Hulu Rajamala

Harga : ?, (TERJUAL) Tn. DS Jakarta Selatan


 

  1. Perabot : Hulu
  2. Model : Rajamala Pesisiran (primitif)
  3. Bahan : Kayu hitam
  4. Dimensi : Tinggi 10 cm, lebar terpanjang 7 cm
  5. Keterangan Lain : lamen (kuno), unik karena seperti memakai kopiah

 

Ulasan :

Jamala, Jamala sikile sewu,

Jamala, Jamala sikile sewu,

Jamala sikile sewu,

Illaha illa, illaha illolah.

HULU RAJAMALA, atau Raja Bebek ialah bentuk makhluk gupala (raksasa) dengan mata terbelalak dan hidung yang panjang mendongak ke atas mirip paruh burung yang familiar dipakai sebagai canthik baita pembelah (kepala perahu) milik Raja Kasunanan Surakarta bilamana berlayar di sungai Bengawan Solo. Rajamala berasala dari kata raja dan mala, yang artinya rajanya penyakit (bencana). Bahwa sebagai “raja penyakit” otomatis juga “rajanya penangkal penyakit”. Filosofi dari “penangkal segala penyakit” itulah yang dipakai dalam ukiran rajamala. Di Keraton Suarakarta, pemakaian deder atau ukiran Rajamala ini dimulai sejak Paku Buwono IV dan diteruskan PB V. Deder  atau jejeran ini paling banyak dipakai oleh para prajurit PB V. Dan hingga kini “Prajurit Spritual” Canthang Balung banyak yang memakai hulu Rajamala pada keris yang digunakan.

Selain sarat makna filosofi, bentuk kepala rajamala yang angker itu berbuah menjadi sangat menarik karena kaya akan detail dan tampak berkarakter. Hulu berbentuk Rajamala dipercaya mempunyai kekuatan gaib, mengandung semacam doa atau mantra bagi pemiliknya.  Ada juga yang menyebut hulu rajamala memiliki kekuatan lain, mengingat Raden Harya Rajamala adalah raksasa yang sakti mandraguna, bisa hidup kembali bila bersentuhan dengan air.

Menyangkut asal muasal dan hubungan kemiripan bentuk dan nama hulu keris dengan canthik perahu Kiai Rajamala, dari dulu hingga kini, terdapat dua kubu berbeda pandangan. Sejumlah ahli perkerisan meyakini bahwa bentuk hulu itu  diadaptasi atau terinspirasi dari bentuk kepala perahu. Artinya bentuk kepala perahu Rajamala lebih dulu ada ketimbang deder keris itu. Pendapat pertama ini berdasarkan argumen, bahwa semua hal yang berbau budaya berasal dari lingkunan istana (kraton sentris). Maka ketika putra mahkota pada zaman PB IV membuat perahu dengan bentuk kepala Rajamala, memberi ide bagi para mranggi (pembuat warangka) zaman itu, untuk membuat deder, tentu saja dengan pemaknaan yang serupa, yaitu penolak bala atau mala.

Menurut catatan yang ada, Perahu Kyai Rajamala yang selesai 19 Juli 1811 (sinangkalan : Janma Tunggal Ngesthi Aji) dibuat oleh Kangjeng Gusti Pangeran Adipati Anom, panjangnya 190 kaki dan lebar 21 kaki. Jika diukur dalam satuan ukur meter, 1 kaki = 0,31 meter sehingga panjangnya 190 x 0,31 meter = 58,9 meter dengan lebar 21 x 0,31 meter = 6,5 meter. Semuanya terbuat dari kayu jati yang diperoleh dari Hutan Danalaya, kecamatan Slogohima, Kabupaten Wonogiri. Ada dua bentuk Rajamala; pada bagian depan canthik perahu terpasang wanda Rajamala yang agak mendongak, sedangkan pada canthik belakang wanda Rajamala tersebut dibuat agak luruh (menunduk). Dalam catatan yang lain juga menyebutkan Kangjeng Gusti Pangeran Adipati Anom menitahkan Empu Kadipaten Ki Brajaguna untuk yasan (membuat) keris dan tombak yang bilahnya besar, panjang dan kokoh, juga trisula (tombak bermata tiga), wulan penanggal (tombak berbentuk bulan sabit), canggah (dipasang seperti tombak di ujung landeyan, hanya saja berbentuk lingkaran di ujungnya, merupakan alat untuk menangkap atau menggiring), nenggala (tombak berbentuk mirip kail primitif atau angka 2) serta diperintahkan membuat jangkar lengkap dengan rantainya. Kesemuanya diberi landheyan panjang dipasang di jagrag, ditata di sisi tengah kanan maupun kiri perahu lengkap dengan seperangkat gamelan slendro pelog. Keris yang besar (corog) berluk 13 berdhapur Parungsari dengan panjang bilah ± 60 cm, lebar bilah bagian bawah ± 8 cm dan panjang ganjanya ± 13 cm itu diberi warangka ladrang diberikan jagrag dipasang tepat dibelakang Canthik Rajamala bagian depan. Sedangkan kursi-kursi dipasang tepat di bagian depan canthik Rajamala belakang.

Seyogyanya perahu ini awalnya ditujukan untuk  mengantar pulang Permaisuri Dalem Kangjeng Ratu Kencana Wungu ke Madura, justru akhirnya Sinuwun PB IV kemudian membatalkan pemulangan itu dan menggantinya dengan hajatan plesiran mengarungi sungai bengawan Solo dengan menggunakan perahu Kia Rajamala. Ada kejadian yang mengagetkan namun juga menggembirakan kalangan istana. Permaisuri Dalem yang sebelumnya sakit menjadi sembuh, setelah usai menyusuri Sungai Bengawan Solo dengan perahu Kiai Rajamala. Konon, permaisuri sembuh berkat daya magis kepala Rajamala yang berada di kepala perahu depan maupun belakang yang dalam pembuatannya pun penuh dengan hal-hal mistis dan laku cegah dhahar lawan nendra menyertai.

Cerita ini menguatkan kisah kesaktian Raden Harya Rajamala, dalam cerita pewayangan. Rajamala adalah ksatria berbentuk raksasa yang sakti mandraguna. Dia tidak akan mati, bila jasadnya dimasukkan kembali ke dalam air, Bila mengalami cedera fisik yang sangat parah, hanya dengan diperciki sedikit air, tubuhnya akan kembali bugar. Mitos inilah yang kemudian diambil spirit-nya oleh masyarakat perkerisan di lingkungan keraton, untuk membuat ukiran dengan bentuk kepala Rajamala. Tentu saja, diharapkan bentuk ini bisa mempertebal daya isoteris keris, yaitu memiliki energi penolak memala atau bala.

Sementara pendapat lain mengatakan sebaliknya, yaitu bentuk Canthik Rajalamala mengambil ilham dari bentuk deder keris yang lebih dulu ada jauh sebelum zaman Surakarta yang lebih muda. Malah diperkirakan, deder atau jejeran bentuk raksasa dengan hidung khas panjang mencuat ke atas ini diperkirakan buatan zaman Demak, atau awal masa Keraton Kesultanan Cirebon pada akhir abad 15. Sebelum masa itu bentuk hulu kebanyakan menggunakan figur-figur kepala para dewa atau raksasa. Kemudian oleh para wali menggunakan penetrasi budaya dalam syiar Islamnya, mengubah bentuk-bentuk itu sebagai Rajamala dalam kisah pewayangan – yang sebenarnya juga sudah digubah sedikit berbau Islam. Pada zaman Pra Islam, kemungkinan bentuknya lebih primitif dan menyerupai raksasa atau dewa, namun belum bernama rajamala.

Bentuk Rajamala dari pantura Jawa, disebut oleh masyarakat perkerisan Tegal justru sebagai tokoh Dursasana, seorang ksatriya dari Kasatriyan Banjarnunut – dari kelompok Kurawa. Diketemukannya hulu keris Rajamala di Tegal, Cirebon, dan sejumlah daerah lainnya di Jawa Barat, yang ditaksir usianya sama dengan bilahnya ratusan tahun, menjadi bukti bahwa sudah ada deder atau jejeran dengan nama Rajamala – kendati bentuknya sedikit berbeda dengan deder Rajamala gagrak Surakarta seperti yang dikenal sekarang. Yang sangat kentara adalah posisi kepala Rajamala dari pesisiran kulon selalu miring ke kanan dan bagian buah pinang atau bungkul kebanyakan dibungkus oleh selut (logam), sedangkan rajamala dari surakarta; posisi kepalanya tegak, tidak miring, dengan hidung yang lebih mendongak ke atas, tidak dibungkus oleh selut (logam). Deder Rajamala Surakarta jelas menyerupai bentuk Rajamala versi wayang kulit.

sumber : Buku Sunan Sugih, Paguyuban DarahDalem PB.V Surakarta oleh R.M Soemantri Soemosapoetro
Ditawarkan sesuai dengan foto dan deskripsi yang tertera.
 

Contact Person :
 

Griyokulo Gallery Jl. Teluk Peleng 128A Kompleks TNI AL Rawa Bambu Pasar Minggu Jakarta Selatan

Facebook : Griyo Kulo SMS/Tlp/WA : 0838-7077-6000 Pin BB : D403E3C3  Email : admin@griyokulo.com

————————————

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *