Makara

10590558_1712292255668741_9142982091114899016_n

Mahar : 5.555,555,- (TERMAHAR) Tn. P, Solo


1. Kode : GKO-393
2. Dhapur : Makara
3. Pamor : Ngulit Semangka
4. Tangguh : Tuban Mataram (Abad XVII)
5. Sertifikasi Museum Pusaka No : 1084/MP.TMII/IX/2019
6. Asal-usul Pusaka :  rawatan/warisan turun temurun
7. Dimensi : panjang bilah 33,5 cm, panjang pesi 7 cm, panjang total 40,5 cm
8. Keterangan Lain : dhapur langka


 

ULASAN :

MAKARA, Ragam hias kala–makara tidak hanya unik, namun terbilang sangat sakral yang banyak dijumpai di candi-candi di Jawa. Hiasan kepala Kala senantiasa berada di atas pintu masuk candi, sedangkan pasangannya Makara yang merupakan binatang mitologi berbelalai gajah, surai singa, paruh burung nuri, dan ekor seperti ikan dengan mulut terbuka diletakkan pada sisi kanan dan kiri bagian bawah pintu masuk candi.

Sedangkan dalam dunia tosan aji, istilah Makara digunakan untuk menyebut hiasan/tinatah yang terletak pada bagian gandik (muka) keris walaupun wujudnya berbentuk kepala Kala (bukan makara). Konon salah satu pusaka peninggalan Pangeran Diponegoro yang tersimpan di Weltmuseum Wien, Austria memakai kinatah emas makoro pada gandhiknya.

FILOSOFI, Selain relief dan arca yang terdapat pada candi-candi ada juga ornamen yang sangat menarik untuk dikaji, yakni Kala-Makara. Perkembangan ragam hias ornamen kala-makara di Indonesia dapat dilihat melalui penggambaran pada candi-candi khususnya di Jawa Tengah dan Jawa Timur. Kala-makara di Jawa Tengah pada umumnya mempunyai usia yang lebih tua dibandingkan dengan kala-makara di Jawa Timur. Terdapat pula perbedaan hiasan relung dan gawang pintu pada Candi di Jawa Timur dan di Jawa Tengah. Kala di candi-candi dengan Langgam Jawa Timur digambarkan mempunyai rahang bawah (berdagu). Sedangkan Kala pada candi-candi Jawa tengah digambarkan tanpa rahang bawah (tidak berdagu). Walaupun secara spesifik memiliki sedikit perbedaan karakteristik namun secara umum bentuk kala selalu mirip, yaitu memiliki wajah yang menyeramkan, bermata besar dan melotot, berhidung besar, bertaring.

Selain sebagai estetika pada sebuah candi, ornamen kala makara mempunyai makna yang sangat dalam pada bangunan suci tersebut. Ada beberapa fungsi dan makna yang terdapat pada Kala-Makara diantaranya yaitu:

     1. Makna Pelebur

Pelebur yang dimaksud adalah melebur sesuatu yang bersifat negatif atau sebagai penolak bala. Ornamen kala dimaknai sebagai Kirrtimukha yang dalam mitologi Hindu merupakan makhluk ciptaan Dewa Siwa sebagai pembasmi asura yang mengganggu Kahyangan. Segala bentuk kejahatan asura dibasminya sehingga Kirrtimukha diberikan tugas untuk menjaga istana Dewa Siwa dengan bertempat tinggal di ambang pintu istana. Sosok Kirrtimukha dengan mulut menganga dan bergigi sehingga dimaknai sebagai penelan. Mulut menganga sebagai penelan dimaknai sebagai mulut transisi yang harus dilalui sebelum memasuki tempat suci. Masyarakat yang hendak bersembahyang harus melewati atau tertelan terlebih dahulu oleh  Kirrtimukha untuk dilebur atau dimusnahkan dan dibersihkan dari hal yang bersifat negatif.

     2. Makna Keabadian

Makna keabadian ini terkait dengan mitologi Hindu tentang terminumnya amrtha oleh Kala Rahu. Ornamen kala pada bangunan candi memuat makna bentuk kepala Kala Rahu yang abadi, tetapi terputus dari badannya. Mitologi ini selanjutnya berkembang menjadi sebuah penafsiran tentang keberadaan sisa amrtha yang masih berada di dalam mulut Kala Rahu. Amrtha tersebut akan selalu menetes dan mengalir melalui mulut Kala Rahu yang diletakkan di atas ambang pintu, serta akan memberkati siapapun yang memasuki wilayah suci.

      3. Makna Kesuburan

Kesuburan dikaitkan dengan konsepsi kala yang dimaknai sebagai wujud dari Banaspati. Banaspati dapat berarti raja hutan yang berasal dari kata bana atau wana, yang artinya hutan dan pati, yang artinya raja. Berdasarkan konsep  tersebut, Banaspati dapat disimbolkan sebagai raja hutan atau penguasa hutan yang menunjang kehidupan semua makhluk yang ada di wilayahnya. Makna kesuburan juga dapat diketahui dari bentuk ornamen makara yang merupakan wujud binatang melata yang hidup di laut dan hutan, biasanya berkepala gajah atau buaya dan berbadan ular atau naga. Naga merupakan simbol dari bumi sebagai sumber kesejahteraan.

Secara populer, Kala dimitoskan untuk mengusir roh jahat. Kesangaran ekspresi wajah Kala dianggap pelindung di tempat suci (dharma protector). Dan jika diukirkan pada gandik sebuah keris yang letaknya di sor-soran meski menyimpang dari bentuk asli makara, melambangkan sebuah keselamatan, kala sebagai kekuatan di atas (kekuatan matahari) yang turun ke bawah (bumi). Tidaklah mengherankan jika mereka yang menggandrungi esoteri pusaka biasanya menjadikan dhapur makoro ini sebagai pasangan keris-keris dhapur naga. Dipercaya akan memberikan sinergi kepada lingkungannya agar memiliki pengaruh yang kuat di masyarakat. Sehingga keris Makoro pada zaman dahulu banyak dimiliki oleh trah ningrat.

Bagi orang Jawa Batara Kala adalah simbol angkara murka atau hawa nafsu yang harus dapat ditundukkan. Kala bisa juga berarti waktu: setiap bentuk kehidupan manusia akan “dimakan”  waktu. Waktu jualah yang abadi, sedangkan yang lain akan musnah. Untuk itu kita perlu mengerti dan memahami tentang keberadaan “sang waktu”, Makoro agar tidak menjadi orang yang merugi.

Makoro yang dalam jarwo dosok berarti limo perkoro. Lima perkara tersebut adalah sebagai berikut:

  1. “Pergunakan masa mudamu sebelum datang masa tuamu”. Masa muda hendaklah dipergunakan sebaik-baiknya untuk menebar kebaikan, manggapai kesuksesan, dan keberhasilan, karena masa mudalah kita mempunyai ambisi, keinginan dan cita-cita yang ingin kita raih. Bukan berarti masa tua menghalangi kita untuk tetap berusaha mewujudkan cita-cita kita, tapi tentulah secara fisik tidaklah setangguh dan seproduktif saat kita masih muda. Maka dari itu masa muda hendaklah diisi dengan sesuatu yang bermanfaat hingga tidak menyesal di kemudian hari.
  2. “Pergunakan waktu sehatmu sebelum datang waktu sakitmu”. Kesehatan merupakan karunia dan nikmat yang sering kali terlupakan. Nabi pernah mengatakan dalam kesempatan lain bahwa “sehat dan waktu” adalah dua nikmat yang banyak manusia tertipu. Mereka menyangka bahwa keduanya adalah sesuatu yang sewajarnya, padahal itu nikmat terbaik yang diberikan Allah pada setiap hamba-Nya.
  3. “Pergunakanlah masa kayamu sebelum datang masa kefakiranmu”. Jika Tuhan memberikan karunia berlebih ingatlah itu hanya amanah yang dititipkan kepadamu. Berbagilah karena dalam harta yang kita miliki terdapat hak orang lain yang membutuhkannya. Demikianlah cara kita bersyukur dengan karunia berlebih yang diberikan-Nya.
  4. “Pergunakan masa luangmu sebelum datang masa sibukmu”. Banyak yang menafsirkan keadaan lapang dan sempit itu terkait masalah waktu yang kita miliki. Lapang adalah ketika kita mempunyai banyak waktu, sedangkan sempit adalah ketika kita disibukkan dengan urusan dunia. Sehingga kita dianjurkan untuk mengingat Tuhan ketika kita mempunyai waktu longgar. Kita manfaatkan waktu yang kita miliki untuk mengingat Tuhan dengan beribadah kepadanya. Sebaliknya, adalah keadaan ketika sempit atau sibuk, harus diakui dengan jujur jika sulit sekali rasanya kita untuk bisa mengingat Tuhan dalam keadaan tersebut. Dunia seolah menenggelamkan kita.
  5. “Pergunakan hidupmu sebelum datang matimu”. Setiap yang hidup pasti akan mati, manusia tidak akan mengetahui kapan ajal akan menjemputnya dan bagaimana caranya. Maka persiapkanlah!

Lima Perkara di atas akan senantiasa mengingatkan kita agar tidak menyianyiakan kesempatan dan waktu yang telah Tuhan berikan kepada kita. Karna tidak mungkin dari kita bisa memutar kembali waktu yang telah terlewat. Sebab kematian dan waktu adalah hal yang pasti. Banyak orang lalai ketika muda, sehat, kaya, lapang, dan hidup. Tetapi, saat di bawah dalam keadaan tua, sakit, miskin, sempit, dan menjelang kematian, menjadi ingat dan berseru kepada-Nya. Itulah karekter bawaan dari manusia.

TANGGUH TUBAN MATARAM, Meski hanya berkinatah prasaja tanpa tempelan hiasan logam emas, perak maupun kuningan pada gandhik makoro-nya namun sosok bilahnya masih terlihat manis dan sangar. Bentuk kala dengan memakai mahkota, mata bulat melotot, taring dan rahang atas masih digarap sesuai pakem. Terlebih pada bagian lubang hidungnya tampak tembus berhubungan seperti hidung pada umumnya. Bilahnya nglimpo dengan pamor ngulit semangka yang lembut membawa karakter Tuban. Meskipun tebal, namun jika disentil dengan ujung jari akan terdengar suara yang nyaring pertanda matang tempa.

Bentuk sirah cecak yang agak membulat khas keris tuban dapat dilihat, sedangkan bagian belakang gonjo-nya yang melandai di sisi belakangnya terpengaruh gonjo nyebit rontal khas mataram. Bagian greneng juga masih sangat utuh dalam menampilkan bentuk dha. Jika mau melihat lebih detail pada bagian tengah gonjo yang sejajar dengan pesi terdapat bulatan yang mirip pamor udan mas di kedua sisi, dikenal sebagai pamor raja temenang, dipercaya tuahnya dapat memenangkan masalah-masalah hidup.

Namun yang agak disayangkan karena perawatan yang kurang benar, terdapat beberapa spot yang bopeng-bopeng terkorosi. Korosi tersebut didapatkan karena taburan batu kemenyan yang dideplok (dihaluskan). Sebenarnya asap kemenyan memang bagus untuk mengharumkan besi, aromanya terasa lebih mistis, namun jika ditaburkan secara langsung justru “jahat”, karena akan menghasilkan endapan yang bisa menggerogoti besi. Dari besi yang bopeng terkorosi justu kita juga bisa melihat bahwa keris ini meski karakter pamornya lembut dan kalem warnanya namun sangat pandes hingga ke bagian dalam, tidak terputus alurnya pada bagian besi yang terkorosi tadi. Untuk warangka bancihan wayangnya pun sudah jarang bisa ditemui.

PAMOR NGULIT SEMANGKA, disebut demikian karena pamor yang dibuat oleh sang Empu mirip sekali dengan corak pada kulit buah semangka, yakni berupa beberapa garis lengkung dari bentuk garis lengkung terkecil kemudian melebar dengan lengkungan yang membesar, menunjukkan gerak yang teratur harmonis.

Dapat dikatakan bahwa lukisan garis-garis lengkung pada pamor ngulit semangka ini membawa pesan moral dalam kehidupan manusia yang selalu berubah (naik dan turun). Menjadi orang yang lebih percaya diri (optimis), bijaksana dalam memutuskan suatu permasalahan (dinamis), dan pandai dalam pergaulan untuk menyesuaikan dengan segala keadaan (flexible). Fase kehidupan yang kemudian berkembang untuk mencari jati diri, mau belajar dan menjalin kehidupan sosial agama. Yang nantinya akan membawa dirinya menuju ke dalam penyatuan diri melalui pasang surut  keadaan, dan pada akhirnya harus kembali ke asalnya.

Dialih-rawatkan (dimaharkan) sesuai dengan foto dan deskripsi yang tertera.


Contact Person :

Griyokulo Gallery Jl. Teluk Peleng 128A Kompleks TNI AL Rawa Bambu Pasar Minggu Jakarta Selatan

Facebook : Griyo Kulo SMS/Tlp/WA : 0838-7077-6000 Email : admin@griyokulo.com

————————————

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *