Mahar : 3.000,000,- (TERMAHAR) Tn. SI – Jagakarsa, Jakarta Selatan
1. Kode : GKO-378
2. Dhapur : Cacing Kanil Luk 7
3. Pamor : Ilining Warih
4. Tangguh : Mataram (Abad XVII)
5. Sertifikasi Museum Pusaka No : 920/MP.TMII/VIII/2019
6. Asal-usul Pusaka : Jakarta
7. Dimensi : panjang bilah 25,7 cm, panjang pesi 11.5 cm, panjang total 37,2 cm
8. Keterangan Lain : sudah dilengkapi dengan landeyan dan tutup
ULASAN :
CACING KANIL, adalah salah satu bentuk dhapur tombak luk tiga, luk lima atau luk tujuh. Bentuknya mirip cacing yang sedang menggeliat. Bilahnya bentuknya bukan pipih, dan berbeda dengan luk dari tombak maupun keris. Jika bentuk luk pada tombak dan keris ada pada dua sisinya, sedangkan pada cacing kanil luknya mengarah ke semua sudut. Potongan melintang cacing kanilpun ada beragam bentuk; ada yang membulat, ada yang persegi empat dan adapula yang berbentuk belimbing.
Pada beberapa dasawarsa terakhir banyak tombak cacing kanil yang berubah fungsi. Tombak tersebut tidak diberikan landeyan (tongkat tombak) dan tutup sebagaimana seharusnya, melainkan dijadikan isian tongkat komando. Memang dari segi bentuk dan ukurannya yang kecil, ramping dan memanjang tombak ini akan cocok dijadikan isian tongkat komando.
jinangkêpan kawan atus | kang samya prawirèng jurit | kang tate susur gudebag | parung lawan cèkèl biring | sêsogok kudhup cêpaka | cêcêg-cêcêg cacing kanil || (Babad Pajajaran Dumugi Demak, Anonim 1865)
Dalam saduran Babad Pajajaran Dumugi Demak tersebut kita bisa mengetahui bahwa selain busur panah, tombak cekel, tombak biring, dan tombak kudhup cempaka, cacing kanilpun menjadi “pegangan” para perwira di kerajaan Demak Bintoro. Seperti halnya tombak cipiran yang tipis namun tajam, konon tombak cacing kanil difungsikan untuk menembus kere waja (baju zirah) Portugis.
Tapi lain lagi ceritanya jika kita bertanya kepada ‘simbah-simbah’ di daerah Gunung Kidul. Bentuk tombak yang kita kenal dengan sebutan cacing kanil ini malah disebutnya sebagai “silur”, yang fungsinya justru sebagai penawar bisa ular, kalajengking dan lain sebagainya. Adapun penggunaannya adalah pada area yang terkena gigitan atau sengatan binatang berbisa terlebih dahulu ditaburi garam, lalu silur a.k.a cacing kanil ini ditempelkan berkali-kali ke area yang terluka tadi.
FILOSOFI, Penamaan cacing kanil disebut-sebut berhubungan dengan peristiwa Syeh Siti Jenar yang mencuri dengar pelajaran Sunan Bonang. Beliau sengaja mendayung sampan ke tengah danau, agar tak ada orang lain yang mendengar wejangannya untuk sang murid Sunan Kalijaga. Syeh Siti Jenar diam-diam mengikuti ke dalam perahu tersebut dengan menjelma sebagai cacing lur, lalu bersembunyi di dalam lempung (tanah merah) yang dipergunakan untuk menambal kebocoran halus di sisi sampan.
Sunan Bonang yang kemudian mengetahui kehadiran Syeh Siti Jenar, memintanya kembali ke wujud asli manusia. Dikatakan, beliau kemudian memarahi karena mencuri dengar hal yang bukan menjadi haknya, sekaligus berterima kasih karena telah membantu menambal kebocoran perahu dengan tanah merah saat ia menjadi cacing lur. Sejak saat itu, nama Syeh Siti Jenar selalu dikenang dengan peristiwa cacing lur di dalam tanah liat merah untuk menambal perahu. Sebutan Syeh Siti Jenar pun diawali dari peristiwa itu. ‘Syeh/Syaikh’ berarti tuan dalam bahasa Arab atau master yang dianggap mumpuni. ‘Siti’ dalam bahasa Jawa berarti ‘tanah’, sedangkan ‘jenar’ adalah kuning. Jadi Syeh Siti Jenar berarti tuan dari tanah kuning. Sebutan ‘kuning’ merujuk pada warna merah kekuningan yang dipakai untuk menambal sampan, karena nama lain Syeh Siti Jenar adalah Syeh Lemah Abang yang berati Tuan dari Tanah Merah.
Konon, peristiwa Syeh Siti Jenar menjadi cacing yang menggeliat-geliat (cacing nganil) untuk menambal papan sampan dengan tanah merah lah, yang menjadi dasar penamaan tombak cacing kanil. Meski diungkapkan dalam sisi antagonis, dalam kisah tersebut terselip makna tersembunyi, bahwa setiap makhluk bahkan yang sekecil cacingpun memiliki potensi/daya untuk menanggulangi halangan. Selain itu, menggambarkan juga kesungguhan dalam berusaha mendapatkan sesuatu yang seakan-akan sudah tertutup kemungkinan untuk mendapatkannya. Tombak cacing kanil kerap tersembunyi di dalam sebuah tongkat menemani pemiliknya, dan bila sewaktu-waktu dibutuhkan siap dihunus untuk mengeluarkan kesaktiannya yang terpendam, sesakti Syeh Siti Jenar. Bahkan tanpa dihunus pun, kesaktian sang Cacing Kanil diyakini selalu ikut menjaganya, menambal kekurangan pemiliknya. Selain itu tuah cacing kanil dipercaya dapat memberikan kemampuan pemiliknya untuk dapat bergaul dengan luwes, seperti seekor cacing.
Konon, Sang Proklamator RI yang dikenal selalu membawa tongkat kecil (komando) dalam setiap acara kenegaraan resmi, dikabarkan didalamnya tersimpan sejumlah tombak kesayangan, Salah satu yang kerap digunakan adalah cacing kanil. Sekitar 6 kali percobaan pembunuhan terhadap Bung Karno, namun tak ada satupun yang berhasil. Sejak rentetan peristiwa itu, masyarakat umum semakin percaya, bahwa Bung Karno sosok yang mempunyai kharisma kuat itu, juga memiliki kasekten. Itulah kenapa diam-diam tombak cacing kanil diidamkan oleh para pecinta tosan aji.
Lalu, benarkah ada hubungannya dengan tongkat komando yang selalu ditentengnya? Tentu saja, tak akan ada jawaban yang pasti.
TANGGUH MATARAM, Kekhasan bentuk tombak cacing kanil terletak pada kerampingan dan lengkung kurva yang menyerupai cacing sedang menggeliat. Cacing kanil terlihat seperti paku baja yang berbengkok atau terpelintir, namun sesungguhnya tidak sesederhana penampakannya. Selain besi dan pamor, pembuatan cacing kanil tetap memakai slorok baja di tengah bilah. Bilah cacing kanil biasanya hanya memakai methuk yang sederhana. Pola pamornya pun jarang menampilkan pola yang rumit karena terbatasnya penampang bidang.
Selain itu, pada tombak cacing kanil yang dulunya dipakai para bangsawan keraton dan keturunannya, sering dijumpai semacam tok/cap/stempel berupa relief cekung mendalam pada area sekitar pangkal bilahnya, yang sebenarnya juga dapat dijumpai dalam tradisi pedang tempa eropa.
Secara visual cacing kanil ini masih tampak sangat utuh, dari bagian bawah pesi hingga ke bagian ujungnya. Jika mencermati bagian ujung tombak ini, terasa sangat tajam, seolah meyakinkan atau dapat diandalkan untuk menembus sela-sela rajutan baja pada baju zirah. Pamornya pun tergurat pada sisi-sisi bilah. Sudah dilengkapi dengan landeyan dan tutup, selayaknya sebuah tombak.
PAMOR ILINING WARIH, atau sering disebut banyu mili secara harfiah berarti air yang mengalir. Merupakan salah satu motif pamor yang bentuk gambarannya menyerupai garis-garis yang membujur dari pangkal bilah hingga ke ujung. Garis-garis pamor itu ada yang utuh, ada yang putus-putus, dan banyak juga yang bercabang. Garis yang berkelok-kelok itu seolah menampilkan kesan mirip gambaran air sedang mengalir. Adalah simbol perjalanan hidup yang dinamis meski penuh dengan ketidakpastian atau hal-hal yang tak terduga.
Meski terhalangi, air selalu bisa mengalir mencari jalannya sendiri dari Gunung (hulu) hingga Samudera (hilir), membasahi daratan kering, menghidupi tempat-tempat yang tandus. Pamor ilining warih dipercaya membawa semangat pembaharuan, keluar dari masa sulit dalam kehidupannya. Tak heran banyak Pecinta keris menggemari keris dengan pamor motif sederhana ini karena tuahnya.
Dialih-rawatkan (dimaharkan) sesuai dengan foto dan deskripsi yang tertera.
Griyokulo Gallery Jl. Teluk Peleng 128A Kompleks TNI AL Rawa Bambu Pasar Minggu Jakarta Selatan
Facebook : Griyo Kulo SMS/Tlp/WA : 0838-7077-6000 Email : admin@griyokulo.com
————————————