Cengkrong Triwarno TUS

10590558_1712292255668741_9142982091114899016_n

Mahar : 4,950,000,-(TERMAHAR) Tn. AP, Gatsu – Jakarta


1. Kode : GKO-360
2. Dhapur : Cengkrong/Cundrik Pandawa
3. Pamor : Tri Warno (Putri Kinurung, Ilining Warih, dan Beras Wutah)
4. Tangguh : Mataram (Abad XVII)
5. Sertifikasi Museum Pusaka No : 597/MP.TMII/V/2019
6. Asal-usul Pusaka :  Trenggalek, Jawa Timur
7. Dimensi : panjang bilah 30 cm, panjang pesi  5,5 cm, panjang total 35,5 cm
8. Keterangan Lain : dhapur langka, TUS


ULASAN :

CENGKRONG, bentuknya sangat unik, mudah dibedakan dengan dhapur keris lainnya. Dimana bagian gonjonya terbalik (buntut cecak di depan) sehingga bagian gandik terletak di belakang. Selain itu perawakannya seperti medang suduk (agak bengkok). Dalam perkembangannya keris cengkrong selain yang lurus, juga ada yang berluk tiga, lima, sampai sembilan. Misalnya, cengkrong luk tiga dinamakan Cengkrong Jangkung sedangkan yang luk lima disebut Cengkrong/Cundrik Pandawa. Selain memakai luk, ada juga cengkrong yang diberi tambahan ricikan lain, seperti memakai kembang kacang dan jenggot susun.

Menurut mitos atau dongeng dhapur Cengkrong pertama kali dibabar oleh Mpu Sarpadewa atas pemrakarsa Prabu Sri Mahapunggung pada tahun Jawa 1062. Keris dhapur Cengkrong pada zaman dahulu banyak dimiliki oleh para ulama, mubaliq, atau mereka yang menekuni bidang ilmu agama. Salah satu keris pusaka Kraton Yogyakarta berdapur Cengkrong adalah Kanjeng Kyai Harjamulya; warangkanya terbuat dari kayu trembalo gandar iras, pendok blewahan terbuat dari emas, dengan ukiran terbuat dari gading gajah.  Keris ini didapat Sri Sultan Hamengku Buwono II dari “Kangjeng Gubermen” sewaktu Sultan ditawan di Penang. Dan sejak itu pula menjadi milik Keraton Yogyakarta.

FILOSOFI, Melihat Dengan Terbalik. Secara harfiah dalam bahasa Jawa Cengkrong berarti ‘bentuk tangan atau kaki yang bengkok’. Sangat mungkin pula penamaan dhapur cengkrong juga merujuk pada bentuk keris ini yang memang anti mainstream- gonjo terbalik sehingga gandik berada di belakang dan bentuk bilahnya yang membengkok seperti pedang suduk.

Dalam keunikan bentuk dhapur Cengkrong yang gandiknya terbalik, ternyata menyimpan filosofi mendalam. Untuk mendapatkan sudut pandang baru yang lebih utuh (baca: bijak), maka sesekali pandanglah realitas kehidupan dunia ini dengan “cara terbalik”, agar kita sebagai manusia mengerti tentang keseimbangan hidup dan tidak berhenti dalam sebuah pemahaman yang bengkok.

Thinking outside the box’, Jika selama ini kita cenderung melihat dunia hanya dari kacamata kita, sekarang saatnya kita meminjam kacamata orang lain untuk membantu melihat dengan benar. Melihat segala sesuatu dari sudut yang berbeda. Menajamkan apa yang selama ini masih samar. Atau mengaburkan sesuatu yang sebenarnya tidak perlu mendapat fokus berlebih.

Dimulai dari hal paling sederhana; Jika selama ini kita mudah men-cap orang lain ‘salah’, berpikirlah bahwa orang lain juga ada sisi benarnya. Jika selama ini lebih banyak berbicara, maka mulailah untuk belajar mendengar. Jika selama ini selalu ingin cepat-cepat mendapatkan hak, maka mulailah bersabar dengan menjalankan kewajiban.  Dan saat melihat kehidupan kita tampaknya buruk, maka mari segera kita mencari sisi sebaliknya, yaitu sisi positif untuk dapat mengucap syukur.

Terkadang apa yang kita lihat-pun, belum tentu mencerminkan realitas yang sesungguhnya. Mungkin pula sebuah rumah/bangunan yang terlihat megah, belum tentu memiliki pondasi yang kuat. Bahkan mahakarya yang diagung-agungkan sekalipun, belum tentu menyimpan kisah menyenangkan didalamnya. Karena itu, mempercayai, mengagumi, dan mencintai itu jangan sampai berlebihan. Kecuali kecintaan pada Tuhan, karena Dia adalah pencipta kehidupan di dunia ini.

TANGGUH MATARAM, Besinya halus khas mataram. Pada masa ini, besi-besi asal Eropa turut mewarnai perkembangan persenjataan Mataram. Pamor tri warna-nya menyala terang. Dimulai dari bentuk lingkaran putri kinurung pada bagian sor-soran, dilanjutkan dengan ‘semburan’ garis-garis banyu mili/ilining warih yang berpadu-padan dengan bulatan-bulatan kecil dari wos wutah. Sang Empu berusaha memadukan pamor mlumah dengan pamor miring. Ibarat sebuah keindahan dalam balutan doa-doa yang terus terlantunkan.

Bentuk style luk yang agak samar pada keris Cengkrong ini seolah terpengaruh karakter Pasundan, dimana pada bentuk luk keris maupun tombak Pasundan biasanya memang didominasi bentuk yang kemba (samar). Hal ini tentu tidaklah mengherankan, karena hingga saat ini Jawa Barat masih bisa mempertahankan sisi positifnya, yakni ‘garis keras’ dalam segi agama (pengaruh Islam cukup kuat dalam fondasi sosial kultural masyarakatnya).

Sedangkan dari segi tantingan sangat ringan, demikian juga dari segi tintingan sangat nyaring bunyinya apabila disentil dengan ujung jari pertanda matang tempa. Dan apabila kita cermati bentuk ujung pesi keris Cengkrong ini yang bulat seperti bentuk pesi keris pada umumnya (bukan pipih besar), dapat dijadikan salah satu petunjuk jika Cengkrong ini bukan hasil gubahan dari pedang suduk. Secara keseluruhan masih terlihat sangat utuh (TUS), merbawani. Tidaklah mengherankan jika dulunya dhapur-dhapur seperti ini menjadi piyandel orang-orang yang ‘berkharisma’ besar.

PAMOR TRI WARNO, merupakan sebutan pamor pada keris, tombak atau pedang yang sesungguhnya terdiri dari tiga macam bentuk dan nama pamor. Misalnya pada keris Cengkrong ini pada bagian sor-soran terdapat pamor putri kinurung, dilanjutkan dengan ilining warih serta beras wutah.

Keris dengan pamor lebih dari dua seperti ini sangat jarang ditemui, karena dalam proses pembuatannya sang Empu menghadapi tingkat kesulitan yang lebih kompleks dalam menata bahan pamor. Itulah sebabnya, pada umumnya tosan aji dengan pamor triwarna maharnya lebih mahal daripada pamor yang hanya satu jenis.

PUTRI KINURUNG, adalah salah satu motif pamor yang bentuk gambarannya merupakan sebuah danau besar dengan beberapa pulau kecil di tengahnya. Letaknya bisa dimana saja, namun yang ada pada bagian sor-soran seringkali dianggap lebih baik. Sebagai doa dan harapan pemilik pamor ini nantinya selalu dilindungi oleh Yang Maha Kuasa, seperti layaknya seorang puteri yang dikurung (dipingit) oleh seorang raja, untuk dijaga dari segala mara bahaya. Dengan menyebut Kebesaran Nama Tuhan, diharapkan pembawanya bisa terhindar dari mara bahaya (Jw, Winengku siro, kalis ing sambikolo)”.

 

ILINING WARIH, atau sering disebut banyu mili secara harafiah berarti air yang mengalir, merupakan salah satu motif pamor yang bentuk gambarannya menyerupai garis-garis yang membujur dari pangkal bilah hingga ke ujung. Garis-garis pamor itu ada yang utuh, ada yang putus-putus, dan banyak juga yang bercabang. Garis yang berkelok-kelok itu seolah menampilkan kesan mirip gambaran air sedang mengalir. Seperti filosofi air yang selalu mengalir mencari jalannya sendiri dari Gunung (hulu) hingga Samudera (hilir). Dari tempat yang tinggi ke tempat yang lebih rendah, analog dengan sikap rendah hati pada manusia. Ibarat pemimpin, adalah pemimpin yang ikhlas melayani sekaligus membawa manfaat bagi banyak orang di sekitarnya.

BERAS WUTAH, Secara denotasi beras wutah adalah beras yang tumpah, sedangkan secara konotasi dalam pamor beras wutah terkandung rasa ucapan syukur atas berkat rahmat yang telah diberikan oleh Tuhan Semesta Alam. Rasa syukur atas hasil yang diperoleh dari perjuangan panjang memeras keringat, rajin dan tidak pernah menyerah dalam merawat tanaman padi agar menghasilkan produksi panen yang berlimpah. Bukti dari sebuah totalitas nyata seseorang dalam perjuangannya memberikan yang terbaik bagi keluarga, masyarakat sekitar dan rajanya (negerinya).

Bukankah gabungan tiga (3) pamor sederhana yang dahsyat dalam makna, harapan serta doanya?

Dialih-rawatkan (dimaharkan) sesuai dengan foto dan deskripsi yang tertera.


Contact Person :

Griyokulo Gallery Jl. Teluk Peleng 128A Kompleks TNI AL Rawa Bambu Pasar Minggu Jakarta Selatan

Facebook : Griyo Kulo SMS/Tlp/WA : 0838-7077-6000 Email : admin@griyokulo.com

————————————

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *