebut  Urubing Dilah, sebenarnya adalah nama salah satu dhapur keris lurus yang tergolong langka (namun ada yang menggolongkan sebagai keris luk satu). Keris ini mudah dikenali terutama dengan adanya sebuah luk yang bentuknya sangat khas diujungnya yang menyerupai nyala api. Menurut mitos/dongeng bersama dengan dhapur Carita dan Cengkrong dhapur Dhamar Murup (ditulis Urubing Damar) pertama kali dibabar oleh Empu Sarpadewa atas pemrakarsa Sri Bupati Mahapunggung dari kerajaan Purwacarita pada tahun Jawa 1062.

“Mari menyala untuk semesta”

FILOSOFI, “Damar atau dilah” pada prinsipnya adalah sama yakni sejenis lampu penerangan (bukan listrik) yang terdiri dari sumbu yang pada bagian pangkalnya terendam oleh bahan bakar padat yang mudah terbakar. Sebelum abad ke-19, bahan bakar yang digunakan biasanya salah satunya adalah lemak sapi (yang banyak mengandung asam stearat). Sedangkan “Murup” berarti menyala. Sebuah lampu damar yang menyala pada zaman dahulu mempunyai fungsi yang kurang lebih sama dengan berbagai alat penerangan di zaman kita sekarang ini, yakni memampukan kita untuk melihat dan bekerja dalam kegelapan, membuat kita bisa melihat dengan lebih jelas, serta menjaga kita agar tidak tersandung dan jatuh. 

Melalui dhapur Damar Murup, hari ini, rasanya sangat cocok kita kembali membaca, merenungi dan meresapi wejangan Dasa Pitutur Kanjeng Sunan Kalijaga, atau yang dikenal sebagai sepuluh filosofi kehidupan agar manusia Jawa bisa selamat dunia dan akhirat. Dan wejangan pertama itu adalah : “Urip iku Urup“. Secara terminologi urip iku urup berarti “Hidup Itu Menyala”.  Urip iku urup memiliki makna bahwa hidup itu hendaknya dapat memberi manfaat bagi orang lain disekitar kita, semakin besar manfaat yang kita berikan tentu akan semakin baik bagi kita maupun orang lain. Dan begitu pula sebaliknya, apabila kita hadir namun tak memberi manfaat, maka seperti cahaya yang padam sesungguhnya kita sudah “mati”.

Makna filosofi ini sungguh luar biasa, bahwa kita dilahirkan di dunia ini bukan untuk berdiri sendiri, berkuasa atau semua hanya untuk diri sendiri, akan tetapi kita lahir untuk saling memberi, saling menolong dan saling membantu sesama tanpa ada rasa pamrih. Semua agama banyak mengupas hal ini bahwasannya manusia sebagai makhluk sosial harus saling interaksi dan menolong kepada sesama, bahwa kita hidup di dunia ini hanyalah sebuah ujian untuk mendapatkan kehidupan yang kekal di kehidupan berikutnya. Manfaat yang kita berikan ibarat api yang menyala, api bukan berarti bara yang membakar dan melahap apa saja, tetapi api memiliki makna sebagai cahaya yang selalu menyala dan menyinari setiap langkah manusia ke jalan yang benar. Oleh karena itu hidup kita harus punya nilai manfaat yang selalu memberi cahaya yang terang agar setiap langkah kita dan saudara-saudara kita dapat berjalan ke arah kebenaran.

Tidak heran jikalau filosofi yang terdengar begitu klasik ini mudah diucapkan namun sulit untuk dapat kita laksanakan mengingat selimut duniawi amat kuat dan kental membungkus kita. Maka pertanyaan selanjutnya adalah seberapa besar kita sudah menjadi nyala dan membawa terang itu sendiri bagi sekitar?

Bagi pemiliknya, dhapur Damar Murup dapat pula diartikan sebagai nyala sebuah cahaya sebagai penerang jalan menuju satu titik arah yang dicita-citakan

TANGGUH MAJAPAHIT PERALIHAN SENOPATEN, | ing Mataram Senapati winarni | sikutan prigêl srêng bagus | wêsi biru sêmunya | garing alus pamor pandhês tancêpipun | angawat kêncêng tur kêras | tan ana kang nguciwani  || Serat Centhini

Dalam Serat Centhini ditulis Tangguh Mataram Senopaten mempunyai bentuk pasikutan yang prigel bagus, besi semu biru, kering halus, pamornya menancap pandes, ngawat kencang, keras, tidak ada yang mengecewakan. Pada umumnya keris-keris Senopaten masih membawa karakter bentuk dan bahan dari keris-keris Majapahit, hal ini dikarenakan empu-empu pada masa Panembahan Senopati merupakan empu Majapahit dan atau keturunannya.

PAMOR BERAS WUTAH, adalah motif yang cukup familiar di dunia perkerisan, bentuknya didominasi oleh butiran-butiran putih menyerupai beras yang tersebar. Bermakna kiranya sebagai mantra nonverbal, supaya mereka yang memilikinya tidak kurang sandang pangan.

CATATAN GRIYOKULO, dalam lima tahun ke belakang baru sekarang ini Griyokulo menghadirkan kembali dhapur Damar Murup. Selain karna faktor kelangkaannya, tidak banyak pula kita bisa menemukan dhapur damar murup yang menurut serat kawruh empu (1914) adalah dhapur lurus dengan luk pada pucuk bilahnya. Selain itu dhapur damar murup juga memakai ricikan lain seperti, tikel alis, pejetan, sogokan depan, sraweyan dan greneng. Selain Urubing Dilah seperti yang diuraikan di atas, dunia perkerisan juga mengenal adanya Urubing Dilah yang lain. Misalnya Sempaner Urubing Dilah, Laler Mengeng Urubing Dilah, dan lain-lain. Jadi bentuk dhapur Urubing Dilah itu dikombinasikan dengan dhapur lain.

Karakter keris Majapahitan masih sangat kental terasa, dengan bentuk bilah ramping, tantingan sangat ringan, besi semu biru dan bentuk gonjo yang lurus/wuwung (ada sedikit korosi pada bagian belakang/buntut cecaknya), maka jika ada yang menangguh keris ini sebagai keris tangguh Majapahit masih bisa dimaklumi.

Dialih-rawatkan (dimaharkan) sesuai dengan foto dan deskripsi yang tertera.


Contact Person :

Griyokulo Gallery Jl. Teluk Peleng 128A Kompleks TNI AL Rawa Bambu Pasar Minggu Jakarta Selatan

Facebook : Griyo Kulo SMS/Tlp/WA : 0838-7077-6000 Email : admin@griyokulo.com

————————————

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *