Mahar : 5.000.000,-(TERMAHAR) Tn. AHP, SCBD Jakarta
1. Kode : GKO-444
2. Dhapur : Sombro
3. Pamor : Nggajih
4. Tangguh : Tuban Era Majapahit (Abad XV)
5. Sertifikasi Museum Pusaka No : 1340/MP.TMII/XII/2020
6. Asal-usul Pusaka : Jakarta
7. Dimensi : panjang bilah 18,5 cm, panjang pesi 5,5 cm, panjang total 24 cm
8. Keterangan Lain : warangka dusun + garan buto bajang
ULASAN :
SOMBRO, jika membuka buku Ensiklopedi Keris karangan Alm. Bambang Harsrinuksmo (2004) cenderung menuliskan jika Sombro bukanlah nama sebuah dhapur keris, melainkan nama seorang Empu wanita dari kerajaan Pajajaran yang kemudian hijrah ke daerah timur (Tuban). Namun, jika kita mau menggali lebih dalam mengenai dhapur keris satu ini justru dituliskan dalam buku dhapur yang jauh lebih tua, seperti Kawruh Empu yang ditulis ulang oleh Ngabèi Wirapustaka, salah seorang abdi dalêm mantri Radyapustaka di Surakarta pada tahun 1914. Buku Kawruh Empu ini sendiri sebenarnya adalah sebuah buku mengenai nama dhapur keris dan tombak yang pernah dibuat oleh para Empu zaman dahulu. Buku yang sebenarnya adalah peninggalan dari sang kakek Radèn Atmasupana ini, oleh Radèn Ngabèi Karyarujita dipersembahkan kepada Kangjêng Radèn Adipati Sasradiningrat IV. Dalam kawruh Empu disebutkan jika dhapur Sombro memiliki ciri-ciri sama seperti yang telah dikenal oleh masyarakat perkerisan saat ini yakni: Bênêr, cêndhak tipis tanpa gandhik, pejetan. Atau dalam pemahaman umum, dhapur sombro adalah keris lurus dengan gandhik polos (tanpa sekar kacang) berukuran relatif pendek (kurang dari sejengkal), tipis, dan bilahnya lebar. Selain itu umumnya keris ini memakai ganja yang menyatu dengan bilah (iras).
Dan dalam dunia perkerisan sendiri umumnya mengenal dua (2) macam genre keris sombro. Yang pertama sesuai dengan namanya adalah keris Sombro buatan Empu wanita Nyai Sombro, putra bungsu dari Empu Manca dari kerajaan Pajajaran yang kemudian hijrah ke daerah Tuban. Konon, empu Sombro tidak membutuhkan perapian untuk membuat keris. Ia selalu memijit bakalan keris. Itulah kenapa salah satu ciri-ciri dari hasil karyanya selalu dihubungkan dengan lekukan yang seolah bekas pejetan jari. Mereka yang mempercayai esoteri juga meyakini jika keris Sombro adalah keris tindhih yang cukup ampuh menggantikan keris Bethok atau Jalak Budha. Sedangkan Sombro versi kedua adalah Sombro Joko Suro, berbentuk mirip keris sajen dengan pesi berlubang yang konon dibuat sebagai bekal perjalanan saat ia masih remaja mencari ayahnya Empu Pitrang alias Empu Supa Mandrangi alias Pangeran Sendhang Sedayu ke Majapahit.
Cerita mengenai Joko Suro
Ia lahir di Blambangan, ibunya adalah putri bangsawan Adipati Blambangan. Ketika menjelang remaja, Jaka Sura bertanya pada ibunya, siapa dan dimana ayahnya. Sang ibu mengatakan: ayah Jaka Sura adalah Empu Pitrang, seorang empu yang pernah mengabdi pada Kadipaten Blambangan. Sebelum Jaka Sura lahir, sang Ayah harus kembali ke Majapahit. Saat berpamitan, Empu Pitrang berpesan agar anak yang dikandungnya nanti diberi nama Jaka Sura serta meninggalkan besi bahan membuat keris. Dan kelak, saat anak tersebut sudah dewasa agar pergi menyusulnya ke Majapahit.
Sesudah mendengar penjelasan dari ibunya, Jaka Sura lalu belajar membuat keris. Ia banyak sekali membuat keris lurus dengan bentuk sederhana mirip dengan keris sajen atau keris yang biasanya digunakan oleh para petani masa itu untuk sesaji sawahnya. Keris-keris itu dibawanya sebagai bekal perjalanan ke Majapahit. Agar lebih mudah membawanya, keris yang ukurannya kurang dari sejengkal itu dilubangi pada bagian ujung pesi-nya, seperti lubang jarum. Pada lubang itu kemudian dimasukkan tali. Cara ini, menurut bahasa Jawa disebut “direntengi”.
Dengan bekal serenteng keris Jaka Sura berniat mencari ayahnya. Sepanjang perjalanan dari Blambangan ke Majapahit, ia banyak bertanya pada petani yang dijumpainya arah jalan menuju Majapahit. Sebagai terima kasih, Joko Suro menghadiahkan keris-keris buatannya pada para petani yang telah berbaik hati menunjukkan arah. Selain itu keris-keris itu juga dibarter dengan makanan dan berbagai kebutuhan selama dalam perjalanannya.
Banyak pecinta keris yang mengira bahwa hasil karya Empu Jaka Sura hanya berupa keris dengan dhapur sederhana seperti keris sajen. Adapula kisah lain dalam Serat Cariyosipun Para Empu ing Tanah Jawi berbentuk tembang Sinom dituliskan:
Jaka Sura dennya karya/Tosan pirang-pirang dhacin/Den kepel dadya satunggal/Sawusira dadi siji/Kinarya tanpa keni/Dhapur lameng kirang patut/Nanging sepuhe dilat/Tan lami tumuli dadi/Sampun kunjuk marang Sang Sri Brawijaya.
Wus dadi denira karya/Ingaturaken pribadi/Prapteng nagri Majalengka/Kendel paregolan Njawi/Yun nlebet den adhangi/Dening Wadya kang atungguk/Langkung kaku ing manah/Jaka Sura nulya bali/Lamengipun tinilar lawang gapura.
Kang caos munjuk Sang Nata/Lamun abdi dalem alit/Pangeran Sedayu putra/Yun marak amba pambengi/Gya wangsul wonten kori/Pedhange tinilar kantun/Sang Prabu Majalengka/Kagyat nulya anedhaki/Niti priksa kang tinilar Jaka Sura.
Gaweyane Jaka Sura/Apa pasah pada wesi/Jinajal mring wesi lawang/Tugel tan kongsi mindhoni/Eram ingkang ningali/Jaka Sura karyanipun/Landhep ampuh kalintang/Pedhang iki Sun paringi/Aranira si Lawang iku prayoga.
Terjemahan bebas :
Jaka Sura membuat karya, terbuat dari besi beberapa dachin (1 dachin = 100 kati = 61,761 kg) dipijit-pijit menjadi satu, jadilah sebuah pedang berdapur Lameng, Meskipun bentuknya kurang luwes, namun disepuh “jilat” menggunakan lidah. Tal lama ia pun menghadap Sang Sri Brawijaya.
Mungkin sudah nasibnya, sesampai pintu gerbang Kraton Majapahit, ia malah dihalang-halangi oleh prajurit jaga. Hal tersebut membuat hati Jaka Sura jengkel. Pedang buatannya itupun ditinggalkan begitu saja di pintu gerbang.
Prajurit menghadap Prabu Brawijaya, ia mengatakan ada rakyat jelata ingin menghadap dan mengaku-aku putra dari Pangeran Sedayu. Prajurit terpaksa menghalang-halanginya. Segera Prabu Brawijaya, pergi ke pintu gerbang, ingin tahu siapa gerangan. Sang Prabu terkejut, melihat ada pedang tertinggal, kemudian memeriksa dengan teliti pedang yang ditinggalkan Jaka Sura.
Prabu Brawijaya penasaran, mengenai kehebatan pedang buatan Jaka Sura, apakah sanggup memotong besi. Kemudian dicobakan pada pintu gerbang, sekali tebas langsung putus, tanpa harus diulang dua kali. Membuat ngeri setiap orang yang melihat. Pedang buatan Jaka Sura, tajam dan ampuh tak terkira. Kemudian oleh Sri Brawijaya pedang itu diberi nama Kyai Lawang.
Tidak hanya itu dalam kisah selanjutnya Jaka Sura akhirnya diakui sebagai anak dari Empu Supa dengan ujian berat, yakni harus membuat keris dhapur Mangkurat. Hal ini menegaskan jika Jaka Sura adalah betul-betul seorang Empu yang pinunjul, dan tidak sekedar hanya bisa bisa membuat keris lempengan disunduki/direntengi.
PAMOR NGGAJIH, Nggajih artinya serupa dengan lemak. Pamor yang tampak di permukaan bilah kesannya seperti berlemak, atau bagai lapisan lemak beku menempel. Jadi, apapun jenis dan nama pola gambaran pamor itu, kalau penampakannya seperti lemak kering, disebut nggajih. Sebagian ahli perkerisan menduga, keris berpamor nggajih lebih banyak dikarenakan berasal bahan material yang mudah ditemukan (pasir besi dari pantai) dan diolah (smelting) dengan cara lebih sederhana atau tradisional.
KERIS PIJITAN, Tentang lekukan pada permukaan bilah yang menyerupai bekas pijitan ibu jari tangan memang sulit diterima nalar atau dibuktikan secara ilmiah bahwa itu benar-benar dibuat dengan pijitan jari tangan. Ada sebagian pecinta keris yang menduga bahwa bentuk seperti bekas pijitan tersebut terjadi karena bentuk permukaan paron (landasan) dan palu yang digunakan tidak rata. Namun ada pula yang meyakini bilah tersebut memang benar dipijit oleh sang Empu sesudah tangannya dicelupkan dalam minyak.
Dalam dunia perkerisan keris pijitan tergolong keris tayuhan, yakni keris yang dalam pembuatannya lebih mementingkan esoteri (isi, gaib) dibandingkan dengan eksoteri (penampilan luar). Bahkan oleh kalangan Semenanjung Melayu, keris ini dianggap sebagai azimat yang mempunyai kesaktian amat hebat, orang Melayu tidak menyimpannya di dalam sarung keris sebagaimana keris lain, biasanya justru dibungkus dalam kain atau baldu kuning atau kain berwarna putih. Itulah sebabnya banyak pecinta keris yang beranggapan bahwa keris pijitan tergolong keris yang memiliki tuah baik. Akibat adanya kepercayaan seperti itu, sejak perempat abad ke-20 banyak ditemukan keris owahan, untuk menampilkan kesan pejetan yang dipalsukan dengan ditempa menggunakan landasan gotri ukuran besar.
CATATAN GRIYOKULO, di dalam dunia perkerisan keris sombro selalu menarik untuk dibicarakan. Salah satu sebabnya adalah bahwa secara tektomik atau ergonomik, keris-keris ini bukanlah “keris senjata phisik”, bentuknya yang jauh dari kesan “mematikan” seolah berbicara dengan sendirinya sebagai senjata spiritual. Sangat jarang kita bisa menemukan Sombro Joko Suro dengan pesi berlobang yang masih utuh. Besinya juga halus dan pamor beras wutah nggajihnya pun bisa dikatakan tidak seperti keris sajen pada umumnya. Keunikan yang lain adalah jika bentuk gandhik keris umumnya adalah rubuh ke belakang maka bentuk gandhik keris ini justru kebalikannya, doyong ke depan 5 derajad. Juga adanya lekukan-lekukan pada bilah yang mirip dengan pijitan antara posisi ibu jari di atas dan jari telunjuk pada permukaan sebaliknya. Keris sombro ini juga telah selesai dijamas dan diwarangi.
Dialih-rawatkan (dimaharkan) sesuai dengan foto dan deskripsi yang tertera.
Griyokulo Gallery Jl. Teluk Peleng 128A Kompleks TNI AL Rawa Bambu Pasar Minggu Jakarta Selatan
Facebook : Griyo Kulo SMS/Tlp/WA : 0838-7077-6000 Email : admin@griyokulo.com
————————————