Megantoro Majapahit

10590558_1712292255668741_9142982091114899016_n

Mahar : 13.000.000,- (TERMAHAR) Tn. AP, Senen Jakarta Pusat


1. Kode : GKO-361
2. Dhapur : Megantoro
3. Pamor : Mrambut (nyeprit)
4. Tangguh : Majapahit (Abad XIV)
5. Sertifikasi Museum Pusaka No : 598/MP.TMII/V/2019
6. Asal-usul Pusaka :  Garut, Jawa Barat
7. Dimensi : panjang bilah 27 cm, panjang pesi  3,7 cm, panjang total 30,7 cm
8. Keterangan Lain : dhapur langka


ULASAN :

“ Jangan tanyakan apa yang diberikan negara padamu tetapi apa yang telah kamu berikan pada bangsa ini”

MEGANTORO, adalah salah satu bentuk dhapur keris luk tujuh yang sudah sangat langka sekali. Sepintas mirip keris luk lima dengan bagian lurus di ujung bilahnya. Namun justru inilah yang membuat dhapur Megantoro terbilang unik, karena memiliki kombinasi luk di pangkal (dimana jarak antara luk semakin ke atas semakin renggang) dan  ‘jatuhnya’ luk terakhir (luk ke 6 dan 7) seringkali samar, lurus di pucuk bilah.

Dhapur Megantoro biasanya juga memakai kembang kacang yang unik, yang disebut kembang kacang ‘nyucuk peksi’. Yakni, penyebutan untuk model Kembang Kacang yang bentuknya seperti “Paruh Burung”. Mengapa penyebutannya “Nyucuk” bukan sesuai kata dasarnya “Cucuk”? Karena awalan “Ny” sebenarnya lebih memiliki makna “menyerupai”. Dengan demikian penyebutan Nyucuk Peksi maknanya adalah seolah-olah seperti paruh burung.

Selain itu Megantoro juga memakai jalen, lambe gajah satu dan ri pandan atau greneng. Pada keris-keris dhapur Megantoro yang bermutu tinggi juga terdapat kruwingan di kiri dan kanan ada-ada pada setengah bilah bagian bawah, dan kruwingan tengah pada separo bilah yang di atas. Selain itu, keris Megantoro memakai gonjo wilut yang ujungnya membentuk kanyut (bentuknya seolah-olah ujung buntut cecak yang melengkung ke atas). Menurut mitos atau dongeng dhapur Megantoro pertama kali dibabar oleh Mpu Gadawisesa pada tahun Jawa 941.

FILOSOFI, Harus diakui Megantoro termasuk salah satu dhapur keris yang sudah sangat sulit untuk bisa dijumpai. Keberadaannya saat ini seolah bak mitos saja. Terlebih keris ini sangat dipercaya daya gaibnya dapat menciptakan kewibawaan yang besar bagi pemiliknya, sehingga banyak dicari oleh mereka yang aktif terjun dalam dunia politik, militer maupun pemerintahan. Lalu benarkah seperti itu? Mari kita tengok filosofinya.

Megantoro berasal dari kata Mego dan Antoro (Jw), yang secara harfiah mego berarti mega atau awan, dan antoro adalah antara atau batas. Awan seolah menjadi batas antara dunia atas (langit) dan dunia bawah (bumi). Bagi seorang Pemimpin menjadi sebuah pengingat utama, dimana dirinya hanyalah sebuah kumpulan awan yang berarak. Dan di atas awan akan selalu ada langit yang lebih tinggi. Seakan memberikan penegasan bahwa siapapun kita, sehebat apapun kita, masih ada yang lebih hebat dari kita. Tidak ada yang patut disombongkan dari segala yang telah kita miliki maupun yang telah diraih.  Namun ada banyak hal yang patut disyukuri daripada dikeluhkan karena masih ada bumi di bawahnya, yang membutuhkannya dan sudah suratan menjadi tanggung jawabnya.

Lewat awan, kita juga dapat belajar dengan lebih bijaksana bahwa semua yang ada di dunia memiliki awal. Awal yang berupa ketiadaan, lalu muncul perlahan, dan berproses sedemikian rupa hingga bersatu, besar, dan berisi, lalu jatuh kembali ke Bumi. Bercermin dari hal tersebut, maka sebesar apapun kapasitas kita di dunia, pada akhirnya semua pasti memiliki ujung yang telah digariskan oleh Sang Pencipta.

Dalam khasanah budaya Jawa kuno, sedikitnya ada empat ajaran filsafat kepemimpinan. Salah satu diantaranya adalah Hasta Brata. Hasta Brata merupakan delapan sifat utama yang diambil dari sifat benda-benda alam, salah satunya melalui awan (himinda). Dimana awan selalu di atas, anglimputi (menyelimuti) semua mahluk tanpa membedakan. Sebagai seorang pemimpin harus mampu berperilaku bagai awan atau mendung. Awan yang disertai petir, jika dilihat sepintas memberikan kesan menakutkan, yakni wibawa. Seorang pemimpin harus berwibawa dan sekaligus mampu bersikap adil bagi siapapun yang berbuat salah dan melanggar peraturan tanpa pandang bulu. Namun setelah jatuh menjadi titik-titik hujan yang membasahi bumi, ia amat bermanfaat bagi kehidupan segala makhluk yang ada di muka bumi. Karenanya segala keputusan dan kebijaksanaan yang diambil diambil seorang pemimpin harus senantiasa memberikan kesejahteraan bagi masyarakat yang dipimpinnya.

Pada esensinya Megantoro adalah sebuah  sifat keutamaan dari seorang pemimpin yang harus bisa mengayomi sekaligus memberikan manfaat sebesar-besarnya bagi seluruh masyarakat yang dipimpinnya. Pemimpin yang memiliki hati menjejak bumi dengan jiwa ikhlas melayani, serta tak pernah lelah untuk terbang menggapai langit dalam mewujudkan visinya. Bukan ‘kakehan gludug kurang udan’. Seperti para pemimpin politik nasional kita lebih banyak mengumbar janji, namun tidak ada realisasi. Banyak mengkritisi, tapi tanpa memberikan sedikitpun solusi. Bahkan sejumlah tokoh justru menjadi pesakitan KPK.

TANGGUH MAJAPAHIT, Dalam buku Ensiklopedi Keris (2004) Bambang Harsrinuksmo mencatat tak kurang dari 20 jenis tangguh, mulai dari Tangguh Segaluh hingga Tangguh Yogyakarta. Masih menurut buku yang sama tangguh Majapahit digambarkan pasikutan-nya agak wingit dan prigel, besinya lumer (halus rabaannya) dan berkesan kering; warnanya agak biru. Menancapnya pamor pada bilah pandes dan ngawat (kokoh dan serupa kawat), sebagian pamornya mrambut. Panjang bilahnya berukuran sedang, makin ke ujung makin ramping sehingga berkesan runcing. Luk-nya tidak begitu rapat. Gandik-nya miring dan agak pendek.

Sedangkan dalam buku yang lebih lama, Serat Paniti Kadga mencatat nama-nama Empu pilih tanding di Jaman Majapahit, yakni Empu Singkir atau Empu Hangga dari Tapan, Empu Wanabaya atau Empu Keleng dari Pituruh, Empu Jigja (putra empu Singkir) yang diceritakan jempolnya seperti kepala ular, Empu Dhomas, Empu Sedah (putra Empu Kalunglungan dari Blambangan), Empu Supa Madrangi atau Pangeran Sedayu (Putra Empu Sedah), Empu Supagati (putra Empu Sedah) dan Jaka Sura dari Blambangan yang dikisahkan menyusul Bapaknya (Supa Madrangi) ke Majapahit, di jalan membuat keris betok, pesinya bolong, dikarenakan ketika dibawa dengan cara direntengi.

“Daripada memiliki banyak keris/tombak, lebih baik hanya memiliki sebilah keris/tombak Majapahit”. Itulah pepatah guyonan di kalangan kolektor perkerisan yang tentu saja terlalu menghiperbolakan atau memberi bobot berlebihan pada keris tangguh Majapahit. Namun dalam kalimat bernada bercanda itu, ada makna lain yang mengandung kebenaran. Perpaduan antara sisi garap dan ‘isi’ dianggap sebagian kalangan menyatu dalam komposisi yang pas. Material logam dan tempa lipat keris Majapahit dianggap lebih baik, begitu pula dengan angsar keris Majapahit dipercaya penggemar esoteri di atas rata-rata tangguh lainnya. Tidaklah mengherankan jika tangguh Majapahit adalah salah satu tangguh yang mempunyai penggemar fanatiknya tersendiri.

PAMOR MRAMBUT, merupakan salah satu motif atau pola gambaran pamor yang bentuknya menyerupai deretan garis yang membujur dari pangkal hingga ujung keris, seperti rambut lurus yang terurai. Seringkali memang garis-garis itu bukan garis yang utuh, melainkan terputus-putus. Tuah pamor ini oleh para pecinta keris adalah untuk menangkal atau menolak bala (halangan), atau sesuatu yang tidak diinginkan. Pamor ini tergolong pamor yang pemilih, sebab tidak setiap orang akan cocok bila memilikinya. Selain itu istilah mrambut juga digunakan untuk menilai besi wasuhan keris. Besi yang mrambut artinya besi itu tampak berserat halus bagaikan rambut. Kesan tersebut bisa dirasakan melalui perabaan maupun melalui penglihatan.

CATATAN GRIYOKULO,  Jika Panjenengan sudah lama mengidam-idamkan dhapur Megantoro, mungkin keris ini layak untuk dipertimbangkan. Panjang bilahnya kurang dari 30 cm, sedikit lebih panjang dari keris patrem atau anak alang. Besinya-pun lumer halus dengan pamor nyeprit, khas wilwatikta. Meskipun pada bagian gonjo secara style sepertinya dipengaruhi gaya Sumateraan. Sedangkan untuk sandangannya, warangka tanggah perahu dengan kombinasi hulu anak ayam/jawa demam original sebelumnya masih kami biarkan apa adanya. Sudah tampak uzur memang, ‘mengabdi’ pada bilah tidak hanya 10-20 tahun, sangat mungkin sudah berpuluh-puluh tahun. Tidak mengherankan telah digerogoti sang waktu. Namun sebenarnya warangka ini mampu menampilkan serat kayu nginden yang indah, terutama pada bagian batang sunnah-nya (gandar) yang memiliki motif seperti lilitan rotan. Tidak perlu diwarangi ulang, karena baru usai dijamas.

Dialih-rawatkan (dimaharkan) sesuai dengan foto dan deskripsi yang tertera.


Contact Person :

Griyokulo Gallery Jl. Teluk Peleng 128A Kompleks TNI AL Rawa Bambu Pasar Minggu Jakarta Selatan

Facebook : Griyo Kulo SMS/Tlp/WA : 0838-7077-6000 Email : admin@griyokulo.com

————————————

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *