Paksi Naga Liman

10590558_1712292255668741_9142982091114899016_n

Mahar : ?,- (TERMAHAR) Tn. J Bandung


 
  1. Kode : GKO-256
  2. Dhapur : Paksi Naga Liman (Kiai Pangijab)
  3. Pamor : Beras Wutah
  4. Tangguh : Madura Sepuh (Cirebon?) Abad XVII
  5. Sertifikasi No :  59/MP.TMII/I/2018
  6. Asal-usul Pusaka : Rawatan/Warisan Turun Temurun
  7. Keterangan Lain : Serasah Emas, Kolektor Item, Warangka sedikit berlubang di dekat pendok

  Ulasan :
 

PAKSI NAGA LIMAN, dalam sejarahnya paksi naga liman merupakan seekor hewan keramat yang merupakan gabungan tiga hewan sekaligus, yakni Paksi (Burung Garuda), Naga (Ular Besar) dan Liman (Gajah). Ketiga binatang yang memiliki kekuatan maha besar apabila dipadukan maka akan mempunyai kekuatan yang lebih dahsyat lagi. Dibalik kemegahan namanya tersimpan pesan adiluhung dan sarat makna. Kata Paksi yang artinya badan bersayap adalah burung atau bouraq, berisi pesan atau simbol bahwa unsur Islam pertama diturunkan di Timur Tengah dan menunjukkan hubungan dimana ayahanda Sunan Gunung Jati adalah raja Mesir, Syarif Abdullah. Kemudian Naga atau liong yang telah mahfum sebagai simbolisasi atas negeri Tiongkok (Cina) dan kandungan anasir Budha juga menunjukkan bahwa salah satu istri Sunan Kalijaga berasal dari China, yaitu Ong Tien Nio alias Rara Sumanding. Selanjutnya Liman (belalai) adalah gajah simbol Ganesha sebagai putra Dewa Syiwa dari negeri Hindustan (India) yang juga membawa pengaruh unsur Hindu. Bahkan, berkembang penafsiran atas makna Paksi Naga Liman yang mengisyaratkan kejayaan kedaulatan secara menyeluruh. Burung penjaga kedaulatan di udara (Jaya Dirgantara) , Naga penjaga kedaulatan laut (Jaya Bahari) dan Gajah penjaga kedaulatan di darat (Jaya Bhumi).

TANGGUH CIREBON, paksi naga liman biasanya lekat dikaitkan dengan cirebon dan daerah sekitarnya, walaupun di kota lain (seperti di Kutai disebut Lembuswana) juga ada. Proses asimilasi atau pertukaran budaya serta tradisi religius tidak terlepas dari kondisi kota dan wilayah Cirebon sendiri. Kota dan wilayah Cirebon terletak di pesisir utara Jawa yang membuat pelabuhannya ramai dikunjungi para pedagang baik dari sekitar pulau-pulau di Nusantara dan Eropa. Dan terutama sejak Sunan Gunung Jati menyebarkan agama Islam di Cirebon pada abad ke-16. Menurut para budayawan, sejarahnya berawal ketika Pelabuhan Muara Jati (kini disebut Cirebon) dijadikan tempat persinggahan para pedagang asing seperti dari Tiongkok, Arab, Persia dan India. Masuknya para pedagang asing ini kemudian menciptakan asimilasi dan akulturasi beragam budaya dan menghasilkan banyak budaya baru.

Di tatar pasundan sendiri sampai saat ini masih terdapat identitas kebesaran berupa kereta kencana yang ditarik empat ekor kerbau albino terinspirasi dari kendaraan perang Bhatara Indra menggambarkan bukti asimilasi dari tiga budaya besar tersebut. Di keraton Kasepuhan bernama Singa Barong, keraton Kanoman adalah Paksi Naga Liman dan di sumedang namanya Paksi Naga. Konsep raja atau sultan sebagai penguasa dan pengayom bagi semesta alam diwujudkan dalam kereta-kereta kebesaran tersebut. Maka dapat dikonotasikan gabungan ketiganya pertanda bahwa si penunggang (Raja/Sultan) adalah tokoh sentral penyeimbang yang mampu mengendalikan setiap unsur kehidupan apa pun, dimana pun.

FILOSOFI, pada bagian gandik (muka), terdapat ganan (stilasi makhluk hidup) berupa gajah mengenakan kelengkapan topong (mahkota), sumping (hiasan telinga) dan kalung. Lekukan sekar kacang-nya mencerminkan belalai sang gajah itu sendiri, dengan bentuk jalen dan lambe gajah yang dibuat lebih besar dari rata-rata ricikan keris pada umumnya seolah menggambarkan kalung leher dan dada yang tegap penuh percaya diri menambah aura kegagahan seorang kesatriya. Tak ketinggalan bola mata yang terpahat samar namun ‘hidup’ mengisi jiwa pusaka ini. Bentuk yang tidak umum ini justru menjelaskan bahwa keris ini memang dari awal dibabar atau disiapkan untuk dhapur ganan, bukan sengaja dari dhapur biasa untuk kemudian disusulkan atau diowahi menjadi dhapur baru untuk tujuan tertentu.

Mahkota adalah sebagai simbol seorang Raja/pemimpin karena raja tanpa mahkota tentu bukan seorang Raja. Sumping sebagai hiasan telinga dimaknai bahwa sebagai seorang raja/pemimpin harus memiliki ketajaman pendengaran dan memiliah dari apa yang ia dengar. Ketajaman pendengarannya ini menuntun seorang raja/pemimpin untuk dekat dengan Tuhan, dekat dengan rakyat dan dekat dengan hati nuraninya sendiri sehingga akan menuntun dirinya dalam memimpin rakyat atas dasar nilai Ketuhanan yang ia miliki, karena bagaimanapun suara rakyat adalah suara Tuhan. Kalung yang dipakai mengingatkan bahwa gelar, jabatan, harta benda ataupun hal lain yang dimiliki semua adalah titipan Tuhan, yang sewaktu-waktu bisa diambil.

bentuk sayap paksi yang lebih terbuka, terkesan sedang terbang, seperti pada batik dan kereta kencananya

Kemudian bentuk sayap yang dimiliki Paksi Naga Liman Cirebon mempunyai karakteristik tersendiri. Berbeda dari bentuk sayap paksi yang ada di Yogyakarta dan Surakarta yang mempunyai karakteristik pada ujung-ujung sayapnya yang teratur dan rapi, Paksi Cirebon mempunyai sayap yang lebih terbuka dan terkesan sedang terbang. Seakan menyiratkan stereotype atau orang Cirebon yang terbuka terhadap pembaharuan maupun pendatang.

Dan terakhir bentuk badan Naga yang ramping dapat dimaknai dengan gentur tapane (giat bertapa), hal ini tercermin dari perilaku ular yang hanya makan bila sudah benar-benar lapar. Dan setelah makan sang ular akan bertapa kembali. Seseorang yang gentur bertapa seringkali mendapatkan kemampuan lebih (pinunjul) dan waskita. Bagian ekor pada naga biasanya disebut petit. Pada umumnya petit dijumpai dalam bentuk menyerupai kuncup bunga melati atau kucup bunga kantil, yang dimaknai sebagai pusat akhir dari tujuan kehidupan atau puncak tertingi pencapaian proses. Sikap seorang pemimpin besar yang senantiasa menyandarkan diri pada kebesaran Tuhan YME tersirat dari bentuk ekor naga yang menjulang ke atas selaras dengan keberadaan motif pendukung berupa motif bunga dan motif semen sulur-suluran yang seolah mengingatkan untuk selalu berbuat kebajikan dan menjaga keharuman nama selama menjalankan dharmanya di dunia.

 

Bentuk keris ini seolah menjadi anak hasil perpaduan empat budaya sekaligus. Timur Tengah, Tiongkok, India dan Nusantara. Semua bagiannya memiliki filosofi, yang menunjukkan betapa tingginya pemikiran para empu kala itu. Dan pada akhirnya merupakan perlambang penyatu seluruh umat. Dimana keberagaman yang ada adalah sebuah keniscayaan, menjadi kekayaan dan keindahan suatu bangsa dan merupakan suatu potensi untuk membangun bersama.

Motif keris yang diberi hiasan emas semakin menarik karena pada umumnya bilah keris ganan (naga, singo, liman) masih dikombinasikan dengan motif pamor sederhana, seperti pamor wos wutah, ngulit semangka hingga tanpa pamor. Tujuan pembuatan motif pamor yang sederhana atau tidak terlalu rumit ini agar tidak membiaskan motif utamanya.

KIAI PANGIJAB, bahwa dirinya telah diijab-kabulkan untuk (kepentingan) masyarakat, bangsa dan negara. Harapan pada sebilah keris Paksi Naga Liman untuk seorang Pemimpin : memiliki pandangan dan visi jauh ke depan (visioner), fokus, terarah dan konsisten seperti Peksi siap lahir batin untuk terbang tinggi  menyibak badai yang menerpa. Sang pelindung yang lemah, disegani lawan, berwibawa dan adaptif seperti Naga pemimpin sejati. Berkarakter penuh kebaikan, bisa memberi tauladan, pembelajaran dan pencerahan kepada masyarakat, serta tidak pernah lupa pada rakyatnya bagaikan makna Liman dalam kearifan lokal budaya kita.

PAMOR BERAS WUTAH, Padi, bagi masyarakat agraris, ternyata bukan sembarang tanaman. Ia bukan hanya melebihi tanaman lain, tetapi mempunyai kesejajaran dengan manusia. Seperti halnya manusia, dalam cerita legenda Dewi Sri, padi dipandang berasal dari alam dewata, langit, surga, atau Yang Maha Kuasa. Secara denotasi adalah beras yang tumpah, sedangkan secara konotasi dalam pamor beras wutah terkandung rasa ucapan syukur atas berkat rahmat yang telah diberikan oleh Tuhan Semesta Alam. Rasa syukur atas hasil yang diperoleh dari perjuangan panjang memeras keringat, rajin dan tidak pernah menyerah dalam merawat tanaman padi agar menghasilkan produksi panen yang berlimpah. Bukti dari sebuah totalitas nyata seseorang dalam perjuangannya memberikan yang terbaik bagi keluarga, masyarakat sekitar dan rajanya (negerinya).

Dialih-rawatkan (dimaharkan) sesuai dengan foto dan deskripsi yang tertera.


Contact Person :

Griyokulo Gallery Jl. Teluk Peleng 128A Kompleks TNI AL Rawa Bambu Pasar Minggu Jakarta Selatan

Facebook : Griyo Kulo SMS/Tlp/WA : 0838-7077-6000 Pin BB : D403E3C3  Email : admin@griyokulo.com

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *