Mahar : 5.190.000,- (TERMAHAR) Tn. SP, Pulogadung – Jakarta Timur
- Kode : GKO-303
- Dhapur : Karacan Luk 19 (Kalawijan)
- Pamor : Beras Wutah
- Tangguh : Madura(Abad XIX)
- Sertifikasi No : 813/MP.TMII/VII/2018
- Dimensi : panjang bilah 44 cm panjang pesi 7,7 cm, panjang total 51,7 cm
- Asal-usul Pusaka : Kediri, Jawa Timur
- Keterangan Lain : dhapur langka
Ulasan :
KARACAN, menurut Serat Curiga Dhapur, keris Karacan merupakan keris luk 19 yang mempunyai ricikan; sogokan rangkap (depan dan belakang), sekar kacang, jalen, lambe gajah, jenggot, greneng dan randha nunut. Dalam dunia tosan aji, nama karacan memang lebih familiar digunakan untuk menyebut nama salah satu dhapur tombak luk tujuh (7) daripada keris luk sembilan belas (19)-nya.
Dalam Serat Pustakaraja Purwa dikisahkan bersama dengan keris Santan, keris Karacan dibabar pada tahun candra sangkala 521 dengan sengkalan: “ratu kalih gumuling ing tawang” atas dhawuh Prabu Sri Kala yang bertahta di kerajan Purwacarita setelah lamaran untuk putranya Raden Sri Wanda kepada Dewi Kaniraras, putri Prabu Brahma Am Raja kerajaan Gilingwesi ditolak, karena sang putri sudah terlebih dahulu dijodohkan dengan Empu Kanomayasa yang telah memenangi sayembara untuk menyembuhkan sakit-penyakit sang putri. Kemudian Prabu Sri Kala memerintahkan patih Sadhaskara untuk mempersiapkan wadya bala tentara, dan memanggil Empu Sunggata untuk membuat senjata perang yang prayogi. Empu Sunggata pun menyanggupinya dengan membuat beraneka macam dhapur (keris, pedang, tombak). Terdapat dua (2) dhapur keris, yang pertama dinamakan santan, yang kedua dinamakan karacan.
KERIS KALAWIJAN, sebenarnya bukanlah nama dhapur keris tertentu. Kalawijan itu sendiri lebih merupakan klasifikasi/penggolongan untuk keris-keris tertentu (di atas luk 13). Dalam dunia tosan aji istilah yang merujuk kepada kalawijan atau palawijan paling tidak memiliki dua arti: Pertama (yang benar), adalah nama yang diberikan kepada keris-keris yang jumlah luknya lebih dari tiga belas. Walaupun lebih dari 13 jumlah luknya, keris kalawijan juga mempunyai pakem ricikan dan nama dhapur. Yang luknya 15 atau 17, biasanya panjang bilahnya masih normal, tetapi bila jumlah luknya lebih dari 19, ukuran panjang bilahnya hampir selalu lebih panjang daripada keris umumnya. Dan yang kedua (salah kaprah), juga lazim digunakan untuk menyebut keris lurus maupun berluk 3 hingga 13 yang ricikan-nya tidak sesuai pakem atau tidak punya nama dhapurseperti keris-keris kamardikan atau owah-owahan yang “ingin terlihat unik/langka” seringkali “nerjang” pakem untuk mendongkrak nilai/valuenya. Selain pada keris, kalawijan juga terdapat pada tombak dan pedang.
Pada jaman dahulu keraton Surakarta juga memiliki barisan abdi dalem kalawijan. Disebut kalawijan karena memang tidak biasa. Atau jika dibahasakan yang lebih halus mempunyai kondisi fisik yang berbeda dengan orang-orang pada umumnya. Abdi-abdi dalem yang terlahir dalam kekurang-beruntungan atau keterbatasan fisik, seperti bucu (terlahir punggungnya bongkok), wujil cecebolan (orang cebol), bule (albino), jangkung (raksasa) dan yang memiliki ciri fisik berbeda lain, mereka ini memang sengaja disantuni (dipelihara) oleh kerajaan. Raja percaya jika ia memberi kehidupan kepada mereka (abdi kalawijan) akan mendatangkan keberuntungan khusus dan nasib yang baik. Karena bahwasanya Tuhan juga Maha Adil, jika seseorang diberikan keterbatasan/kekurangan maka Tuhan juga akan memberikan kelebihan dalam bentuk yang lain. Orang-orang kalawijan pada masa kolonial dalam jawa keseharian tidak hanya menunjuk kekurangan-kekurangan fisik yang ada, namun juga merujuk kepada orang-orang yang memiliki bakat khusus, seperti; pelukis, seniman, penari, penabuh gamelan dan lain sebagainya.
FILOSOFI, Secara arti harfiah Penulis masih belum mengetahui arti sebernarnya dari Karacan. Begitu pula jika kita membuka buku Keris Jawa Antara Mistik dan Nalar karangan Alm. Haryono Haryo Guritno, bersama dengan dhapur Ngamper Buntala merupakan sedikit dari nama dhapur keris yang setidaknya belum diketahui artinya.
Luk Sembilan Belas (19), Angka dan bilangan biasanya digunakan sebagai bahasa untuk menyebutkan tentang jumlah ukuran dan yang lainnya. Salah satu penyebutan angka dan bilangan yang tergolong unik adalah yang dimiliki oleh masyarakat Jawa. Mengapa begitu? Hal tersebut lantaran orang Jawa “menyelipkan” pesan moral dan tuntunan hidup yang baik bahkan pada bilangan angkanya.
Seperti angka 19 yang merupakan perpaduan dari angka 1 dan angka 9. Angka 1 (siji), dari kata isine aji, tetapi bukan untuk barang-barang berharga seperti mas berlian, tetapi ajining diri, ada pada orang-orang yang baik pribadinya, yang akan dihormati oleh sesama, maka dari itu angka satu itu bersemayam pada Gusti yang berasal dari kata bagusing ati. Sedangkan Angka 9 (songo), dari kata songsong agung, merujuk manusia yang sudah selesai menjalani laku tirakat, karena kedekatan dengan Gusti-nya akan diangkat derajadnya dan diberikan baginya songsong agung (mahkota kemuliaan).
SEJARAH EMPU-EMPU MADURA, Dalam buku “Pengertian Tentang keris di Pulau Madura, karya Zainalfattah, yang diterbitkan tahun 1952, oleh Pertjetakan Pers Nasional, Surabaya mencatat; menurut legenda orang Madura, empu keris tertua di pulau ini adalah Empu Nepa yang membuka besalen di Desa Ketapang, Sampang. Empu Nepa ini hidup mengabdi kepada penguasa pertama Madura yang bernama Raden Sagoro atau Tumenggung Gemet.
Konon pula berdasarkan cerita tutur yang disampaikan orang tua dahulu kala pada masa pertengahan Majapahit hidup seorang Empu terkenal bernama Buyut Majapahit. Empu Buyut Majapahit gemar berkelana dengan ditemani oleh para pandenya, antara lain ke daerah-daerah di Pulau Madura. Salah satu pandenya bernama Buyut Palengghijan membuka besalennya sendiri, di daerah Kawedanan Kedungdung, Sampang. Buyut Majapahit pun kemudian menetap di pulau kecil di sebelah timur pulau Madura, yaitu Pulau Poteran, atau disebut juga Pulau Tlango, atau Gapurana. Empu senior ini menetap di pulau tersebut hingga akhir hayatnya, dan dimakamkan di Desa Kombang di pulau kecil tersebut.
Empu lain yang terkenal di Madura adalah Empu Pekandangan, yang merupakan bapak angkat Jokotole, tokoh legendaris Madura yang menjadi Raja Sumenep ke-13, bergelar Pangeran Secodiningrat III (1415-1460). Seorang Empu keris yang juga terkenal, berdiam di Pamekasan adalah Empu Keleng Pademayu. Empu lainnya yang juga tersohor adalah Empu Supo, yang merupakan Empu terhebat di zamannya. Suatu hari dia diutus untuk mencari pusaka Majapahit yang hilang. Setelah sekian lama mendapat keyakinan bahwa pusaka yang dicarinya berada di luar Jawa, maka menyeberanglah ia ke pulau Madura, dan menetap di Kampung Bara Tamba, Bangkalan. Di sana, dia menamakan dirinya Kiai Brojoguno. Di desa ini, menyebarkan ilmunya membuat keris dan alat-alat pertanian. Merasa masih tak beroleh info yang pasti, Empu Supo ini kemudian hijrah lagi dan menetap di desa Tonjung, Bangkalan. Kembali Empu musafir ini mengajar penduduk setempat cara-cara membuat peralatan dari besi dan keris. Empu Supo kemudian pindah lagi ke Desa Gera Manjeng, Pamekasan. Di desa ini dia menamakan dirinya, Kiai Koso. Di Pamekasan ini pula, Mpu Supo menurunkan dua putera, yang nantinya juga menjadi Empu keris, bernama Mpu Masana dan Empu Citronolo. Kabarnya keris-keris Koso yang dibabar di Gera Manjeng, rata-rata terkenal sebagai keris yang ampuh dan sakti. Empu Koso juga mempunyai sahabat seorang Empu keris yang hebat, bernama Empu Ki Dukun, yang tinggal di Desa Barurambat. Kedua sahabat ini sering menempa keris dalam satu besalen. Oleh karenanya dari desa ini lahirlah keris-keris yang terkenal dengan sebutan keris Koso Madura dan keris Barurambat, yang rata-rata berupa keris-keris tak hanya indah namun juga ampuh. Empu Supo kemudian berpindah lagi, dan kali ini menentap di Desa Banyu Ayu, Sumenep. Di sini Empu Supo juga ditemani oleh sahabatnya, Kia Bromo, yang juga seorang empu keris dari Desa Pandeyan. Namun tak berapa lama, Empu Supo juga pindah lagi ke Desa Karang Duwa. Keris-keris karya Empu Supo di Banyu Ayu sering disebut keris Koso Banyu Ayu, sedangkan yang dibuat diKarang Duwa terkenal dengan keris Koso Yudagati. Sedangkan keris-keris karya Kiai Bromo disebut Keris Brama Bato. Di Sumenep, Empu Supo tinggal agak lama, yaitu ketika menetap di Desa Barungbung. Di sini, sang Empu membentuk keluarga baru, sehingga memiliki keturunan banyak, serta banyak murid-murid pandai. Maka keilmuan Empu Supo semakin menyebar luas dari Desa Barungbung hingga seluruh wilayah Sumenep.
Setelah pengembaraan Empu Supo di pulau Madura itu, banyak sekali empu-empu keris yang menyebar di wilayah Madura. Sebut saja Empu Bira yang berdomosili di Desa Bira, Ketapang, Sampang. Empu Chatib Omben dari Desa Omben, Sampang. Empu Combi dari Desa Combi Kedungdung, Sampang. Empu Blega di Desa Blega, Bangkalan. Dan masih ada nama empu keris lain, seperti Empu Pakong, Empu Blumbungan, Empu Pangolo Begandan, Empu Tambak Agung, dan Empu Ario Pacinan.
Selain itu ada juga empu-empu keris yang berasal dari kaum bangsawan. Seperti Empu Ki Ario Minak Sunoyo anak dari Ario Damar dari Palembang, yang tinggal di keratonnya Proppo, Pamekasan. Karya-karyanya dikenal sebagai keris tanguh Sumenep Adiningrat. Juga diketahui bahwa Sultan Pakunotoningrat di Sumenep juga cukup piawai membuat keris. Namun dari kaum bangsawan kesemuanya yang paling terkenal membuat keris adalah Panembahan Sumolo. Dia adalah ayah dari Sultan Pakunotoningrat, dan ketika menjadi Adipati Sumenep bergelar Pangeran Notokusomo I (1762-1811).
Dengan panjang bilah 44 cm serta luk-nya yang berjumlah sembilan belas (19) tentu menjadikannya tampil lebih birawa (besar dan dan panjang) dibandingkan keris-keris Jawa pada umumnya. Keris-keris Jawa pada umumnya rata-rata memiliki ukuran panjang bilah kurang dari 38 cm, dan untuk keris yang panjangnya lebih dari 40 cm, seringkali disebut sebagai keris corok. Oleh sebagain pecinta keris, keris-keris yang tergolong keris corok diyakini mempunyai esoteri atau power yang lebih dibandingkan keris normal. Energinya dipercaya dapat menambah keberanian, wibawa dan keselamatan, karena dipercaya dibabar melalui kondisi tertentu/kebutuhan khusus.
bentuk sekar kacang gula milir
Pada keris kalawijan ini sor-soran-nya agak kaku dengan bentuk kembang kacang gula milir (bentuk yang melengkung ke dalam menyerupai air gula dalam proses membeku) yang banyak ditemui di keris Madura Sepuh. Besinya ngrasak, angker menampilkan kesan galak dengan karakter luk semakin merapat di atas dengan ada-ada yang tegas hingga ke ujung bilah. Begitupun condong leleh-nya tampak sangat tegak, menampilkan karakter surya (kewibawan/kedudukan/kekuasaan). Untuk pamornya agak keruh dan ngambang, walau begitu mengelompok rapi seperti keris mataraman dimana tidak ada bagian pamornya nerjang landhep. Selain itu tantingan-nya termasuk ringan untuk ukuran bilah sepanjang 44 cm, yang susah didapatkan pada keris-keris baru. Oleh karenanya sebagian orang menangguhnya dengan keris Amangkuratan. Yang sedikit mengganggu mata mungkin ada pada warangka sandang walikat dusun, yang tampil apa adanya. Bisa dilakukan pergantian sandangan nantinya.
PAMOR BERAS WUTAH, Beras dalam tradisi agraris seperti Indonesia merupakan tanaman unggulan, walaupun ada sebagian kecil daerah lain masih mengandalkan tanaman yang lain. Motif pamor beras wutah tidak hanya menggambarkan masyarakat agraris tetapi juga melambangkan kemakmuran, kehidupan dan rezeki yang melimpah. Padi/beras sering dipakai pula untuk menggambarkan masa makmur, yang dikontraskan dengan ketela atau gaplek yang identik dengan masa-masa susah (paceklik).
Dialih-rawatkan (dimaharkan) sesuai dengan foto dan deskripsi yang tertera.
Griyokulo Gallery Jl. Teluk Peleng 128A Kompleks TNI AL Rawa Bambu Pasar Minggu Jakarta Selatan
Facebook : Griyo Kulo SMS/Tlp/WA : 0838-7077-6000 Pin BB : D403E3C3 Email : admin@griyokulo.com