Mahar : 18.888.888,-(TERMAHAR) Tn. RHK, Sukorambi – Jember
- Kode : GKO-295
- Dhapur : Tilam Upih
- Pamor : Udan Mas
- Tangguh : Tuban (Abad XVI)
- Sertifikasi No : 768/MP.TMII/VII/2018
- Dimensi : panjang bilah 33,5 cm panjang pesi 6 cm , panjang total 39,5, cm
- Asal-usul Pusaka : klangenan
- Keterangan Lain : Kolektor Item
Ulasan :
PAMOR UDAN MAS, merupakan salah satu motif pamor legendaris yang sangat terkenal dalam dunia perkerisan, tidak hanya di pulau Jawa tetapi di daerah-daerah lain, termasuk Malaysia hingga Brunai Darussalam. Pamor ini sering dianggap sebagai pamor sugih yang tuahnya dapat membuat pemiliknya terus “diguyur” rezeki deras. Orang jawa menamakannya kuwat kebandan (bakat kaya). Karena adanya kepercayaan semacam itu, banyak orang terutama mereka yang berprofesi sebagai pedagang dan pengusaha ingin memiliki keris, tombak atau pedang yang berpamor udan mas, terutama tangguh Pajajaran dan Tuban.Selain faktor esoteri, dari sisi teknis penggarapan yang tidak mudah serta hukum ekonomi (kelangkaan pasar) ikut berpengaruh, menjadikan nilai mas kawin pamor udan mas paling tinggi dibandingkan motif pamor dengan pola dasar bulatan lainnya (bonang rinenteng, sekar kopi, melati sinebar dsb) sehingga banyak muncul udan mas palsu/susulan.
Secara khusus pamor udan mas mempunyai ciri-ciri motif gambaran pamor seperti titik-titik hujan yang jatuh pada genangan air, paling tidak dalam satu titik terdiri dari tiga lingkaran bersusun, semakin banyak semakin menunjukan mutu garap, pola tetesan air hujan itu membentuk formasi tertentu 212. Antar bulatan itu ada jeda atau ruang sela dan menyebar konsisten di sepanjang bilah, sehingga secara keseluruhan pamor ini memang memiliki desain estetika yang indah.
Dari segi pembuatannya pamor udan mas merupakan jenis pamor rekan (rekaan) yang sengaja dibuat dan didesain sejak awal. Pamor udan mas bisa dibedakan menjadi dua tipe. Yang pertama pamor udan mas yang di-drip pada saat bilah sudah keadaan dingin (drip dingin). Motif puserannya tampak halus lebih rapi dan teratur. Sedangkan jenis yang kedua adalah pamor udan mas yang dibuat ketika keadaan bilah masih merah membara (drip panas). Yang menarik, jenis udan mas drip panas ternyata dinilai jauh lebih berkualitas dibandingkan udan mas drip dingin dan lebih banyak diminati oleh kalangan perkerisan, karena lebih mengutamakan kebebasan ekspresi dari sang Empu untuk dapat dirasakan sehingga nilai mas kawinnya di atas udan mas drip dingin.
perbedaan udan mas drip panas dan drip dingin
Pamor udan mas biasanya menempati bilah lurus dengan penampang bilah agak rata (tipis). Khususnya keris berdhapur Tilam Upih, Tilam Sari, Brojol dan Jalak Sangu Tumpeng. Pamor ini tidak pemilih artinya siapapun akan cocok memilikinya.
FILOSOFI, Udan = Hujan, Mas = Emas, secara harafiah berarti “hujan emas”, sebagai lambang kekayaan, kemakmuran dan moral yang luhur. Maknanya adalah sabda dadi, yang artinya berharap semua keinginan yang dihasilkan dari hati atau jiwa yang bening bakal terwujud.
Laksana hujan yang menjadi bentuk anugerah dan cinta Yang Maha Kuasa kepada segala makhluk di bumi. Melalui Langit Tuhan mengirimkan surat cinta dalam bentuk rintik-rintik air yang memberi kesejukan, kehidupan, kesejahteraan serta membawa spirit dan harapan baru. Hujan rela mengorbankan diri mereka untuk jatuh ke bawah, demi menyuburkan tanah. Meskipun ia tidak pernah mendapatkan balasan, hujan tidak pernah merasa jera untuk selalu menetes dan membantu bumi. Hal ini menjadi pengingat setiap hari akan kasih dan pengorbanan orang tua beserta semua keluarga atau orang terdekat yang telah memberikan yang terbaik dengan keikhlasan.
Emas adalah logam mulia, disebut demikian karena selain memiliki nilai ekonomis yang sangat tinggi juga memiliki sifat ketahanan akan oksidasi maupun korosi (tidak reaktif). Jika hujan berasal dari langit dan emas ada pada bumi, kita bisa belajar bahwa cinta bukan sekadar kata-kata, tapi cinta adalah aksi tindakan nyata. Jika hujan saja berkehendak menjadi berkat bagi segenap makhluk, apalagi manusia sebagai makhluk paling sempurna? Karena segala sesuatu yang kita lakukan di dunia ini, telah disaksikan oleh sang pencipta. Maka idealnya, jika manusia menjadi emas, dengan segenap kemampuannya menjadi yang terbaik sebagai perhiasan dunia. Menjadi pribadi tangguh, bersabar saat dalam keadaan dibawah, kuat ditempa melalui panas dalam masa-masa sulit, karena mereka ingin murni dan berkembang menjadi pribadi yang lebih baik dari sebelumnya. Juga menjalani dharma untuk saling membahagiakan sesamanya, menghargai sesama makhluk ciptaanNya, juga tidak lupa untuk selalu menyembah Tuhannya, itu tanda emas hati tak luntur. Karna makna emas dalam diri sesungguhnya bukan terletak pada seberapa bernilainya diri kita, tetapi seberapa besar bermanfaatnya kita bagi orang lain.
pola udan mas 212 tampak nyutra, walau kenyataannya jika diraba rata permukaannya
Pola puseran 212, sebuah konsep Pancapat, kepercayaan masyarakat Jawa terkait dengan falsafah Kiblat Papat Lima Pancer, yang mana ada empat penjuru mata angin yang memiliki satu pusat di tengah empat penjuru tersebut. Pancapat adalah sebuah konsep yang terus berkembang dari jaman pra Islam maupun sesudah Islam yang merupakan falsafah kehidupan, agama hingga mengarah pada peraturan kenegaraan, politik, ekonomi, dan sebagainya.
- Sedulur Papat Lima Pancer, Kakang Kawah Adi Ari-ari, merupakan suatu pandangan hidup tradisional Jawa, dimana ketika bayi (pancer) dilahirkan akan selalu bersamaan dengan empat saudara kembarnya, yang berwujud air ketuban, ari-ari (plasenta), darah merah dan puput puser (tali pusar). Orang Jawa Percaya bahwa “empat saudara” yang lahir bersama ini tetap menemani diri manusia hingga ke liang lahat. Konsep ini mengungkapkan manifestasi dari keyakinan adanya momongan (perlindungan). Momongan dari kata di-emong atau diasuh. Yaitu oleh saudara gaib berupa energi imajiner dari air ketuban, darah, ari-ari dan puser yang sebenarnya secara fisik telah dikubur dalam tanah jauh hari setelah kita lahir. Momongan ini dapat dibangkitkan secara imajinatif menjadi kekuatan supranatural. Nalarnya adalah merupakan penyatuan antara gaib diluar diri kita yang diimajinasikan sebagai momongan (sedulur papat) dengan pusatnya aku. Dimana aku secara Keillahian adalah Nur Cahyaning Urip (Nur Ilahi).
- Sebelum hadirnya agama Islam, orang Jawa tidak memahami konsep malaikat. Masuknya agama Islam yang kaya akan aspek kebatinan (tasawuf) sangatlah tepat. Orang Jawa pun tidak kebingungan menyebut malaikat penjaga manusia dengan pemahaman sedulur papat. Sedulur Papat adalah sebutan bagi Para Malaikat yang menjaga manusia, yakni: Malaikat Jibril (yang mendampingi, sehingga dianugerahi kekuatan iman, sampai tebal keyakinannya), Malaikat Izroil (menjaga kesucian hati), Malaikat Isrofil ( menjadi penyuluh, yang menerangi kalbu), dan Malaikat Mikail (mencukupi sandhang, serta pangan sehingga memenuhi kebutuhan, sabar dan ikhlas menerima keadaan).
- Kiblat Papat Lima Pancer juga melambangkan empat kiblat dan lima pancer atau yang dimaksud arah mata angin, yaitu Timur, Utara, Selatan, Barat dan lima pancernya dimana kita sendiri berpijak. Karena didalam mengarungi kehidupan kita akan menghadapi 4 (empat) nafsu; Nafsu Amarah, Nafsu Lawwamah, Nafsu Supiah, dan Nafsu Muthmainah.
- Catatan tentang politik pemerintahan pada zaman Mataram, dimana pemerintahan negara dibagi dalam empat wilayah, yakni Kutanagara, Negaragung, Mancanegara, dan Pesisiran, dengan Keraton sebagai pusat pemerintahan.
GONJO SUMBERAN, adalah pamor yang terletak di bagian gonjo. Bentuknya berupa bulatan berlapis-lapis, paling sedikit tiga lapisan. Hampir serupa dengan pamor winih, pada pamor sumber jumlah bulatan-bulatan yang mirip mata kayu tersebut biasnya berjumlah empat hingga enam buah puseran. Pamor sumber tergolong sangat baik dan banyak sekali dicari orang, karena dipercaya dapat membantu mendatangkan rezeki bak sumber/mata air yang tidak pernah kering, terus mengalir.
tidak sembarangan Empu sanggup membuat teknik gedhigan pada gonjo sumberan
TANGGUH TUBAN, Menilik riwayat masa lampaunya Tuban memang sebuah kota tua yang sempat mengalami fase timbul tenggelam dalam perjalanan sejarahnya. Letak geografisnya yang sangat menguntungkan, merupakan modal utama untuk berkembang sebagai kota pelabuhan. Jalan yang memotong dan mudah ditempuh dengan melalui darat menuju ke selatan, zaman dahulu telah menjadikan Tuban pintu gerbang bagi daerah hulu sungai-sungai besar di Jawa Timur, seperti Bengawan Solo dan Brantas. Yang pasti ialah bahwa kedua sungai besar ini, yang menghubungkan timur, barat, dan selatan, benar-benar merupakan faktor yang sangat penting baik secara politik, ekonomi, dan sosial di Jawa Timur dan Jawa Tengah.
Pada masa Majapahit (abad ke 15), Tuban pernah mencapai masa keemasannya sebagai kota pelabuhan utama bagi kerajaan besar ini. Laporan Ma Huan yang mengiringi Cheng Ho dalam pelayaran ke 3 (1413-1415), mencatat bahwa jika orang Cina pergi ke Jawa, kapal-kapal lebih dulu sampai ke Tuban, baru kemudian meneruskan perjalanannya ke Gresik, kemudian dilanjutkan ke Surabaya, baru dari sana menuju ke pusat kerajaan Majapahit (di daerah sekitar Mojokerto sekarang) dengan memakai perahu kecil lewat sungai Brantas. Dari sumber Cina yang lain, dikatakan bahwa dua orang komandan tentara Mongol (dinasti Yuan 1279 – 1368) yang bernama Shi Phi dan Kau Shing (1292) mendarat di Tuban dalam ekspedisinya ke Jawa.
Mas Ngabehi Wirasoekadga dalam bukunya ‘Serat Panangguhing Duwung‘, salah seorang abdi dalem mantri pande di Surakarta Hadiningrat, mencatat beberapa empu tangguh Tuban dimana diantaranya; Empu Ki Panekti, Empu Ki Soeratman, Empu Ki Modin, Empu Ki Galatia, Empu Ki Bekel Jati, Empu Ki Supadriya, dan Empu Ni Mbok Sombro.
Jimat Ngucap Pusaka Kandha, rasanya tanpa harus banyak kata, keris ini akan mampu menunjukkan ke-pusaka-annya sendiri. Sedari awal memang sudah diniatkan baik dari pemilik pertama maupun sang Empu untuk membabar pusaka udan mas. Bukan owahan dari pamor wos wutah atau pedaringan kebak yang di drip di titik-titik tertentu untuk diibah menjadi keris udan mas. Terlebih pola udan mas-nya mengelompok rapi dengan pola 212, puserannya juga wijang (renggang), berbeda “kelas” dari udan mas umumnya yang satu titik bulatan terdiri dari 3-4 lingkaran penyusun, melainkan 7-9 lingkaran terdapat pada bilah ini. Teknik gedhig “drip panas” di atas bilah yang tidak tebal memerlukan skill khusus dan teknik tersendiri agar pamor tidak tembus dan kodokannya tidak melengkung.
pola garis dan bulatan yang termasuk rapi dan wijang
Besi pada pusaka ini juga dipastikan dipilih dari material terbaik dan ditempa dengan passion yang mendalam dari sang Empu. Warnanya hitam kebiruan, rabaan halus dengan serat besi yang sangat-sangat rapat. Hal ini bisa dibuktikan jika kita memberi minyak terlalu berlebihan pada pusaka ini, akan tampak mruntus (titik-titik bergerombol seperti keringat) seolah minyak yang ada tak sanggup untuk menembus pori besi.
Keistimewaan lain dari pusaka ini adalah menyertakan tetenger (tanda) berupa pamor sumberan (gedhigan) pada gonjo bagian bawah, tetenger yang sama halnya dijumpai pada keris yang dipercayai buatan Empu Dalem Keraton seperti Mpu Brojoguno/Mangkubumen. Gonjo sumberan merupakan salah satu kriteria udan mas yang dianggap garap.
tampak percaya diri dengan sedikit menyebulkan bagian wuwungan gonjo
Dialih-rawatkan (dimaharkan) sesuai dengan foto dan deskripsi yang tertera.
Griyokulo Gallery Jl. Teluk Peleng 128A Kompleks TNI AL Rawa Bambu Pasar Minggu Jakarta Selatan
Facebook : Griyo Kulo SMS/Tlp/WA : 0838-7077-6000 Pin BB : D403E3C3 Email : admin@griyokulo.com
————————————