Cengkrong Eks Sinarasah Emas Lung Terate

10590558_1712292255668741_9142982091114899016_n

Mahar : 4.950,000,- (TERMAHAR) Tn. AP, Senen, Jakarta Pusat


1. Kode : GKO-362
2. Dhapur : Cengkrong
3. Pamor : Adeg Loro (karonsih)
4. Tangguh : Mataram Sultan Agung (Abad XVI)
5. Sertifikasi Museum Pusaka No : 667/MP.TMII/V/2019
6. Asal-usul Pusaka :  Semarang, Jawa Tengah
7. Dimensi : panjang bilah 33,5 cm, panjang pesi 4,2 cm, panjang total 37,7 cm
8. Keterangan Lain : dhapur langka, eks sinarasah emas Lung Terate


ULASAN :

CENGKRONG, bentuknya sangat unik, mudah dibedakan dengan dhapur keris lainnya. Dimana bagian gonjonya terbalik (buntut cecak di depan) sehingga bagian gandik terletak di belakang. Selain itu perawakannya seperti medang suduk (seperti pedang yang agak membengkok). Menurut mitos atau dongeng dhapur Cengkrong pertama kali dibabar oleh Mpu Sarpadewa atas pemrakarsa Prabu Sri Mahapunggung pada tahun Jawa 1062.

FILOSOFI, mengapa keris Cengkrong yang bentuknya seperti perpaduan antara pedang dan keris ini dulunya banyak dipakai para Ulama dalam menyebarkan agama Islam di Nusantara? Ada sebuah dongeng yang bisa dijadikan rujukan tambahan mengenai penciptaan dhapur sengkelat di zaman Majapahit-Demak. Dalam riwayatnya, ada 2 (dua) versi menceritakan; versi pertama bahwa keris dhapur Sengkelat dipesan kepada Mpu Supo oleh Sunan Ampel dan versi kedua dipesan oleh Kanjeng Sunan Kalijaga.

Konon bahan untuk membuat Kyai Sengkelat adalah cis, sebuah besi runcing untuk menggiring onta milik Nabi. Namun sang mpu merasa sayang jika besi tosan aji ini dijadikan pedang (versi kedua = pangot sejenis pisau), maka dibuatlah menjadi sebilah keris luk tiga belas. Sang Sunan menjadi kecewa karena tidak sesuai dengan apa yang dikehendakinya. Menurutnya, keris merupakan budaya Jawa yang berbau Hindu, seharusnya besi itu dijadikan pedang yang lebih cocok dengan budaya Arab, tempat asal agama Islam. Maka oleh Sang Sunan disarankan agar Kyai Sengkelat diserahkan kepada Prabu Brawijaya V. Apakah dongeng tersebut secara tidak langsung turut menginspirasi para Ulama untuk memilih keris agemannya dengan bentuk yang samar (tidak terlalu tampak seperti keris), justru malah seperti pedang yang nafasnya lebih islami?

TANGGUH MATARAM SULTAN AGUNG, Barangkali fase yang dianggap paling mewakili kejayaan pembuatan keris di Jawa adalah semasa Kerajaan Mataram Islam (Sultan Agung). Ketika itu, perkembangan keris, tombak dan pedang berlangsung dengan pesat, baik secara kualitas maupun kuantitas. Pada masa ini banyak dibuat keris-keris ageman berkinatah dalam berbagai motif yang berkualitas bagus, baik motif tumbuhan, binatang, rajah, tulisan Arab dan Jawa, dan sebagainya.

Bahkan Mas Ngabèi Nayawirôngka secara khusus mencatat dalam Bab dhuwung = wêsi aji (1936): “Upami malih dhuwung tangguh Mataram Sultan Agungan, sampun sarwa cocok sadaya titikipun, ananging manawi ganjanipun sêbit luntar lugas lus botên kinatah, punika sanès Mataram iyasan Sultan Agungan, awit namung iyasa dhuwung ingkang gônja sêbit luntar mawi pamor lugas sakawan kagêm panjênêngan dalêm nata. Sasampunipun, abdi dalêm para êmpu botên kalilan damêl dhuwung gônja sêbit luntar mawi pamor lugas, soka dhuwung Mataram Sultan Agungan gônja sêbit luntar tamtu wulung, utawi mawi kinatah mas. Makatên sapanunggilanipun“. Artinya secara garis besar adalah gonjo sebit rontal yang dibuat pada era Mataram Sultan Agung bisa dikatakan tidak ada yang berpamor, atau hanya dua jenis yakni: ganja wulung atau berkinatah emas.

Seni Hiasan Emas, Membahas seni kerajinan emas di Jawa adalah hal yang sangat menarik karena di masa lalu tidak ditemukan tambang-tambang emas di pulau Jawa. Emas-emas yang ada didatangkan dari daerah-daerah penghasil emas di Indonesia seperti Sumatera, Kalimantan dan Sulawesi. Selain itu, emas juga diperoleh dari perdagangan antar negara yakni dari Arab, Cina dan Semenanjung Malaka. Di masa lalu, pusat-pusat kerajinan emas di pulau Jawa ditemukan di daerah Gresik, Kediri dan Trowulan di Jawa bagian Timur. Sedangkan di Jawa bagian Tengah ke Barat terdapat di Wonoboyo, Banyumas, Kotagede dan Cirebon. Namun begitu, tidak ada catatan yang pasti kapan seni menghias emas mulai masuk, berkembang, dan memberi pengaruh pada budaya perkerisan di Indonesia.

Pada bilah keris setidaknya dikenal dua bentuk teknik penghiasan yakni sinarasah dan kinatah. Dalam teknik sinarasah/serasah, permukaan bilah ditoreh sehingga berbentuk alur-alur segi empat sesuai motif yang diinginkan. Kemudian kawat-kawat emas ditempelkan di bagian luar alur-alur ini dan diberi tekanan berupa ketukan-ketukan sehingga sebagian kawat masuk ke dalam alur dan menciptakan ikatan yang sangat kuat dengan logam yang dihias. Hasil dari teknik sinarasah lebih cenderung sebagai bidang hias dua dimensi dibandingkan kinatah yang merupakan seni hias tiga dimensi.

Selain fungsi estetika, juga terdapat fungsi magis dalam penerapan hiasan emas pada sebuah tosan aji. Masyarakat Jawa mempercayai bahwa ilmu kekebalan seseorang dapat hilang/musnah jika berhadapan dengan senjata yang terbuat dari emas. Untuk ‘keperluan’ itu bahkan tentara kumpeni Belanda dahulu juga mempersiapkan emas untuk menghadapi pendekar-pendekar Nusantara yang tak mempan ditembak dengan peluru biasa, seperti dalam legenda si Pitung.

Lung Terate (Padma), Bunga dikenal sebagai simbol keindahan hingga tak jarang para pujangga hingga empu sekalipun mampu menemukan berbagai macam makna tersembunyi tentang kehidupan dalam sebuah tanaman yang dapat kita pelajari. Salah satunya adalah bunga terate. Sejak ribuan tahun lalu, masyarakat Cina/Tiongkok dan India yang beragama Budha, telah menganggap bunga Terate sebagai simbol suatu pencapaian yang sempurna dalam jiwa manusia setelah menempuh proses panjang dalam kehidupan duniawi yang fana.

Tanaman dengan daun hijau yang melonjong lebar dan mengapung hingga seringkali dijadikan pijakan katak melompat ini sering ditemukan di kolam, rawa, atau danau. Bunganya berwarna putih bahkan ada yang merah jambu, dihiasi kelopak cantik menambah keanggunan pada sang bunga. Air yang dijadikan bunga teratai sebagai tempat hidup memang kotor. Dalam kondisi sedemikian kotornya, orang akan menganggap bunga teratai sebagai bunga yang tidak berharga, yang tidak pantas untuk diraih. Akan tetapi, bertolak belakang dengan kenyataan yang ada, tak peduli seberapa keruhnya kolam yang mengitari dan bermacam tumbuhan liar yang tumbuh didekatnya. Keadaan tersebut seolah tak menghalangi bunga terate untuk tetap mekar dengan segala keindahannya. Dia seakan mampu menampilkan kebersihannya tanpa dipengaruhi oleh lingkungannya yang kotor.

Begitu juga kehidupan kita sebagai manusia. Manusia dilahirkan sebagai makhluk dengan segala kesempurnaan diharapkan bisa menjadi suri tauladan yang baik bagi lingkungannya. Mampu menyesuaikan diri pada lingkungan tanpa terpengaruh lingkungan yang kurang baik. Bila hidup di daerah yang kelam (masyarakatnya senang malima; madat, madon, minum, main, maling) maka insan tersebut harus bisa menyadarkan anggota masyarakat yang sesat tadi kembali ke jalan yang benar, jangan sampai malah terjerumus di lembah kekelaman juga. Karena sesuatu yang aslinya indah tidak pernah terpengaruh dengan lingkungan yang tercemar. Ketika keindahan murni terpancar dalam diri, bukan bedak belaka akan mampu memberikan suatu warna keindahan tertentu bagi alam dan lingkungan sekitarnya, seperti bunga Teratai.

PAMOR ADEG LORO, jika pamor adeg berupa satu garis disebut sodo lanang/sodo sakler. Pamor adeg yang berupa tiga garis sering disebut pamor janur sinebit. Maka pamor adeg yang terdiri dari dua garis pamor seperti pada bilah keris Cengkrong ini disebut pamor adeg kembar atau pamor adeg karonsih (ada pula yang menyebut dengan pamor manten rinengga). Pamor adeg yang terdiri dari dua garis pamor tergolong sangat langka dan jarang dijumpai. Tuahnya dipercaya supaya bisa mendapatkan ketentraman lahir dan batin, serta keselamatan dunia dan akhirat.

CATATAN GRIYOKULO, Aura wingit sangat dominan terpancar dari pusaka ini, tidaklah mengherankan jika dulunya dimiliki oleh orang-orang yang berkharisma tinggi. Terlebih tinggalan pamor adeg karonsih yang ada pada bilah hingga ke bagian pesi seolah menambah ‘bobot spiritual’ tersendiri. Bak jamus kalimasada (dua kalimat syahadat), pegangan hidup yang akan selalu dijunjung oleh pemiliknya. Secara keseluruhan bilah masih dalam kondisi original dan terjaga. Sayangnya, hiasan serasah emas lawasan (ngunir bosok) hanya tinggal tersisa sedikit, itupun hanya di bagian wuwungan gonjo. Selebihnya hanya berupa guratan-guratan kalenan yang menggambarkan bunga terate. Untuk warangka yang ada, meski masih dipertahankan aslinya, namun seperti mengiba untuk diganti, karena sudah mulai dimakan usia. Untuk mendak peraknya masih cukup layak dipertahankan. Tidak perlu diwarangi ulang, karena sudah dijamas sebelumnya. Namun di lain sisi memang adapula beberapa orang yang justru lebih menyukai menyimpan dalam kondisi apa adanya selama masih fungsional. Dan itu memang pilihan.

Dialih-rawatkan (dimaharkan) sesuai dengan foto dan deskripsi yang tertera.


Contact Person :

Griyokulo Gallery Jl. Teluk Peleng 128A Kompleks TNI AL Rawa Bambu Pasar Minggu Jakarta Selatan

Facebook : Griyo Kulo SMS/Tlp/WA : 0838-7077-6000 Email : admin@griyokulo.com

————————————

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *