Singo Barong Puthut

10590558_1712292255668741_9142982091114899016_n

Mahar : 15.000,000,- (TERMAHAR) Tn. LS, Semarang


1. Kode : GKO-405
2. Dhapur : Singo Barong Puthut
3. Pamor : Beras Wutah Winengku
4. Tangguh : Madura Era Amangkurat (Abad XVII)
5. Sertifikasi Museum Pusaka No : 1523/MP.TMII/XI/2019
6. Asal-usul Pusaka :  Eks  Koleksi JB. Basuki, Surakarta
7. Dimensi : panjang bilah 35,5 cm, panjang pesi  7,2 cm, panjang total 42,7 cm
8. Keterangan Lain : kolektor item


ULASAN :

TENTANG NAMA DHAPUR, untuk pusaka kali ini tergolong unik, dimana kita bisa melihat bersama pada bagian gandhik berbentuk binatang mirip singa jantan dengan kelamin mencuat, posisi kedua kaki depan tegak, kaki belakang ditekuk, dan tubuh belakang dalam posisi duduk/jongkok. Sorot matanya tajam, dengan mulut menganga. Orang menyebutnya dengan nama Singo Barong. Terlihat pula pada bagian wadidang belakang diukir bentuk orang duduk bersila dengan tangan menengadah ke atas, mirip seperti orang sedang berdoa. Orang mengenalnya sebagai Puthut.

Hingga saat ini penulis tidak/belum menemukan nama dhapur yang dimaksud (Luk tigabelas dengan kombinasi bentuk gandhik “Singo Barong” di depan dan “Puthut” di bagian belakang wadidang). Sedikit membuka catatan/referensi pada buku dhapur saha waos, terdapat keris luk lima dengan ciri gandhik “Singo Barong” dan bagian wadidang berbentuk “Kepala Naga serta Banaspati” di bawahnya justru  menghilangkan nama keduanya (Singo Barong dan Naga) menjadi nama lain yang malah tidak berhubungan dengan bentuk yang ada, yakni dhapur Panji Kuda.

Namun jika kita membuka Serat lama seperti Pakem Pusaka (Duwung, Sabet dan Tombak) yang ditulis oleh oleh R.Ng Hartokretarto (1964) berdasarkan babon asli peninggalan R, Ng Ronggowarsito ternyata pada zaman dahulu banyak juga warna-warni duwung yang menggambungkan beberapa ricikan dhapur dalam satu keris. Terdengar tidak familiar memang, nama-nama seperti : brojol sesisih tilam upih, tilam upih sesisih tilam sari, jalak sangu tumpeng laler mengeng, sengkelat karna tinanding pudhak sategal dan sekitar 560 jenis lainnya yang mungkin dalam kawuh krisologi sekarang akan dianggap sebagai “keris kalawijan“.

Keris kalawijan sebenarnya bukanlah nama dhapur keris tertentu. Dalam dunia tosan aji istilah yang merujuk kepada kalawijan atau palawijan paling tidak memiliki dua arti: Pertama, adalah nama yang diberikan kepada keris-keris yang jumlah luknya lebih dari tiga belas.  Walaupun lebih dari 13 jumlah luknya, keris kalawijan juga mempunyai pakem ricikan dan nama dhapur. Dan yang kedua, juga lazim digunakan untuk menyebut keris lurus maupun berluk 3 hingga 13 yang ricikan-nya tidak sesuai pakem atau tidak punya nama dhapur.

FILOSOFI, Singa” adalah binatang yang habitatnya di sabana, padang rumput yang ada pepohonannya. Secara habitat, Singa bukan fauna asli Nusantara (khususnya Jawa). Secara bahasa pun, tidak ditemukan entri perbendaharaan kata singa dalam kamus jawa kuno maupun bahasa Kawi. Yang ada adalah kata “simha atau singha“, yang artinya adalah singa. Sedangkan kata “Barong” sendiri berarti sesuatu yang besar. Dan hal ini tercermin pada besarnya singa yang terdapat pada gandhik, karena umumnya bentuk yang kurus-kurus akan disebut kikik/anjing (naga sari).

Begitu hebatnya sosok seekor singa, sejarah dan ensiklopedi manapun mencatat Singa sebagai Raja Hutan hampir di seluruh belahan dunia dari masa ke masa. Membaca atau mendengar namanya saja, maka akan menghadirkan gambaran tentang sosok binatang yang menakutkan dan tidak mudah ditaklukkan. Badan binatang buas itu berukuran besar dan tegap, sehingga selalu mendatangkan kewibawaan, angker, rasa gentar. Bahkan ada ungkapan: “Seratus kambing yang dipimpin oleh seekor singa akan jauh lebih berbahaya daripada seratus singa yang dipimpin seekor kambing”. Maka tak heran jika Singa identik dengan simbol keperwiraan, kepemimpinan dan kekuasaan.

Puthut, merupakan adaptasi dari tradisi cantrik Hindu “shastri” dalam bahasa Sansekerta adalah orang yang mempelajari Shastra (Kitab Suci) di pe-shastri-an. Yang dalam keris distilir seseorang dalam posisi duduk bersimpuh, menengadahkan tangan ke atas seolah sedang berdoa. Candrapasemon sebagai seorang murid, untuk mencapai suatu ilmu, harus menjalaninya dengan proses tirakat, semedi untuk mencapai keheningan, kebersihan batin, tawakal dan berserah diri kepada Tuhan Yang Maha Kuasa. Jika jiwa bersih, maka akan dengan mudah menyerap ilmu yang dipelajari.

Maka, yang membedakan para puthut dan kebanyakan orang adalah jelas orientasi hidupnya, yang lurus. Meraka adalah kaum terpelajar yang sederhana dan bersahaja, rela membaur mengabdi tanpa embel-embel apapun di tengah masyarakat. Dalam filsafat Jawa disebutkan bahwa: urip kuwi urup, urip kuwi urap (hidup itu memberi terang, hidup itu membaur dan bermasyarakat). Tidak penting popularitas ataupun menjadi pusat perhatian. Oleh karena itu, mereka lebih memilih jalan sunyi. Begitulah laku yang harus dijalankan oleh murid/santri/cantrik di zaman dulu, kemarin, sekarang serta seterusnya. Itulah pakem sejati seorang murid.

Di beberapa tempat di Jawa Timur keris dhapur Puthut (Kembar) sering juga disebut keris Umyang. Sebutan ini sebenernya kurang tepat, karena Umyang sebenarnya bukan nama dhapur keris, melainkan seorang nama Empu yang hidup pada zaman kerajaan Pajang. Kata Umyang sendiri, menurut arti lain bahasa jawa adalah seseorang yang “ngumyang” atau menggigau/tidak sadar. Jadi figur manusia pada dhapur Puthut tersebut dianggap sebagai prewangan yang membantu pemilik pusaka tersebut melancarkan maksud-tujuannya. Seperti Umyang Jimbe dipercaya bisa membantu melancarkan usaha dan menghalau rintangan, Umyang Panimbal dipercaya bisa mendatangkan/memanggil rejeki, Umyang Tagih membantu pemiliknya menagihkan utang-utang orang lain kepadanya, bahkan Umyang Beras diyakini bisa membuat beras yang ada di tempat beras tidak akan habis.

Dengan menyelami arti relief manusia pada dapur keris tersebut maka kita akan bisa membedakan arti relief Putut dengan relief Umyang. Posisi sikap keduanya sama yaitu sama-sama tangan menengadah ke atas, sama-sama memohon ke TUHAN YME. Hanya tujuannya yang berbeda karena spiritualitas” yang berbeda. Yang satu (Puthut) memohon pemahaman hidup (sejatining urip) – yang lain (Umyang) memohon instant jaminan kekayaan harta/materi duniawi. Dengan memahami dan menghayati arti yang berbeda maka kita akan menyerap energi yang berbeda pula. Jika kita condong memahami keris tersebut sebagai “bocah ngumyang” yang lebih ke urusan ‘duniawi’ maka orientasi hidup kita juga akan lebih kemrungsung akan harta benda/materi. Jika kita melihat puthut sebagai murid yang nyantri, maka kita akan menjadi pribadi yang terus belajar dan memberi manfaat bagi orang lain, identitas yang akan terus dibawa dan dibela sampai mati.

TANGGUH MADURA ERA AMANGKURAT, Tangguh Madura sebenarnya cukup unik, karena periodesasinya panjang sekali (mulai dari Singosari hingga sekarang) dan sejak jaman dulu berpengaruh besar terhadap gaya dan bentuk keris-keris di Nusantara. Pusaka ini juga memiliki condong leleh (derajad kemiringan) agak berbeda dari keris-keris normal, seolah tampil lebih percaya diri diwujudkan dalam bentuknya yang cenderung tegak. Sebuah condong leleh yang dianggap menampilkan karakter surya (= kewibawaan/kedudukan/kekuasaan).

Besinya pun berwarna hitam terkesan garang, dalam perabaannya cenderung kering, kemungkinan bahan biji besinya berasal dari pesisir pantai atau dalam penyepuhannya menggunakan air yang salinitasnya tinggi. Tekstur pamornya terkesan lebih nyekrak agal, keras, tegas dan kasar serta berwarna putih terang membawa DNA madura. Demikian pula dedeg-nya cenderung birowo (besar) dengan bentuk luk sarpa nglangi, dengan ciri lekukannya yang rengkol dan semakin ke atas semakin rapat, irama lekukannya seperti gerak ular yang sedang berenang banyak ditemui di era Amangkuratan.

PAMOR BERAS WUTAH WINENGKU, adalah motif pamor beras wutah yang dibungkus dengan garis wengkon (garis di sepanjang sisi pinggir bilah). Dari sisi teknis pembuatannya tentu saja lebih sulit dibandingkan pamor beras wutah biasa. Dan sudah tentu ada maksud lebih dan tersembunyi kenapa dibuat pamor yang berbeda dengan beras wutah biasa. Tuah pamor beras wutah wengkon dipercaya untuk memohon berkah dan perlindungan.

PELET PULAS GROBOH, Seolah tidak mau kalah, warangka sebagai abdi setia pengiring bilah meski tampil tanpa hiasan pendok namun terbilang cukup istimewa pada pilihan pelet (motif/corak) timoho-nya yang tembus ke dalam lubang warangka pertanda keasliannya dari alam, bukan pelet “kaleng-kaleng” hasil gambar tangan-tangan kreatif. Masih digebeg secara tradisional, gilap tanpa pernis/plitur. Dulu, sebelum mengenal amplas dan cat semprot (clear coat), para mranggi menggunakan daun ampelas alam yang telah kering (ficus ampelas burm). Kemudian untuk memadatkan pori-pori kayu digunakan kuwuk (rumah siput atau semacam kerang laut).

Adalah motif pelet pulas groboh, dimana motif/coraknya mempunyai gambar bintik-bintik besar dan kecil, dengan jarak yang sedikit jarang antara satu dengan yang lain. Dipercaya mempunyai khasiat memberikan kepuasan hidup dan selalu bahagia (roso adem ayem tentrem). Demikian sulitnya untuk mendapatkan kayu timoho yang memiliki pelet, sehingga wajarlah jika disandingkan dengan pusaka terpilih.

CATATAN GRIYOKULO, Secara keseluruhan pusaka ini masih terbilang sangat utuh (TUS), jika pada dhapur Singo Barong umumnya yang menjadi momok adalah pada bagian kaki depan yang sering gogrok (hilang), namun tidak dengan pusaka ini. Bentuk Singo Barong dan Puthut seolah melambangkan “Umara dan Ulama”, digarap sederhana namun cukup apik, diiringi bentuk sogokan depan belakang yang dalam. Bagian pesi yang cenderung berbentuk persegi daripada gilig juga masih sangat panjang. Terakhir bilah diwarangi jika tidak salah sekitar 9-10 tahun yang lalu, namun masih mampu menampilkan detil kontras yang baik dan tidak berkarat. Maka teringat petuah dari orang tua zaman dahulu untuk memilih pusaka dengan besi yang tidak gampang taiyengan.

Dialih-rawatkan (dimaharkan) sesuai dengan foto dan deskripsi yang tertera.


Contact Person :

Griyokulo Gallery Jl. Teluk Peleng 128A Kompleks TNI AL Rawa Bambu Pasar Minggu Jakarta Selatan

Facebook : Griyo Kulo SMS/Tlp/WA : 0838-7077-6000 Email : admin@griyokulo.com

————————————

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *