Patrem Ngadiboyo Pamor Junjung Derajad Akhodiyat

10590558_1712292255668741_9142982091114899016_n

Mahar : ?,-(TERMAHAR) Tn. Dr. AFM Jatinegara, Jakarta Timur



  1. Kode : GKO-253
  2. Dhapur : Sapukala/Sepokal
  3. Pamor : Junjung Derajad
  4. Tangguh : Ngadiboyo (Mpu Moyogati?) se-era dengan HB III
  5. Sertifikasi : 35/MP.TMII/I/2018
  6. Asal-usul Pusaka : Nganjuk, Jawa Timur
  7. Keterangan Lain : kolektor item

 

Ulasan :

SAPUKALA, (lurus/sapu rata) biasanya digunakan sebagai sebutan untuk dhapur keris lurus di luar jawa, bernilai simbolis alempureng (kejujuran), ada tongeng (perkataan benar) dan agettengen (ketegasan). Sapu = membersihkan, (Seng)Kala = hambatan (sial),  artinya membersihkan dari hal-hal yang menjadi hambatan dalam diri (nasib buruk). Dipercaya penyebab sengkala ini bisa bermacam-macam : Ada sengkala yang sudah dibawah sejak lahir, ada sengkala akibat berbuat tidak baik kepada orang lain (karma), ada sengkala yang sengaja ‘dikirim’ oleh orang lain dengan tujuan jahat dan lain sebagainya. Bagi kepercayaan Jawa berbagai jenis Sengkala dapat dikategorikan antara lain: Kebo Kemali (sulit dapat jodoh), Srigunting (selalu ditolak dalam urusan asmara), Cekal Kendit (karir macet, jabatan tak pernah naik), Gabuk (sudah tahunan menikah belum punya anak), Gotro Pati (rejeki seret, kerja siang malam tak ada hasil), Kantong Bolong (sebesar apapun hasil yang didapat selalu habis, boros), Sambit (hidup selalu susah/gagal akibat lupa bayar hutang); Cleret timbal (kesialan karena hukum karma akibat perbuatan dimasa lalu) dan masih banyak lagi.

KERIS PATREM, Panggange ingkang damel tentrem, yang secara harfiah berarti dipakai untuk membuat (hati) tentram. Untuk mengenalinya secara mudah dapat diukur dengan menggunakan rentangan jari tangan, atau dengan satuan ukuran jaman sekarang sekitar 20 cm. Karena ukurannya yang kecil, untuk membuat pejetan, sekar kacang, greneng dan ricikan-ricikan lainnya tentu akan lebih sulit dan memerlukan ketelitian lebih. Sebagai pusaka, ukurannya yang kecil, ditambah bentuknya yang luwes dan terkesan manis,  membuatnya menempati ruang tersendiri di hati para pecinta perkerisan.

Ada yang berkeyakinan, bilah pusaka kecil itu sengaja dibuat senyaman mungkin untuk digenggam, khususnya disesuaikan dengan kepalan jari-jari tangan wanita dan sesuai untuk kebutuhan wanita yang memang posturnya lebih kecil dari laki-laki. Patrem kerap diasosiasikan sebagai simbol kehormatan dan keprajuritan wanita jawa, sebuah simbol kekuatan di balik kelembutan. Sebab umumnya kaum perempuan tidak ingin menonjolkan kekerasan dalam pembelaan dirinya. Ketika Raja miyos (keluar keraton) untuk bertemu orang banyak-misalnya bertahta di Sitihinggil, memimpin audensi atau pagelaran, atau ke alun-alun sewaktu acara Gerebegan-Sang Raja selalu diapit pasukan pribadi yang semuanya perempuan. Bersenjata aneka ragam-tameng, busur, panah beracun, tombak, tulup, bedil dan tak lupa dengan sebilah keris diselipkan. Mereka bergelar abdi dalem priyayi manggung atau prajurit keparak estri (juga disebut pasukan Langenkusumo), anggota pasukannya umumnya direkrut dari putri pejabat daerah (lurah, demang) setingkat kecamatan atau kabupaten. Tak hanya itu, Patrem menjadi teman setia wanita. Kerap diceritakan, saat menanti kepulangan suami yang sedang bertugas jauh, di dalam rumahpun para wanita seringkali menyembunyikan patrem di dalam belitan setagen yang melingkari pinggang, untuk berjaga-jaga dan demi menjaga kehormatan. Takkala sang wanita harus keluar sendiri didampingi para pembantu-pembantunya patrem menjadi busana wajib yang akan selalu di-sengkelit. Jadi patrem diumpakan sebagai wakil suami yang menjaga dirinya, membuat batin tenang.

Pendapat selanjutnya meyakini keris patrem biasanya merupakan keris pertama anak laki-laki. Pemberian hadiah berupa patrem ini sebagai simbol perubahan dari masa anak-anak menuju usia remaja atau taruna. Hal ini diperkuat oleh catatan perjalanan Ma Huan (Ying-Yai Sheng Lan). Ma Huan adalah penerjemah dalam perjalanan ekspedisi laksamana Cheng-Ho. Dia mengikuti 3 dari 7 ekspedisi Cheng Ho, dimana dia mencatat ;” dari anak-anak berumur tiga tahun hingga orang tua berumur seratus tahun, mereka semua, menyelipkan di pinggangnya satu atau dua bilah pisau pendek yang dinamai pu-la-t’ou (belati, mungkin yang dimaksud adalah keris), yang dibuat dari Pin t’ieh (sejenis besi impor dari Persia, atau maksudnya adalah besi berkualitas bagus), dengan pola garis-garis rumit yang sangat indah (mungkin pamor). Gagang (hulu keris) biasanya [dibuat] dari emas atau cula badak atau gading gajah, yang diukir bentuk-bentuk manusia (maksudnya kepala manusia) atau wajah setan (mungkin raksasa). Bentuk [senjata] ini sangatlah halus [menunjukkan] karya seni yang tinggi.

Pendapat lain menyebutkan, bahwa bilah tersebut tidak hanya menjadi monopoli kaum hawa dan taruna, akan tetapi bisa saja menjadi senjata fungsional khusus untuk mempersenjatai para Banteng Wareng (pengawal pilihan) dan Wira Tamtama (prajurit pilihan) untuk menunjang kepraktisan tugas mata-mata, hingga mudah disembunyikan ketika dibawa, dan mudah dicabut ketika hendak dipakai untuk pertempuran jarak dekat. Tetapi ada juga pendapat lain lagi mengatakan bahwa kecilnya bilah itu untuk keperluan spiritual, sebagai piandel yang mudah dibawa kemana-mana. Selain kekuatan bendawi dalam keris kecil, ada kekuatan non fisik dari patrem, dimana dipercaya dalam keris kecil kekuatan “isi-nya lebih besar. Pendek kata dalam memahami seluk beluk keris patrem seyogyanya beriringan dengan sejarah, budaya dan ilmu perkerisan secara luas, karena seringkali dalam satu pertanyaan memungkinkan serangkaian jawaban lebih dari satu.

TANGGUH NGADIBOYO, adalah suatu daerah (desa) yang terletak di kabupaten Nganjuk, Jawa Timur. Mungkin nama (tangguh) yang satu ini agak kurang familiar di telinga perkerisan nasional. Rentang waktunya yang masih belum terlalu lama, adanya sumber pitutur lisan para sesepuh, jejak-jejak petilasan, alat-alat besalen hingga masih bisa dirunut kepada keturunan-keturunannya menjadikan tangguh Ngadiboyo layak mendapat tangguhnya sendiri serta menarik untuk di eksplore untuk menambah wawasan pengetahuan perkerisan. Karena jika kita buka catatan atau dokumentasi antropologi sosial, seperti The History of Java yang menjadi salah satu sumber sejarah untuk mengetahui kehidupan masyarakat Jawa di masa lalu, mencakup keadaan geografis, informasi kependudukan, pertanian, kepercayaan dan upacara keagaaman, bahasa serta hal-hal lainnya seperti Empu/Pande Senjata, di daerah Jawa Timur Thomas S Raffles mencatat diantaranya;

  • Di Nganjuk hidup empu pribumi Musnadi di Desa Tjepaka. Bagaimanapun, dia memahami seni menempa pamor, tetapi dia sudah tidak berlatih selama tujuh tahun, sebab pekerjaan untuk keris (untuk 15- 30 hari) itu hanya dihadiahi dengan ƒ 4 – ƒ 6 (Simbol ƒ atau fl. untuk gulden Belanda berasal dari mata uang lama lainnya, yaitu florijn, yang disebut florin dalam bahasa Indonesia), sehingga dia masih menekuni lagi usahanya dalam bidang pekerjaan lainnya dengan memproduksi perkakas pertanian.
  • Di Magetan ada yang sudah meninggal yaitu Empu Kyai Guna seorang yang terkenal, dengan tempaan keris-kerisnya dengan banyak pamor garis-garis, sementara di Desa Semen tinggallah Moestapa, yang berlatih seni menempa pamor yang disebutkan. Membeli pamor (diduga dengan jenis besi yang sedikit lapisan nikelnya) di toko orang Cina dengan harga ƒ 2.50 per katie. Sepertinya seni menempa pamor di Magetan merosot, bahwa motif pamor atau hanya sedikit sekali garis-garis yang muncul (menggunakan besi yang berisi nikel sedikit dalam jumlah kecil), atau kadang-kadang ada muncul tanpa metode yang tersusun dari substansi bawah.
  • Di Madiun masi tinggal pande besi senjata di Desa Batoe dari distrik Tjaruban, yang dapat memperbaiki pamor, tetapi hanya berkerja jika dia menerima perintah.

Konon menurut cerita dari tokoh masyarakat di daerah tersebut, pada jaman Perang Diponegoro pernah ada seorang (pangeran) pelarian dari barat (Kartasura), kemudian bersembunyi dan menetap mendirikan padepokan di Desa Ngadiboyo, dikenal dengan nama Mpu Moyogati. Sampai saat ini jejak  peralatan besalen seperti ububan (Sejenis pompa, terdiri atas dua tabung kayu yang bentuknya persis dengan pompa-pompa yang kita kenal di bengkel-bengkel, sekarang alat ini diganti menggunakan blower), supit (sejenis tang dengan ukuran yang berbeda-beda, sebagai alat memegangi besi yang dibakar atau ditempa), kowen (tempat air untuk mendinginkan alat-alat), hingga petilasan (sumur gede) masih bisa dijumpai dan disimpan oleh ahli warisnya.

Data sementara urutan silsilah Empu Ngadiboyo adalah :

  1. Empu Ngadiboyo I (Empu Moyogati) sekitar tahun 1830-1860.
  2. Empu Ngadiboyo II (Empu Kriyogati) sekitar tahun 1860-1930.
  3. Empu Ngadiboyo III (Empu Morogati/al. Trunogati/Glinsong) sekitar tahun 1930-1990

Sayang sepeninggalan Empu Ngadiboyo III generasi selanjutnya ke-4 Said dan generasi ke-5 sekarang yaitu Sonodiwiryo (Lamidi) memilih tidak melanjutkan tradisi leluhurnya sebagai penempa besi, melainkan dengan berprofesi sebagai petani bawang merah dan pembuat alat-alat pertanian. Adapun ciri-ciri keris yang diduga dibabar oleh Mpu Moyogati yang dipercaya hidup se-era dengan Mpu Guno Sasmito Utomo (Mageti I) adalah sebagai berikut :

  1. Keris kebanyakan berbentuk lurus berdhapur Tilam atau Brojol, dengan panjang kecil hingga sedang (15-35 cm) dengan gandik amboto ngadeg dan amboto miring.
  2. Bentuk gonjo agak tinggi (tebal), dengan sirah cecak tidak lancip benar dan tidak buweng (menter lancip/kacok), bagian ekor gonjo buntut urang mekrok mirip nom-noman.
  3. Wasuhan besi agak mentah berwarna keabuan dengan pamor cenderung kelem (tidak byor), kemungkinan banyak menggunakan baja, mirip dengan besi buatan Empu Mageti I
  4. Bagian Pesi dibuat besar dan panjang sekitar 6-7 cm, berbentuk gilig (silinder), hampir sebesar jari kelingking dan pada ujung pesinya terdapat “tetenger” berupa guratan melintang lurus (diduga kuku sang Empu), dan menurut sumber lain ada yang berbentuk tapak jalak (tanda +), atau puntiran (lung wi) dan berbentuk cincin. Dengan dimensi pesi yang besar, seringkali menjadikan bagian perut gonjo ‘terdesak’ seolah tampak tidak rapat dengan bilah

Karena letak geografis daerah Ngadiboyo berada di bagian utara Nganjuk yang berbatasan dengan Bojonegoro dan dekat dengan daerah Tuban, sehinga sangat mungkin keris ini tersebar ke berbagai daerah pesisir utara jawa tengah bagian timur hingga Tuban. Masuk akal jika orang-orang perbatasan Jateng-Jatim menyebutnya dengan bethok brojol Tuban.

GONJO KENDIT MIMANG, sebutan bagi ganja yang memakai pamor berbentuk garis membujur pada badan ganja, bisa lurus bisa agak miring, bisa tipis bisa tebal. Oleh sebagian orang, keris dengan ganja kendit mimang dipercaya memiliki tuah atau angsar yang dapat membuat pemiliknya aman dari gangguan pencuri, sehingga bisa dipakai untuk menjaga rumah atau tempat usaha.

PAMOR JUNJUNG DERAJAD, secara harafiah berarti mengangkat derajat kemuliaan. Sesuai dengan namanya, sebagian besar pecinta keris percaya bahwa pamor Junjung Derajad memiliki tuah yang dapat membantu karir pemiliknya dan menaikkan derajadnya menjadi orang besar (sukses). Namun bagaimanapun tuah atau angsar sebilah keris dan pamornya hanyala sekedar alat bantu, sebab yang menjadi pokok adalah manusia di balik keris itu sendiri. Tanpa usaha yang tekun, tanpa kejujuran dan juga loyalitas akan sulit seorang mencapai kedudukan tinggi yang diinginkannya. Bentuk penampilan pamor Junjung Derajad ada dua macam, yang keduanya hampir mirip satu sama lain. Yang pertama, seperti yang ditunjukkan pada gambar nomor 1, berupa gambaran bentuk seperti pamor Raja Abala Raja, tetapi hanya setengah bilah, kemudian di atas ujung pamor itu ada jenis pamor lain yang serupa pamor wos wutah atau pulau tirto.

Bagi yang percaya akan isoteri dari tuah pamor, jika pamor di dekat pucuk bilah terdapat pamor akhodiyat-nya (bagian pamor yang lebih cemerlang, sepintas lalu tampak seperti lelehan logam-keperak-perakan yang putih mengkilat) itu dianggap yang nilai tuahnya tinggi. Bentuk gambaran pamor Junjung Derajad yang lain, adalah semacam pamor ujung gunung di bagian sor-soran, kemudian di atasnya ada bentuk pamor lain, biasanya wos wutah atau pulo tirto. Yang jenis kedua inipun, kalau di dekat ujung bilah terdapat pamor akhodiyatnya, dianggap memiliki nilai tuah yang tinggi. Tak heran pamor junjung derajad yang mempunyai image sebagai simbol “pamor kesuksesan”  menjadi buruan para kolektor.

Dialih-rawatkan (dimaharkan) sesuai dengan foto dan deskripsi yang tertera.

Contact Person :
 

Griyokulo Gallery Jl. Teluk Peleng 128A Kompleks TNI AL Rawa Bambu Pasar Minggu Jakarta Selatan

Facebook : Griyo Kulo SMS/Tlp/WA : 0838-7077-6000 Pin BB : D403E3C3  Email : admin@griyokulo.com

————————————

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *