Naga Siluman Primitif

10590558_1712292255668741_9142982091114899016_n

Mahar : 6,660,000,- (TERMAHAR) Ibu M Tajur, Bogor



  1. Kode : GKO-224
  2. Dhapur : Naga Siluman (primitif)
  3. Pamor : Ngulit Semangka Nggajih
  4. Tangguh :  Cirebon (Pesisiran?) Abad XII
  5. Sertifikasi : Museum Pusaka TMII No : 254/MP.TMII/IV/2017
  6. Asal-usul Pusaka : Solo, Jawa Tengah
  7. Keterangan Lain : dhapur langka, warangka dan hulu nunggak semi naradan Jawa Timuran

  

Ulasan :

NAGA SILUMAN, mirip dengan keris dhapur Nagasasra adalah Naga Siluman. Bedanya dhapur Naga Siluman bisa berluk 13, bisa berluk 7 bahkan lurus dan hanya dilengkapi dengan kepala Naga saja. Badan dan ekornya tidak ada. Biasanya dhapur ini ber-gonjo wilut.

Konon Pangeran Diponegoro misalnya, adalah sosok lain yang perjuangannya juga dikaitkan dengan keris pusaka “Kyai Nogo Siloeman”. Pangeran dari Keraton Yogyakarta putera Sultan Hamengkubuwono III itu diceritakan selalu menyelipkan keris (Kyai Nogo Siloeman?) dengan warangka gayaman timoho pelet kendhit di dadanya. Dengan jubah dan surban kiai, keris pusakanya selalu tersengkelit secara jelas. Perang Jawa yang dikobarkan oleh Diponegoro sejak Juli 1925 itu memang dahsyat. Belanda harus mengerahkan segenap sumber-sumber dayanya untuk memadamkan perlawanan Diponegoro dan pengikutnya. Kendati memiliki persenjataan yang lebih modern dan taktik perang Eropa, Belanda benar-benar dibuat impotent menghadapi laskar Diponegoro. Bahkan pada tanggal 21 September 1829 Belanda mengeluarkan woro-woro disertai ganjaran, bahwa siapa saja yang dapat menangkap Pangeran Diponegoro akan mendapat hadiah 20.000 ringgit. Tetapi usaha ini tidak berhasil, karena rakyat pribumi bersatu dalam semangat “Sadumuk bathuk, sanyari bumi ditohi tekan pati”; sejari kepala sejengkal tanah dibela sampai mati.

Dalam perjuangannya, Pangeran Diponegoro mendapat dukungan dari rakyat, ulama dan juga kaum bangsawan. Sebanyak 15 dari 19 pangeran bergabung dengan Diponegoro, diantaranya ada Pangeran Mangkubumi, Pangeran Joyokusumo dan lain-lain. Sementara dari kaum ulama ada Kiai Mojo (yang juga menjadi pemimpin spiritual), Haji Mustopo, Haji Badaruddin dan Alibasha Sentot Prawirodirdjo. Dalam perang jawa ini Pangeran Diponegoro juga berkoordinasi dengan I.S.K.S. Pakubowono VI serta Raden Tumenggung Prawirodigdoyo Bupati Gagatan.

Karena biaya operasional perang yang besar (diperkirakan 20.000 gulden)  dan korban banyak berjatuhan (tercatat kurang lebih 8000 serdadu belanda), membuat Belanda akhirnya mengubah taktik. Setelah perang selama 5 tahun, pada tanggal 28 Maret 1830 Kumpeni Belanda mengajak berunding di rumah Residen Kedu (Magelang). Maka digelarlah genjatan senjata. Inilah, konon awal kehancuran Sang Pangeran Tegalrejo. Ketika memasuki ruang perundingan, Pangeran Diponegoro diminta menyerahkan semua senjata dan keris pusaka yang selalu disengkelit kepada opsir penjaga. Ternyata semua hanya siasat, perundingan tidak mencapai kata sepakat. Jenderal De Kock ternyata mengingkari janjinya karena pada saat Pangeran Diponegoro hendak meninggalkan meja perundingan, beliau ditangkap oleh pasukan Belanda. Para analisis kebatinan menyebutkan, ini merupakan kesalahan Diponegoro. “Bila tidak melepas, Belanda tidak akan punya nyali meringkusnya.”

Hari itu juga Diponegoro ditangkap dan diasingkan ke Ungaran, kemudian dibawa ke Gedung Karesidenan Semarang, dan langsung ke Batavia menggunakan kapal Pollux pada 5 April. Di Batavia Sang Pangeran ditawan di Stadhuis (sekarang gedung Museum Fatahillah), sambil menunggu keputusan penyelesaian dari Gubernur Jenderal Van den Bosch. Beliau wafat dalam masa pembuangannya di Makasar pada tanggal 8 Januari 1855.

FILOSOFI, Kyai berarti tuan. Orang Jawa itu tidak hanya menghormati orang, tetapi juga menghormati benda yang kemudian disebut Kyai. Semua yang dimiliki seorang Raja paling tidak memakai nama ini (kyai). Nogo adalah ular besar dalam mitologi dengan sebuah mahkota di kepalanya. Siloeman adalah sebuah nama yang terkait dengan kelebihan atau bakat-bakat luar biasa, seperti kemampuan untuk menghilang dan seterusnya. Oleh karena itu, nama keris Kyai Nogo Siluman berarti raja ular penyihir, sejauh hal itu dimungkinkan untuk menerjemahkan sebuah nama yang megah.

NAGA PRIMITIF (ABSTRAK), istilah naga primitif disamping dipergunakan sebagai istilah keris naga yang dilihat dari segi garapnya juga merupakan salah satu dari jenis motif naga. Naga primitif merupakan istilah dari semua motif naga, apapun dhapur-nya, baik yang dihias logam mulia maupun tidak, bilah lurus ataupun luk yang dibuat dengan sederhana (bentuknya kadangkala tidak jelas atau abstrak). Karena bentuknya sederhana sehingga kadangkala menjadi sulit menentukan nama dhapur kerisnya. Motif pahatan naga semacam ini biasanya dibuat oleh Empu-Empu yang tinggal jauh di luar tembok kota (kraton) atau Empu-Empu dusun yang tidak mengabdi di lingkungan istana. Penggunaannya adalah masyarakat pada umumnya, tokoh masyarakat seperti kepala desa, ulama, spiritualis atau mereka yang status sosialnya tidak terlalu tinggi atau menengah ke bawah. Mereka mencoba-coba meniru keris-keris agung yang dimiliki oleh Raja dan bangsawan atau memang dalam pembuatannya sengaja digunakan sebagai sipat kandel sehingga tidak terlalu menonjolkan unsur pamer estetika.

TANGGUH PESISIRAN, untuk memahami tangguh pesisiran perlu juga memahami pemetaan variasi regional dari budaya Jawa. Dimana pulau Jawa terbagi menjadi banyak daerah mulai dari barat yakni banten, kemudian sunda, pesisir, di tengah ada bagelen, negarigung, mancanegari, sampai ke timur tanahbrang wetan dan paling ujung adalah blambangan. Sedangkan pesisiran sendiri adalah untuk menyebutkan daerah-daerah di sepanjang pantai utara Jawa, dibagi menjadi dua; yakni pesisir kulon mulai dari Cirebon, Tegal, Pekalongan hingga sekitar Kendal. Kemudian pesisir wetan mulai dari Semarang, Demak terus ke utara, Jepara sampai ke timur di daerah Tuban.

Budaya masyarakat pesisir Jawa dinilai sarat dengan keunikan dan kekhasannya sendiri. Ciri khas budaya pesisiran adalah lugu. Kita bisa melihat dari sifat-sifat umum masyarakat pesisir yang berwatak keras dan lugas, cenderung ceplas-ceplos ketika berbicara, tidak ada yang ditutup-tutupi. Sifat yang lain adalah terbuka dimana keberagaman kehidupannya cenderung akulturatif dan adaptif, ternyata sangat berkaitan dengan kondisi (lingkungan alam berupa pantai terbuka) dan letak geografis posisi-posisi daerah pesisir yang secara geopolitik berjauhan dengan pusat pemerintahan atau kerajaan.

Kesan lugu khas pesisiran  terbaca dari perwatakan garap naga keris ini, bentuk naga yang sederhana seolah menyiratkan tidak perlu pengakuan status ‘ke-naga-an-nya’ dari orang lain. Bagi sang pemilik dianggap sudah selesai dengan masalah ‘bungkus’ dengan lebih memilih ‘isi’. Besinya terkesan keras, madas agak kering dan cepat menyerap minyak, patut diduga dalam penyepuhannya menggunakan air yang mengandung kadar garam tinggi. Besi yang cepat menyerap minyak (seolah minum atau haus) menurut pitutur orang tua jaman dahulu adalah besi yang ‘hidup’. Bentuk gandik yang lebar amboto rubuh (agak miring) dan tinggi, mau tidak mau tidak bisa di-nafi-kan terpengaruh karakter jawa kulonan (Sunda Galuh / Pajajaran?), terlebih dikuatkan dengan jenis gonjo wilut dengan sirah cecak bulat tidak lancip. Posisi pesi yang agak maju posisinya ke depan (tidak center di tengah) banyak dijumpai di era sebelum Mataram Islam. Istilah pesisiran dalam menjelaskan hal (tangguh) ini menjadi lebih tepat, dikarenakan jika kita melihat perkiraan tangguh berdasarkan abad yang tertulis pada surat keterangan, dimana tertulis abad XII tentu saja Cirebon belumlah menjadi sebuah nama daerah yang tersebut di atas.

PAMOR KULIT SEMANGKA NGGAJIH, adalah penamaan pamor berdasarkan kesan penglihatan. Nggajih artinya serupa dengan lemak. Pamor yang tampak di permukaan bilah seperti berlemak disebut pamor nggajih. Jadi, apapun jenis dan nama pola gambaran pamor itu, kalau penampakannya seperti lemak kering, disebut nggajih. Misalnya, pamor wos wutah nggajih, ngulit semangka nggajih. Sebagian ahli perkerisan menduga, keris berpamor nggajih lebih banyak dikarenakan berasal bahan material yang simple atau mudah ditemukan (pasir besi dari pantai) dan diolah (smelting) dengan cara lebih sederhana atau tradisional.

Koesni dalam bukunya : Pakem Pengetahuan Tentang Keris mendeskripsikan dengan jelas jenis pamor nggajih, dimana pamor yang pengetrapannya hanya diluluhkan di atas wilahan. Pengetrapan pamor seperti tersebut di atas, penggarapannya kelihatannya mudah, tetapi empu yang menangani harus teliti dan cekatan, selain itu harus mempunyai keahlian dalam membuat gambar yang bermutu. Cara-cara pembuatannya adalah sebagai berikut :

Lempengan pamor atau bubukan pamor disediakan lebih dulu (biasanya bukan dari batu meteorit tetapi logam yang titik leburnya lebih rendah dari besi). Setelah wilahan dibakar dan terasa sudah panas membara, besi pamor segera dituangkan mulai dari pangkal wilahan langsung mengarah ke bagian pucuk. Jatuhnya pamor di wilah ditunggu sampai kelihatan leleh, keris digerak-gerakkan menurut inspirasi batin sang Empu, tanpa putus mengalir ke arah ujung wilah. Bila sudah sampai pada bagian ujung ada dua macam tindakan sang Empu. Apakah pamor yang dituangkan itu kembali diluluhkan ke arah pangkal, ataukah sudah cukup sekali tuang saja. Inilah cara pengetrapan pamor yang seperti disebutkan di atas disebut pamor luluhan yang tidak perlu memakai tekanan-tekanan jari dan alat-alat lain. Cara ini biasa digunakan Empu luar keraton, empu Desa atau disebut juga empu Njawi. Pengetrapan pamor seperti ini jika sudah jadi dinamakan ‘pamor nggajih’.

Dialih-rawatkan (dimaharkan) sesuai dengan foto dan deskripsi yang tertera.

Contact Person :
 

Griyokulo Gallery Jl. Teluk Peleng 128A Kompleks TNI AL Rawa Bambu Pasar Minggu Jakarta Selatan

Facebook : Griyo Kulo SMS/Tlp/WA : 0838-7077-6000 Pin BB : D403E3C3  Email : admin@griyokulo.com

————————————

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *