Parungsari

10590558_1712292255668741_9142982091114899016_n

MAHAR : Rp. 5.500.000,- (TERMAHAR) Tn N Gambir


keris-parungsari parung-sari

  1. Kode : GKO-170
  2. Dhapur : Parungsari
  3. Pamor : Beras Wutah
  4. Tangguh : Mataram Senopaten Abad XV
  5. Sertifikasi : Museum Pusaka TMII No : 448/MP.TMII/XVIII/2016
  6. Asal-usul Pusaka : Kolektor

warangka-gayaman sertifikasi-parung-sari

Ulasan :

PARUNGSARI adalah salah satu bentuk dhapur keris berluk tiga belas. Ukuran Panjang bilahnya sedang. Keris ini memakai kembang kacang; ada yang memakai jenggot ada yang tidak, lambe gajahnya dua, sraweyan, sogokan rangkap, pejetan dan greneng. Sekilas mirip dengan dhapur Sengkelat, perbedaan diantara keduanya hanyalah; Keris dhapur Parungsari mempunyai dua (2) lambe gajah, sedangkan dhapur Sengkelat hanya satu (1). Menurut literatur dhapur ini diciptakan pada masa pemerintahan Prabu Banjaransekar dari Pajajaran sekitar tahun jawa 1170 an.

FILOSOFI, Parung adalah deretan lereng bukit dan lembah, sedangkan Sari adalah bunga. Secara harafiah dapat diartikan sebagai hamparan elok bukit dan lembah yang dipenuhi oleh bunga-bunga yang indah. Seperti “Bukit Berbunga”, tempat yang indah untuk memadu cinta, Lagu yang diciptakan oleh Yonas Pareira dan dipopulerkan oleh Uci Bing Slamet pada tahun 1982.

Irisan tanah secara vertikal akan menyulitkan beragam tumbuhan untuk dapat hidup disana, dan hanya tanaman pioneer saja yang mampu tumbuh dan berkembang disitu. Selain menjadi tanaman perintis, merangkap juga sebagai tanaman perlindungan yang mempu menahan hempasan air hujan dan laju permukaan, sehinga meminimalkan resiko erosi. Disisi lain, banyak serangga yang hidup didalam bunga untuk sekedar menghisap nektar atau berlindung didalam rimbunya dedaunan.

Parung Sari adalah bahasa pemahaman. Ada bukan karena diadakan, hadir bukan karena dihadirkan…. begitu apa adanya, sehingga begitu mudah untuk dipahami, namun begitu sulitnya kita untuk bisa mencoba mengerti arti sesungguhnya.

Parungsari adalah pembelajaran. Bila tidak pernah merasa tinggi, mengapa takut untuk jatuh, bila tidak merasa mulia, mengapa merasa dihinakan, bila tidak pernah bersama, mengapa takut untuk kehilangan.
 
Parungsari  adalah simbol dari kecantikan budi atau suatu bentuk lain dari keikhlasan. Walaupun tidak ditanam ia tumbuh, tidak disirami ia mekar, seolah menerima keadaan apa adanya tanpa menuntut sebuah kondisi, di sisi lain malah banyak memberikan manfaat kepada sekitarnya, serta akan selalu  meninggalkan kesan indah memanjakan mata siapapun yang melihat. Terangkum dalam keindahan peribahasa ”Gajah mati meninggalkan gading, harimau mati meninggalkan belang, manusia mati meninggalkan nama “.
 
TANGGUH MATARAM SENOPATEN, Menatap keris Parungsari ini, kesan pusaka ini dulunya dimiki oleh golongan kelas atas / ningrat yang wingit dan berwibawa dapat langsung ditangkap. Luluhan pamor meteornya dengan akhodiyat-nya (pamor yang tampak lebih cemerlang dibanding pamor lainnya) dan garis-garis tapih-nya masih terdefinisi jelas menambah kelasnya tersendiri. Langgam/gaya yang ada bisa dibilang sudah mulai meninggalkan era Senopaten ke Era Mataram Sultan Agung. Bentuk kembang kacang masih tampak nggelung wayang nyaris sempurna. Sogokan dan pejetan dibuat dalam dengan janur tipis dipadukan irama tarikan luk yang seolah-olah seperti gambaran ular yang sedang berenang (sarpa nglangi/weweka). Korosi-korosi di sepanjang sisi bilah masih bisa dianggap wajar untuk keris pusaka yang diperkirakan dibuat pada abad XV. Perabot (warangka dan pendok) “bawaan” sebelumnya sengaja Penulis biarkan apa adanya (baca = sederhana), sehingga pemilik selanjutnya masih bisa mengekspresikan kebebasan memilih sandangan-nya sesuai selera pribadi.
parungsari-senopaten parungsari

PESI CEBLOKAN, atau dikenal juga pesi gapit wayang. Pesi ceblokan berasal dari kata ceblok, yang kemudian menjadi ceblokan. Arti ceblok dalam bahasa jawa adalah jatuh. Pesi yang mudah lepas atau jatuh. Agak susah memang untuk merunut apa yang menjadi latar belakang pembuatan pesi dengan model ceblokan, apakah karena dari asalnya sudah sengaja diciptakan bseperti ini, atau pesi sebelumnya sudah benar-benar pugut dan tidak bisa untuk di-srumbung lagi, sehingga teknik pemasangan pesi mengharuskan seperti di-jojoh dan di-gapit supaya kuat. Yang jelas pada keris-keris tangguh tua seperti majapahit, pajajaran, cirebon sepuh dan beberapa mataram, sering diketemukan teknik membuat keris dengan pesi yang terpisah kemudian dijepit oleh bilahnya. Hal ini diperhitungkan ketika dalam penempaan membuat kodokan sang Empu tidak seperti normalnya membuat pesi menyatu atau menyambung dengan bilahnya, tetapi pesinya justru diambilkan dari kodokan landepan (bagian ujung) atau bisa jenis besi lain. Tujuannya untuk meningkatkan daya astral dari Pusaka, dimana kekuatan ditimbulkan dari rentang magnetik ujung dan pangkal yang saling tarik menarik, karena berasal dari satu bagiannya.

Banyak mitos mengiringi seputar pesi ceblokan ini, diantaranya adalah konon dipercaya model pesi seperti ini merupakan ciri khas (signature) dari Mpu Jigja. Mitos yang lain berhubungan dengan pesi kurung (karena sesuatu hal pesi ini terpisah dengan bilahnya dan terkurung dalam hulu keris). Pesi kurung yang paling ndayani adalah yang terjadi karena pesi ceblokan yang lepas. Ibarat memang sudah waktunya sang pesi harus terpisah dan terlepas dari bilahnya. Pesi ceblokan yang menjadi pesi kurung banyak diburu dan dipercaya membawa sang pemiliknya menjadi kaya dan jaya.

PAMOR BERAS WUTAH, Berarti “beras tumpah”, oleh kebanyakan penggemar keris dianggap memiliki tuah yang dapat membuat pemiliknya mudah mencari rejeki, berkelimpahan. Oleh sebagian ahli tanjeg dikatakan bahwa di dalam pamor ini tersembunyi tuah lain yang baik. Bagi lelaki Jawa yang telah menikah, pamor ini juga mengingatkan akan tanggung jawab lelaki sebagai kepala keluarga untuk bertanggungjawab menghidupi / menafkahi keluarganya, sebagaimana tercermin dari ritual kacar-kucur pengantin Jawa, dimana pihak lelaki menumpahkan beras ke tempat yang telah disediakan pihak perempuan. Arti simbolis ritual ini juga berarti bahwa rejeki yang didapat sang suami tidak lari kemana-mana selain ke istri sendiri – yang sekaligus menjadi pengelolanya.

Selain itu motif beras wutah juga mengingatkan akan filosofi beras itu sendiri untuk bagaimana memperlakukan pasangan hidup. Seperti pameo : “Jangan kau genggam beras terlalu keras!”, jika kau lakukan itu ia akan keluar dari selah jemari tanganmu!”. Peganglah beras dengan lembut maka ia tak akan pergi dari genggamanmu. Filosofi beras dapat kita terapkan pada pasangan kita, beras merasa nyaman ditangan ketika ia tak digenggam terlalu keras begitu juga orang atau manusia tak suka dikekang dan digenggam begitu keras. Jika kau lakukan itu ia akan lepas dari genggamanmu mencari celah agar dapat keluar dari kekangannya. Perlakukanlah seseorang dengan tepat, perlakukan orang yang kau sayangi dengan baik, dengan begitu ia akan nyaman di genggamanmu, dalam pelukmu.

beras-wutah pamor-beras-wutah

Bagian Pamor adalah bagian paling menonjol dari Parungsari ini. Pamor meteorit tampak mubyar kontras menyala berpadu dengan latar besi yang hitam kebiruan, penyatuan moti-motif yang melambangkan konsep spiritualisme quasi-seksual (perkawinan)  unsur-unsur terestrial dan selestial (Bapa angkasa Ibu Bumi , pamor berasal dari angkasa, sedangkan besi berasal dari bumi) menebarkan getaran-getaran kosmik yang ndayani (memiliki tuah), tampak wijang (terdefinisi jelas garis bulatan-bulatannya) merata di sepanjang sisi bilah seolah menunjukkan kelas kecantikannya sendiri, yang membuat siapapun yang melihatnya akan terkesan.

Dialih-rawatkan   sesuai dengan foto dan deskripsi yang tertera.

 

Contact Person :
 

Griyokulo Gallery Jl. Teluk Peleng 128A Kompleks TNI AL Rawa Bambu Pasar Minggu Jakarta Selatan

Facebook : Griyo Kulo SMS/Tlp/WA : 0838-7077-6000 Pin BB : 5C70B435  Email : admin@griyokulo.com

———————————–

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *