Mahar : 4.950,000,– (TERMAHAR) Tn. SI – Jagakarsa, Jakarta Selatan
1. Kode : GKO-380
2. Dhapur : Kebo Teki
3. Pamor : Beras Wutah
4. Tangguh : Pajajaran (Abad XII)
5. Sertifikasi Museum Pusaka No : 922/MP.TMII/VIII/2019
6. Asal-usul Pusaka : Kediri, Jawa Timur
7. Dimensi : panjang bilah 35,5 cm, panjang pesi 6,5 cm, panjang total 40 cm
8. Keterangan Lain : hulu pulasir
ULASAN :
KEBO TEKI, adalah salah satu dhapur keris lurus, panjang keris ini normal; bilahnya pipih agak lebar dibandingkan dengan keris lainnya. Ricikan yang terdapat pada keris ini adalah: gandik-nya agak panjang, kembang kacang (biasanya nguku bimo), jalen, lambe gajah tiga dan greneng.
Pada zaman dahulu keris Kebo Teki banyak dimiliki oleh golongan terhormat seperti para Tuan Tanah (land lord) dan pedagang hasil bumi dan hingga sekarang banyak dicari oleh mereka yang “bermain” dalam dunia property, konstruksi hingga pertambangan karena mereka percaya bahwa Kebo Teki membawa keberuntungan pada mereka yang terlahir memiliki unsur tanah. Bahkan sampai sekarang kepercayaan semacam itu masih bertahan diantara penggemar keris.
FILOSOFI, Kebo (Te)Teki = Kerbau yang sedang menjalani laku teteki atau yang disebut juga dengan ibadah mati raga (bertapa). Secara spiritual “Kebo” sering dipersepsikan sebagai “sosok panuntun”. Sebagai panuntun, kebo dipahami memiliki fisik yang kuat dan besar, rajin bekerja, setia dan kalem (sabar). Di samping itu para orang tua jaman dahulu telah mewarisi kearifan lokal serta tradisi leluhur agraris yang memandang kerbau sebagai “rojokoyo“. Makna terpisah adalah Rojo artinya Raja dan Koyo artinya kaya, yaitu kerbau yang dipahami sebagai “Raja” (untuk mendapat) hasil yang berlipat banyaknya (misalnya dari membajak sawah). Tak heran dari sisi materialistik kerbau memberikan optimisme dalam menjalani hidup.
Segala sesuatu hakikatnya tentu dari Tuhan. Namun, sebagai manusia kita diwajibkan berusaha baik secara lahir maupun batin untuk keluar dari kesulitan. Dalam laku teteki, salah satunya dijalani dengan laku kungkum atau berendam di tempuran (pertemuan) sungai di malam hari. Dipahami sebagai laku pembersihan diri membersihkan dari sengkala (kesialan) kehidupan yang membuat usaha dan cita-cita kita tersendat dan merupakan wujud pertobatan untuk hidup yang lebih baik. Tetapi sebenarnya terdapat kiasan makna yang lebih dalam dari sekedar mandi di sungai. ‘Nempur’ di tempuran sungai bukan berarti aktifitas fisik saja tetapi lebih dari itu bermakna spiritual. Aliran sungai adalah air lambang sumber kehidupan. Sumber kehidupan alam raya ini tak lain dan tidak bukan yang mempunyai hidup. Yang mempunyai hidup adalah Yang Maha Kuasa. Oleh karena itu ‘nempur’ sesungguhnya tidak lain dan tidak bukan menyongsong campur tangan atau ‘pitulungan’ dari Yang Maha Kuasa. Kebo Teki adalah sebuah visi pemiliknya yang ingin mewujudkan kemudahan hidup, keselamatan dunia akherat, dan kemakmuran hingga turunan-turunannya dimana tentu saja dijemput dengan sebuah lelaku (ikhtiar).
HULU PULASIR, bentuk figur hulu kerisnya menyerupai seseorang yang memakai pakaian beratribut lengkap dengan capel atau topi bergaya kumpeni. Istilah pulasir kemungkinan berasal dari kata Vol-opsir (bahasa Belanda dengan lidah Sumenepan). Awalnya adalah karya Kyai Remen seorang mranggi terkenal yang hidup pada abad-19 atas prakarsa Raden Arya Cakradiningrat dari keraton Sumenep. Di lain daerah disebut pula rasogan sordaduh artinya seragam serdadu.
TANGGUH PAJAJARAN, Bilah pusaka ini dapat dikatakan utuh dan prima, meskipun diperkirakan dari era kerajaan Pajajaran Abad XII. Bentuk kembang kacang nguku bimo yang biasa terdapat pada keris kebo teki masih menghias utuh. Demikian pula dengan lambe gajah berjumlah tiga yang merupakan salah satu ricikan pakem dari dhapur kebo tekipun masih sangat jelas terlihat, berbaris rapi dengan jarak teratur di sepanjang gandik (muka). Ricikan greneng yang terdapat pada keris-keris sepuh seringkali dijumpai dalam kondisi aus, namun ini masih tegas tergurat. Besinya yang susah menghitam kerika diwarangi, serta pola beras wutahnya yang kalem dan cenderung nggajih membawa karakter khas Pajajaran. Untuk warangka ladrang surakarta merupakan bawaan sebelumnya beradu manis dengan landhiyan madura model full opsir yang sudah sangat jarang ditemukan. Terlihat vintage dan indah dipandang. Bilah sendiri sudah dijamas dan diwarangi ulang, sehingga panjenengan tinggal menyimpan dan merawatnya saja.
PAMOR BERAS WUTAH, Beras Wutah adalah motif yang cukup familiar di dunia perkerisan, bentuknya didominasi oleh butiran-butiran putih menyerupai beras yang tersebar. Bermakna kiranya sebagai mantra nonverbal, supaya mereka yang memilikinya tidak kurang sandang pangan.
Beras bagi masyarakat agraris, selain untuk melangsungkan hidup dan kehidupannya juga memiliki makna simbolisasi dalam tradisi yang melekat secara turun temurun. Bagi urang Sunda, beras yang menjadi makanan pokok sehari-hari memiliki nilai religius tersendiri. Urang Sunda menganggap beras merupakan penjelmaan Nyi Pohaci Sanghyang Sri (Dewi Sri) yang merupakan lambang kesuburan. Dalam kehidupan sehari-hari, bila makan nasi tidak habis, maka dianggap sebagai sesuatu yang tidak baik. Hal tersebut tercermin dalam satu ungkapan “ulah sok miceunan sangu bisi ceurik“, yang artinya jangan suka membuang-buang nasi, karena nasinya bisa menangis. Secara rasional, pendidikan dini ini memberikan pengajaran moral kepada anak-anak untuk belajar menghargai rezeki atau menghormati sesuatu yang dianggap paling penting dalam kehidupan. Sehingga urang Sunda mempunyai kebiasaan bila pindah rumah, maka barang yang terlebih dahulu dipindahkan adalah pendaringan (tempat beras). Dengan menghargai padi (beras) berarti menghormati kehidupan dan memulyakan Sang Pemberi Hidup.
Dialih-rawatkan (dimaharkan) sesuai dengan foto dan deskripsi yang tertera.
Griyokulo Gallery Jl. Teluk Peleng 128A Kompleks TNI AL Rawa Bambu Pasar Minggu Jakarta Selatan
Facebook : Griyo Kulo SMS/Tlp/WA : 0838-7077-6000 Email : admin@griyokulo.com
————————————