Jaka Waru Ganja Kinatah Padma

10590558_1712292255668741_9142982091114899016_n

Mahar : ?,- (TERMAHAR) Tn. DSH, Semarang


1. Kode : GKO-379
2. Dhapur : Jaka Waru
3. Pamor : Singkir
4. Tangguh : Tuban Mataram (Abad XV)
5. Sertifikasi Museum Pusaka No : 921/MP.TMII/VIII/2019
6. Asal-usul Pusaka :  Jakarta
7. Dimensi : panjang bilah 33,5 cm, panjang pesi 7 cm, panjang total 40,5 cm
8. Keterangan Lain : ganja kinatah bunga padma, warangka dusun


ULASAN :

aku ingin mencintaimu dengan sederhana; dengan kata yang tak sempat diucapkan kayu kepada api yang menjadikannya abu || aku ingin mencintaimu dengan sederhana; dengan isyarat yang tak sempat disampaikan awan kepada hujan yang menjadikannya tiada”

-Sapardi Djoko Damono

JAKA WARU, kadang disebut pula Jaka Wuru adalah salah satu bentuk dhapur keris luk sebelas. Keris ini Gandhiknya lugas, biasanya pada bagian pejetan-nya memanjang dan ri pandan.

FILOSOFI, Jaka dalam bahasa Indonesia berarti Jejaka atau anak muda, Wuru yang dalam bahasa Jawa Krama Inggil berarti mendem (mabuk). Dan ketika sering dilafalkan sebagai waru, yang bentuknya mirip jantung hati merupakan kata kiasan dari kata kasih sayang, maka dhapur Jaka Wuru atau Jaka Wuru berarti “Jejaka yang sedang dimabuk cinta”.

Cinta merupakan sesuatu yang bersifat universal. Artinya, semua manusia bagaimanapun latar belakang dan budayanya tentunya mempunyai penghayatan, pemahaman, persepsi dan wawasan tertentu sekitar cinta.

Dan masyarakat Jawa memiliki tembang Asmaradana yang melukiskan cinta (asmara) yang menyala seperti api (dahana). Salah satu bait tembang asmaradana karya R. Ng. Yasadipura berikut ini, dapat dijadikan tausiyah untuk menggapai hidup berumah tangga yang bahagia.

“Gegaraning wong akrami
Dudu bandha dudu rupa
Amung ati pawitane
Luput pisan kena pisan
Yen gampang luwih gampang
Yen angel, angel kalangkung
Tan kena tinumbas arta”.

Terjemahan dalam bahasa Indonesia dari tembang tersebut adalah sebagai berikut :

“Modal orang membangun rumah tangga
Bukan harta bukan rupa
Hanya hati bekalnya
Gagal sekali, berhasil juga sekali
Jika mudah maka terasa sangat mudah
Jika susah maka terasa sangat susah
Tidak bisa dibeli dengan uang”.

Gegaraning wong akrami” bisa dipahami sebagai bekal utama dalam membangun kehidupan rumah tangga. “Dudu bandha dudu rupa”, bukan harta bukan pula rupa. Jangan sampai memilih jodoh hanya mengandalkan kecantikan wajah, ketampanan, kekayaan, ataupun pertimbangan lain yang sifatnya fisik atau materi.

Amung ati pawitane”, hanya hati bekalnya. Sejak memilih calon pendamping hidup, hendaknya membekali diri dengan hati yang bersih. Jangan tercemari oleh syahwat maupun kenikmatan sesaat, hingga melupakan sisi martabat. Keputusan untuk menikah hendaknya juga diambil dengan niat yang tulus serta motivasi yang lurus.

“Luput pisan kena pisan”. Dalam menapaki rumah tangga hendaklah berhati-hati, karena sekali kita gagal berumah tangga, akan berdampak sepanjang hidup. Demikian pula jika sekali kita berhasil membangun kebahagiaan rumah tangga, buahnya akan bisa langgeng sampai akhir hayat.

Maka sejak dari proses memilih calon pendamping hidup, harus dilakukan dengan kehati-hatian. Karena proses melewati tahun-tahun awal pernikahan, adalah masa penyesuaian yang rumit. Suami dan istri harus berproses secara berhati-hati sampai menemukan chemistry kebahagiaan dalam kehidupan keluarga mereka.

Hidup berumah tangga itu sifatnya “yen gampang luwih gampang”, jika mudah, terasa sedemikian mudah. “Gampang” itu artinya mudah. Melewati hari-hari dalam kehidupan berumah tangga, kadang terasa sedemikian mudah. Semua persoalan mudah diselesaikan, semua konflik mudah diredam, semua perselisihan mudah didamaikan. Kadang suami dan istri terlibat konflik dan pertengkaran, namun jika keduanya memiliki modal berupa hati yang bersih, akan mudah mengalah dan mudah meminta maaf kepada pasangan. Kedua belah pihak justru berlomba untuk mendahului mengakui kesalahan dan meminta maaf kepada pasangan.

Mereka tidak perlu banyak bertanya “ini salah siapa”. Mereka tidak mudah menuduh pasangannya “ini kan salah kamu semua”. Mereka berdua tidak gengsi untuk mengakui kesalahan, tidak malu untuk meminta maaf, tidak sulit untuk memaafkan kesalahan pasangan. Itu bermula dari kondisi hati yang bersih.

Sebaliknya, “yen angel, angel kalangkung”, jika sulit rasanya sedemikian sulit. “Angel” itu artinya sulit, sukar atau susah. Ketika tengah dilanda masalah, tidak ada yang mau mengalah, semua merasa benar dan bersikap menyalahkan pasangan. Keduanya bersikap menuntut dari pasangan, dan tidak memulai kebaikan dari dirinya sendiri. Hati mudah diliputi benci dan dendam, hati mudah terbakar emosi. Setiap pembicaraan selalu berujung kepada salah paham, dan akhirnya meledaklah kemarahan. Setiap saat suami dan istri berada dalam suasana yang tidak nyaman.

Ketika berada dalam situasi seperti itu, artinya hati sudah tidak bersih lagi. Kondisinya sangat sensitif, mudah terbakar, mudah tersulut, mudah terkuasai emosi. Komunikasi sudah tidak akan bisa berjalan dengan efektif, karena semua berusaha memenangkan ego diri. Sekali masuk dalam situasi sulit seperti ini, rasanya akan terus bertambah sulit. Setiap permasalahan sulit menemukan jalan pemecahan. Setiap konflik, tidak mudah berdamai. Ini semua karena tidak memiliki hati yang bersih sebagai modal utama membangun kehidupan berumah tangga.

Jika mau dibuat mudah, maka semua persoalan hidup berumah tangga bisa dijalani dengan mudah. Jika mau dibuat susah, maka semuanya akan selalu bertambah susah. Tidak ada persoalan hidup yang tidak bisa diselesaikan, selama suami dan istri itu mau menyelesaikannya. Yang membuat masalah menjadi mudah, ya nantinya mereka berdua. Yang membuat masalah menjadi susah, ya mereka berdua. Kebahagiaan hidup berumah tangga itu “tan kena tinumbas arta”, tidak bisa dibeli dengan uang atau harta. Ketenangan, kedamaian, kenyamanan hidup berumah tangga tidak akan bisa dibeli dengan harta kekayaan, “tan kena tinumbas arta”. Suasana sakinah, mawaddah wa rahmah tidak akan bisa dibeli dengan harta kekayaan, “tan kena tinumbas arta”. Kekokohan dan ketahanan keluarga tidak akan bisa dibeli dengan harta kekayaan, “tan kena tinumbas arta”.

Perasaan cinta suami kepada istri tidak akan bisa dibeli dengan harta kekayaan, “tan kena tinumbas arta”. Perasaan cinta istri kepada suami tidak akan bisa dibeli dengan harta kekayaan, “tan kena tinumbas arta”. Kesetiaan suami dan istri tidak akan bisa dibeli dengan harta kekayaan, “tan kena tinumbas arta”. Kekompakan suami istri tidak akan bisa dibeli dengan harta kekayaan, “tan kena tinumbas arta”. Keberkahan hidup berumah tangga tidak akan bisa dibeli dengan harta kekayaan, “tan kena tinumbas arta”. Kebaikan dan kesalihan anak-anak tidak akan bisa dibeli dengan harta kekayaan, “tan kena tinumbas arta”.

Maka mulailah dengan kebersihan hati, sebagai modal utama hidup berumah tangga. Dengan hati yang bersih, sebuah perkawinan akan mudah menggapai kebahagiaannnya, mudah menggapai keberkahannya, dan mudah menggapai kondisi sakinah mawaddah wa rahmah.

GANJA KINATAH BUNGA PADMA, Dalam tinjauan arkeologi motif Padma menjulur ke atas dari bonggolnya, yang menghiasi relief candi dan tatakan arca-arca sangat populer pada masa kerajaan Singhasari. Padma adalah sebutan bunga teratai merah dalam bahasa Sanskerta. Akarnya tumbuh menjalar di lumpur, batangnya terendam dalam air, sedangkan daunnya yang lonjong melebar, mengapung di permukaan air dengan bunganya menengadah bersih dari noda lumpur, kelopaknya merekah sempurna ke segala arah. Dia seakan mampu menampilkan segala kebersihannya tanpa dipengaruhi oleh lingkungannya yang kotor. Karakter fisik bunga padma yang sedemikian rupa ini telah lama melahirkan ilham dijadikannya padma sebagai sebagai bunga suci dalam ajaran Hindu dan Budha.

Begitu juga kehidupan kita sebagai manusia. Manusia dilahirkan sebagai makhluk dengan segala kesempurnaan diharapkan bisa menjadi suri tauladan yang baik bagi lingkungannya. Mampu menyesuaikan diri pada lingkungan tanpa terpengaruh lingkungan yang kurang baik. Karena sesuatu yang aslinya indah tidak pernah terpengaruh dengan lingkungan yang tercemar. Ketika keindahan murni terpancar dalam diri, bukan bedak belaka akan mampu memberikan suatu warna keindahan tertentu bagi alam dan lingkungan sekitarnya, seperti bunga Padma.

CATATAN GRIYOKULO, Mungkin saya dan panjenengan seringkali melihat tosan aji yang (sebenarnya) bagus secara garap, namun ditemui dalam kondisi yang tidak utuh lagi. Sangat disayangkan memang, tapi begitulah yang ada karena dalam setiap pusaka sudah pasti menyimpan kisah dan ceritanya masing-masing yang kita tidak tahu bagaimana dalam melewati perjalannya hingga mampu bertahan hingga sekarang.

Seperti keris Jaka Waru atau Jaka Wuru ini, bentuk luknya banyak yang mulai terkorosi, demikian pula pamornya yang dalam beberapa spot area mulai memudar. Tapi dalam segala kekurangannya, masih ada hal lain yang patut disyukuri, yakni kinatah emas bunga padma yang berjajar tiga buah masih rekat menempel untuk bisa dinikmati. Demikian juga bagian pesi yang posisinya agak maju tidak centre di tengah masih tampak panjang dan utuh.

Warangka dan hulu keris yang adapun sudah tidak dalam kondisi terbaiknya. Pada bagian angkup sepertinya pernah patah dan dilakukan perekatan ulang. Juga pada bagian hulunya terdapat retakan memanjang. Begitulah kondisi apa adanya.

Jika kita membayangkan andaikata bentuk luknya yang semakin ke atas semakin rapat masih utuh, berhiaskan pamor singkir yang meliuk-liuk seperti rambut ngore (tergerai) tentu saja penampilan bilah keris ini akan menawan hati mata siapapun yang menatapnya.

PAMOR SINGKIR,  biasanya oleh sebagian pecinta keris digunakan untuk menyebut pamor adeg terutama pada keris ber-luk. Walau sebenarnya Singkir bukan nama pamor, melainkan nama seorang empu yang tidak hanya satu orang dan dari zaman yang berbeda. Misalnya, ada Empu Singkir dari dusun Tapan pada zaman Pajajaran, Empu Ki Singkir Wonoboyo dari zaman Majapahit, Empu Singkir dari Sedayu, dan ada juga Empu Setra Banyu dari zaman Mataram. Selain itu pengertian “Singkir” bisa juga muncul dari para Empu yang dulunya pernah tersingkirkan, disingkirkan atau menyingkirkan diri dari pusat kekuasaan. Kebetulan sebagian besar keris dan tosan aji yang dibuatnya banyak dijumpai menggunakan motif adeg.

Keris/tombak yang dibuat oleh para Empu yang bernama Singkir tadi kemudian dipercaya memiliki fungsi tertentu, seperti menolak geni (api), banyu (air), angin, dan baya (bahaya). Karna public opinion tersebut, kebiasaan sebagian orang lalu menyebutnya dengan pamor singkir, yang mempunyai konotasi untuk menolak halangan atau menyingkirkan hal-hal jelek yang tidak diinginkan (kalis ing sambikolo).

Dialih-rawatkan (dimaharkan) sesuai dengan foto dan deskripsi yang tertera.


Contact Person :

Griyokulo Gallery Jl. Teluk Peleng 128A Kompleks TNI AL Rawa Bambu Pasar Minggu Jakarta Selatan

Facebook : Griyo Kulo SMS/Tlp/WA : 0838-7077-6000 Email : admin@griyokulo.com

————————————

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *