Mahar : 1.950,000,-(TERMAHAR) Tn. RH, Bekasi
1. Kode : GKO-374
2. Dhapur : Wedhung
3. Pamor : Keleng (tanpa pamor)
4. Tangguh : Majapahit (Abad XIII)
5. Sertifikasi Museum Pusaka No : 856/MP.TMII/VII/2019
6. Asal-usul Pusaka : Temuan Sungai Musi, Palembang
7. Dimensi : panjang bilah 10,5 cm, panjang pesi 6 cm, panjang total 16,5 cm
8. Keterangan Lain : temuan
ULASAN :
XVII …Ganggamam sang pandita ma: kala katri, péso raut, péso dongdang, pangot, pakisi. Danawa pina/h/ka dewanya, ja itu paranti kumeureut sagala… – Sanghyang Siksakandang Karesian
… Senjata sang pendeta ialah: kala katri, pisau raut, pisau dongdang, pangot, pakisi. Danawa yang dijadikan dewanya, karena digunakan untuk mengerat segala …
WEDHUNG, adalah salah satu jenis senjata tradisional di Jawa yang dulu merupakan kelengkapan pakaian pejabat keraton tertentu. Bentuknya seperti pisau pendek, agak lebar, ujungnya runcing, sisi depannya panjang, sedangkan pada bagian punggungnya tumpul. Biasanya wedhung dikenakan di samping pinggang pemakai (agak ke arah depan). Tidak seperti keris yang identik menjadi monopoli dari kaum Adam, di keraton wedhung bisa dipakai oleh pria maupun wanita.
Sama halnya keris, nama wedhung sebenarnya bukanlah nama baru. Ditinjau dari sumber data arkelogis istilah mengenai wedhung dan keris dapat dijumpai pada peninggalan prasasti-prasasti kuno mulai abad ke-9 Masehi, antara lain :
- Prasasti Karang Tengah (824 M) merupakan prasasti tertua dari lempengan perungggu asal Karang Tengah yang menyebutkan beberapa sesaji untuk menetapkan Desa Poh sebagai daerah bebas pajak. Sesaji itu antara lain berupa kres, wungkul, tewek punukan wesi penghantap.
- Prasasti Humanding,(875 M) menyebut antara lain : “…. Mas ma 4 wdihan ranga yu 4 wadun 1 rinwas 1 patuk 1 kris 1 lukai 1 twak punkuan 1 landuk 1 lingis…”. Artinya : “…Emas ma pola rangga 4 yu, sebilah wedung, sebilah kapak penebang kayu, sebilah beliung, sebilah keris, sebilah parang, sebilah parang dengan kapak di belakang bilahnya, sebuah cangkul dan sebuah linggis.
- Prasasti Poh (905 M) menyebutkan keris sebagai salah satu perlengkapan sesaji upacara penentapan Sima (daerah perdikan). Isi dari prasasti ini menyebutkan bahwa : “… saji ning manusuk sima wdihan sang hyang brama yu 1 mas ma 1 wdihan sang hyang susuk kalumpang yu 4 mas ma 4 wadung 1 rimwas 1 patupatuk 1 lukai 1 tampilan 1 linggis 4 tatah 1 wangkyul 1 kres…”
- Prasasti Rukam (907 M) mengelompokkan keris sebagai alat atau senjata yang terbuat dari besi. Isi dari prasasti ini menyebut bahwa : “….wsi-wsi prakara, wadung, rimwas, patuk-patuk, lukai, tampilan, linggis, tatah, wangkiul, kres, gulumi, kurumbhagi, pamajba, kampi, dom …” Artinya : segala keperluan yang dibuat dari besi berupa kapak perimbas, beliung, sabit, tampilan, linggis, pahat, mata bajak, keris, tombak, pisau, ketam, kampit, jarum…”
Referensi mengenai wedhung juga bisa ditemukan dalam Serat Bauwarna (1898) yang merupakan salah satu karya besar Ki Wirapustaka (
- Berwujud cengkrong, yang menjadi ageman Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Anom dan para pangeran putra sentana dalem.
- Wedhung dengan pamor dan berkinatah, menjadi ageman patih dalem dan abdi dalem berpangkat wadana kliwon.
- Wedhung polos tanpa pamor hanya besi dan baja saja, menjadi ageman abdi dalem panewu mantri ke bawah.
Selain itu ditulis pula mengenai suh berjumlah tiga (karna umumnya berjumlah empat) yang hanya dikenakan Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Anom. Suh sendiri adalah seperti klem yang terdapat di warangkanya (simpay), yang bisa terbuat dari emas, perak, atau kebanyakan hanya dari rotan.
Dalam catatan-catatan lain, wedhung juga merupakan atribut kelengkapan dari pejabat-pejabat kerajaan, seperti yang ditulis dalam Serat Abdi Dalem Kadipaten (1906) oleh Radèn Mas Arya Puspadiningrat. Pemakaiannya ditulis sebagai berikut :
- Saat menghadap Ingkang Sinuhun seperti dalam acara dhikir Maulud, semua wajib memakai celana dodotan dan menyengkelit wedhung.
- Ketika mengikuti Raja melihat acara balapan atau jalan-jalan, abdi dalem panewu mantri, demang, rangga dan lurah tidak menganggar keris melainkan menyengkelit wedhung.
- Saat ikut dalam rombongan Ingkang Sinuhun berkunjung menghadiri pernikahan, mengunjungi sanak saudara raja, atau rumah anak-anak raja. Para Panewu Mantri, Demang, Rangga, Lurah, Bekel dan Jajar wajib memakai baju sikepan hitam dan kuluk hitam pula dengan sabuk cinde untuk nyengkelit wedhung.
- Saat mengikuti raja jalan-jalan ke loji, para panji memakai pakaian sikepan hijau dan topi laken hijau serta menyengkelit wedhung.
- Abdi dalem Bekel pesinden juga menyengkelit wedhung.
- Selain memakai pedang suduk dan pakaian dinas yang sudah ditentukan, wedhung wajib disengkelit para Panji setiap hari Senen dan Kamis.
FILOSOFI, wedhung yang disengkelit pada dasarnya merupakan simbolisasi dari keikhlasan untuk selalu bekerja keras demi kepentingan yang utama. Masing-masing mempunyai tugas dan kewajiban yang berbeda. Mereka mengabdi pada rajanya dengan landasan filosofis sepi ing pamrih, rame ing gawe.
Ungkapan Sepi Ing Pamrih Rame Ing Gawe ini walaupun secara tersurat seakan-akan kita diperintah bekerja keras tanpa mendapatkan imbalan apa-apa dari yang kita kerjakan, namun sebenarnya makna yang terkandung bukanlah demikian. Maksud dari Sepi Ing Pamrih Rame Ing Gawe adalah ikhlas melaksanakan suatu pekerjaan tanpa mengharap sesuatu. Bukan karena ada udang di balik batu. Atau dalam istilah kekiniannya adalah modus. Tidak ada motif pribadi dalam dirinya kecuali ibadah dan pengabdian kepada raja dan sesama. Jika orang lain kemudian menghargai atau mengapresiasi hasil kerjanya, itu masalah lain.
CATATAN GRIYOKULO, bila dibandingkan dengan bentuk wedhung yang kita kenal sekarang ini mulai dari era demak hingga nom-noman memang tampak berbeda. Perbedaan tersebut salah satunya dapat ditunjukkan melalui bagian pesi yang rata-rata berbentuk segilima dengan sedikit kecondongan (menekuk), sering pula terdapat semacam kelopak (kudhup turi) tepat di bagian bawah pangkal bilah. Selain itu pada bagian sor-soran wedhung umumnya memakai hiasan semacam wideng atau takikan greneng. Sedangkan pola garap yang terdapat pada wedhung ini selain lebih kecil juga sangatlah sederhana, terkesan primitif dan justu lebih mendekati bentuk belati arca siwa bairawa. Sangat mungkin era dari wedhung temuan ini lebih tua daripada yang tertulis dalam sertifikasi.
Wedung ini sudah dibuatkan warangka fungsional dari kayu waru, seratnya ulet dan sangat ringan. Tak salah jika dalam serat kawruh landheyan karya Mas Ngabehi Karya Buntara (bisa dibaca disini), kayu waru merupakan kayu terbaik untuk digunakan sebagai landeyan tombak. Mungkin karena serat kayunya tidaklah sekeren kayu lain (galihnya berwarna ungu, hanya ngeblok lurus saja), dibandingkan kayu timoho yang memunculkan banyak keunikan motif dalam peletnya menjadikannya seolah tidak menarik digunakan. Karena hulu tersisa yang sudah memfosil hancur saat proes pembersihan maka ukiran rajamala dengan model primitifan dipilih menggantikannya. Rajamala adalah ksatria berbentuk raksasa yang sakti mandraguna. Dia tidak akan mati, bila jasadnya dimasukkan kembali ke dalam air, Bila mengalami cedera fisik yang sangat parah, hanya dengan diperciki sedikit air, tubuhnya akan kembali bugar. Mitos inilah yang kemudian diambil spirit-nya.
Dialih-rawatkan (dimaharkan) sesuai dengan foto dan deskripsi yang tertera.
Griyokulo Gallery Jl. Teluk Peleng 128A Kompleks TNI AL Rawa Bambu Pasar Minggu Jakarta Selatan Facebook : Griyo Kulo SMS/Tlp/WA : 0838-7077-6000 Email : admin@griyokulo.com