Naga Liman Luk 5

10590558_1712292255668741_9142982091114899016_n

Mahar : ?,- (TERMAHAR) Tn. AHP, BSD City


1. Kode : GKO-445
2. Dhapur : Naga Liman
3. Pamor : Pendaringan Kebak
4. Tangguh : Cirebon Era Mataram (Abad XVI)
5. Sertifikasi Museum Pusaka No : 1365/MP.TMII/XII/2020
6. Asal-usul Pusaka :  Bogor
7. Dimensi : panjang bilah cm, panjang pesi  cm, panjang total cm
8. Keterangan Lain : dhapur langka


ULASAN :

NAGA LIMAN, adalah salah satu bentuk dhapur keris yang sangat populer di kota Cirebon, Sumedang, Indramayu dan sekitarnya, dimana bagian sekar kacang-nya dibentuk menyerupai kepala gajah dengan mulut serta belalainya secara sederhana (primitif). Walau kadang adapula yang dibuat sangat detail lengkap dengan bagian gading dan telinga tetapi tanpa badan sang gajah itu sendiri, karena badan naga liman merupakan perwujudan dari sosok ular maka biasanya dibuat tersamar menjulur ke atas bilah. Apabila badan naga bersayap biasanya disebut Paksi Naga Liman. Keris Naga Liman biasanya dijumpai dalam bentuk luk lima. Sedangkan ricikan lain dari dhapur Naga Liman adalah sraweyan, ri pandan atau greneng. Dhapur Naga Liman tergolong langka seperti halnya dhapur ganan lain seperti naga dan singo, konon di zaman dahulu keris ini hanya dimiliki oleh para pembesar keraton.

FILOSOFI, Sejarah dan budaya di Cirebon, sangat terkait erat dengan proses asimilasi budaya serta tradisi ritual religius. Prosesnya berlangsung sejak Sunan Gunung Djati menyebarkan Islam di tanah Caruban Nagari sekitar abad ke-16, dimana saat itu Pelabuhan Muara Jati (Cirebon) menjadi tempat persinggahan pedagang Tiongkok, Arab, Persia, dan India. Saat itu terjadi asimilasi dan akulturasi beragam budaya yang menghasilkan banyak tradisi baru bagi masyarakat Cirebon.

Jika mendengar nama dhapur keris Naga Liman, yang pertama kali terpikir adalah bahwa motif tersebut tentunya dipengaruhi oleh kebudayaan Tiongkok dan India (Hindhu).

NAGA = dalam bahasa Sansekerta berarti ular (jantan). Namun begitu naga seringkali dibedakan secara fisik dari ular biasa. Naga digambarkan bertubuh lebih besar dari ular biasa, memakai mahkota dan perhiasan lainnya (kalung, sumping). Karena seekor ular dengan ukuran sebesar apapun tapi jika tidak memiliki mahkota di kepalanya, maka ia tetaplah hanya sebatas ular biasa. Sedangkan, ular yang bermahkota di kepalanya adalah sang naga. Naga adalah simbol penjaga keseimbangan bumi.

Dalam perwujudannya pada pusaka, badan naga yang tersamar hanya sampai bagian leher dan selanjutnya menyembunyikan perut/badannya mengikuti lekukan bilah sampai ke atas dapat diinterpretasikan sebagai himbauan kepada manusia untuk menjalani hidup dengan mengendalikan hawa nafsunya. Pengendalian diri ini dimaksudkan sebagai suatu proses menuju pemahaman spiritual kasampurnaning urip supaya mampu menangkap bisikan-bisikan maupun tanda-tanda alam, seperti wahyu, ilham atau wisik.

Bentuk yang demikian juga memiliki makna bahwa seorang Raja/Pemimpin tidak boleh memuja pribadinya dengan mengutamakan nafsu dunia. Terdapat sebuah ungakapan bondo anamung titipan, raga anamung silihaning Gusti kang akarya jagad, yang artinya ” harta hanyalah titipan dan raga atau badan hanya pinjaman dari Tuhan yang menciptakan Alam”. Maka ketika menjadi pemimpin akan senantiasa menyadari bahwa derajad dan pangkat merupakan sebuah amanah dari Tuhan yang musti dijalankan dengan benar. Semakin tinggi derajad dan pangkat maka kewajibannya akan semakin berat pula.

LIMAN = Gajah, Ganesha, dan Ghana adalah hal yang merujuk pada bentuk yang hampir sama, yaitu sama-sama memiliki belalai. Liman adalah nama lain dari gajah, hewan berbelalai. Ghana dan Ganesha adalah nama dewa berkepala gajah, wajahnya berbelalai.

Dalam perwujudannya liman memiliki kepala yang besar dengan dua telinga besar dan mata yang sipit. Kepala besar melambangkan kita sebagai manusia seharusnya lebih banyak menggunakan akal daripada fisik dalam memecahkan masalah, atau simbol dari manusia yang seharusnya mempunyai volume otak yang besar dalam artian mempunyai kemampuan intelektual yang tinggi. Akal yang cerdas juga dapat membantu seorang pemimpin dalam membuat inovasi dan ide-ide baru yang kreatif. Sedangkan mata yang sipit berarti berkonsentrasi penuh. Pikiran harus diarahkan ke hal-hal positif untuk memperbaiki daya nalar dan pengetahuan.

Liman juga memiliki dua telinga yang lebar laksana simbol kebijaksanaan untuk lebih banyak mendengarkan. Kita memang selalu mendengar, tetapi jarang sekali kita “betul-betul mendengarkan” orang lain dengan baik.  Bagi para pelajar mendengarkan ucapan sang guru, bagi pemimpin mau mendengar kritik atau pendapat orang-orang yang dipimpinnya. Semuanya untuk didengar, dipikirkan, dan dipertimbangkan untuk mengambil langkah selanjutnya.

Lantas, liman juga memiliki mulut yang kecil dan hampir tidak kelihatan karena tertutup belalainya. Mulut yang kecil itu mengajarkan agar kita mampu mengontrol gerak mulut dan lidah. Maksudnya adalah bahwa kita harus mengurangi lisan yang tidak-tidak. Pada sosok pemimpin, sikap yang harus dimiliki adalah hati-hati dalam berucap. Konsep keutamaan hidup masyarakat Jawa ada dalam ungkapan ajining diri soko kedaling lati, yang artinya kehormatan dan harga diri seseorang tergantung dari ucapan atau kata-katanya. Ajaran ini merupakan refleksi dari tuntunan Hadits Rasulullah S.A.W: ‘falyaqul khoiron au liyasmut’ ‘berkatalah yang baik atau diam’. Sementara belalai panjang yang menjulur melambangkan perubahan. Artinya, belalai tersebut menandakan fleksibilitas, efisiensi, dan kemampuan untuk berubah dan menyesuaikan dengan waktu. Selain itu maknanya agar dapat memanfaatkan kemampuan yang ada untuk segala keperluan serta kemampuan memprediksi jauh ke depan.

Secara spiritual keris ini dipercaya sebagai dhapur penyingkir segala rintangan, baik gangguan gaib (magis) maupun gangguan fisik. Seperti yang diharapkan dari sosok gajah dalam sebuah hutan yang mampu membuka jalan, bergerak di antara semak-semak, mendobrak segala pepohonan di hutan dengan tubuhnya yang gagah dan kuat. Semak-semak ibarat masalah kecil dan pepohonan diibaratkan berbagai masalah besar. Ia membersihkan jalan bagi orang lain untuk mengikuti (Vinayaka).

PAMOR PEDARINGAN KEBAK, Dilihat dari gambaran motifnya pamor pedaringan kebak sangat mirip dengan pamor wos wutah. Ditinjau dari arti namanya pun ada kaitannya, wos wutah artinya beras tumpah, sedangkan pedaringan kebak artinya peti beras yang terisi penuh. Secara visual bentuk gambaran pamor pedaringan kebak lebih kompleks dibandingkan dengan bentuk gambaran pamor wos wutah karena bisa dikatakan menempati hampir seluruh permukaan bilah keris, tidak mengelompok menjadi beberapa bagian. Sedangkan tuahnya tidak jauh berbeda dengan tuah pamor wos wutah, yaitu memudahkan mendatangkan rejeki yang berlimpah.

MAS KUMAMBANG, adalah pamor yang terletak di bagian gonjo. Bentuknya merupakan garis mendatar yang berlapis-lapis mirip dengan kue lapis. Jumlah lapisannya pun beragam, ada yang hanya dua atau tiga lapis saja, namun ada pula yang sampai enam bahkan tujuh lapis. Namun jumlah lapisan tersebut tidak berpengaruh pada tuahnya hanya menunjukkan jumlah lipatan pamornya. Pamor Mas Kumambang ini menurut sebagian pecinta keris termasuk baik tuahnya. Pemilik keris dengan ganja semacam ini bisa bergaul baik dengan kalangan atas maupun bawah. Mereka yang dalam pekerjaannya banyak berhubungan dengan orang lain atau pihak ketiga, tidak ada salahnya jika memiliki keris yang gonjo-nya berpamor mas kumambang ini.

CATATAN GRIYOKULO, jika pada masa kerajaan Majapahit ada keris Condhong Campur, maka di Cirebon pun memiliki Paksi Naga Liman atau Naga Liman sebagai simbol ke-Bhinekaan. Di daerah Jawa Bagian Barat, Naga Liman memang memiliki popularitas dan kharismanya tersendiri.

Pada pusaka ini stilasi gajah diwujudkan oleh sang Empu dalam penampilan sederhana namun terkesan hidup. Tarikan sekar kacang yang panjang dengan tonjolan di bawahnya seolah mempresentasikan belalai sang gajah dan mulutnya. Menjadi semakin realis dengan adanya pamor tiban pada bagian kepala gajah yang mirip dengan kelopak mata sang gajah. Sedangkan perwujudan badan dari sang Naga tampak mengikuti lekuk bilah yang berjumlah lima. Meski warangan lama tapi masih bisa menampilan kontras pamornya dengan cukup baik. Mungkin jika disandingi warangka kulonan akan tampil lebih menarik.

Dialih-rawatkan (dimaharkan) sesuai dengan foto dan deskripsi yang tertera.


Contact Person :

Griyokulo Gallery Jl. Teluk Peleng 128A Kompleks TNI AL Rawa Bambu Pasar Minggu Jakarta Selatan

Facebook : Griyo Kulo SMS/Tlp/WA : 0838-7077-6000 Email : admin@griyokulo.com

————————————

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *