Mahar : 5,000,000,-(TERMAHAR) Tn. J Bandung
- Kode : GKO-236
- Dhapur : Sabuk Inten
- Pamor : Lar Gangsir
- Tangguh : Majapahit Abad XIV
- Sertifikasi : Museum Pusaka TMII No : 464/MP.TMII/VII/2017
- Asal-usul Pusaka : Ciamis, Jawa Barat
- Keterangan Lain : sudah dijamas dan diwarangi, warangka lawasan
Ulasan :
SABUK INTEN, diantara nama-nama dhapur keris yang menggunakan sebutan ‘sabuk’, seperti sabuk tali (luk sebelas), sabuk tampar (luk sembilan) boleh dikatakan hanya sabuk inten yang lebih akrab didengar dan banyak dimiliki hingga sekarang. Sabuk Inten adalah salah satu bentuk dhapur keris luk sebelas. Ukuran panjang billahnya sedang, permukaan bilahnya nglimpa. Keris ini memakai kembang kacang, lambe gajah-nya ada dua. Ricikan lain yang terdapat pada keris Sabuk Inten adalah sogokan rangkap, sraweyan, dan ri pandan atau greneng.
Kangjeng Kiai Toya Tinambak, Membicarakan keris sabuk inten kita akan teringat dengan beberapa kisah perjalanan Raja-raja di Tanah Jawa. Dimulai dari Keris Kanjeng Kiai Toya Tinambak. Pusaka ini adalah salah satu saksi dari kebesaran yang dijalani oleh Panembahan Senopati, menuju puncak keemasannya: mendirikan keraton Mataram. Kemasyuran Panembahan Senopati dipercaya tidak bisa dilepaskan dari pusaka ageman-nya ini yang beliau dapatkan dari Ki Ageng Pengging. Meski bentuknya sangat sederhana, namun pusaka dengan dhapur luk 11 , tangguh Pengging dan pamor beras wutah ini sangat diyakini piandelnya oleh Panembahan Senopati. Bahkan, banyak yang percaya, keris itulah yang menghantarkannya menjadi Raja di tanah Jawa, dari anak petani biasa hingga menjadi wong agung ing ngeksiganda dan mampu menyatukan seluruh wilayah pulau Jawa. Luk 11 yang ada dalam keris itu juga mencerminkan karakteristik Panembahan Senopati sekaligus selaras dengan perjalanan hidupnya yang penuh dengan liku. Anak Ki Ageng Pemanahan ini memang dikenal cerdik sebagai politikus, karena pandai menangkap momen dan ahli strategi.
Kanjeng Kiai Bontit, Kisah yang lain mengenai sabuk inten adalah Kanjeng Kiai Bontit, Kisah KK Bontit tak lepas dari sejarah keberadaan Kasultanan Yogyakarta. KK Bontit memiliki hubungan yang erat dengan Kanjeng Kiai Ageng Kopek, keris pusaka yang hanya boleh dimiliki oleh Sultan Hamengku Buwono yang bertahta. Kisahnya bisa dirunut jauh hingga masa berkuasanya Mangkubumi yang kemudian menjadi Hamengku Buwono I. Menjelang akhir masa kepemimpinannya, HB I mewariskan dua keris pusaka pada dua anaknya. Keris Kiai Kopek diserahkan kepada HB II sementara keris pendamping Kiai Kopek, Kiai Bontit diserahkan kepada pangeran Notokusumo yang kemudian menjadi Adipati Paku Alam I. Saat itu HB I berpesan kepada kedua anak kesayangannya untuk saling mendukung. Kasultanan Yogyakarta tak akan bisa berdaulat tanpa dukungan Pakualaman. Begitu pula sebaliknya, kadipaten Pakualaman tak akan ada tanpa Kasultanan Yogyakarta (Dwi Tunggal). Sepanjang sejarah Kadipaten Pakualaman, bertahtanya Adipati Paku Alam yang baru selalu ditandai dengan penyematan KK Bontit. Keris pusaka ini sekaligus menjadi simbol bahwa yang berhak mengenakannya di pinggang adalah Paku Alam yang baru dan berkuasa di kadipaten Pakualaman.
Lalu makna atau filosofi apa sebenarnya yang terkandung dalam dhapur Sabuk Inten, hingga dipilih menjadi piyandel priyayi-priyayi agung dan terus melegenda hingga sekarang?
FILOSOFI, Bentuk Sabuk Inten menurut serat Centhini artinya adalah permata yang sangat indah dan bernilai, maksudnya adalah hati manusia sendiri. Kata indah, sudahlah jelas artinya bagus, permai, cantik, elok, molek, dan sebagainya. Keindahan dalam arti terbatas lebih disempitkan hanya menyangkut benda-benda yang dapat dicerap oleh indera penglihatan, yakni berupa keindahan bentuk dan warna. Keindahan dalam arti luas menyangkut pengalaman-pengalaman seseorang dalam hubungannya dengan segala sesuatu yang diserapnya dan dapat juga dirasakan oleh orang lain. Keindahan pada dasarnya adalah sejumlah kwalita. Sedangkan nilai bukan saja membedakan tindakan manusia. Nilai juga membedakan kualitas manusia. Dahulu Plato membagi manusia berdasarkan tiga nilai; keberanian, kesenangan dan kebijaksanaan. Nilai pertama dianut prajurit, nilai kedua pedagang, dan nilai ketiga dianut ahli agama/filsuf. Pada akhirnya nilai keindahan sifat manusia terletak pada ketulusan hatinya; kemuliaan sifat manusia terletak pada kejujurannya. Sedangkan Luk sebelas sendiri pada intinya merupakan lambang keperwiraan dan semangat pantang menyerah untuk menggapai tujuan.
TANGGUH ERA MAJAPAHIT, adalah salah satu tangguh yang mempunyai penggemar fanatiknya tersendiri. Perpaduan antara Eksoteri (bahan material dan garap kasat mata) dan Isoteri (berhubungan dengan angsar, tuah dll) dianggap sebagian kalangan menyatu dalam komposisi dan harmonisasi yang pas. Material logam dan garap tempa lipat keris Majapahit dianggap lebih baik, begitu pula dengan angsar keris Majapahit dipercaya penggemar isoteri diatas rata-rata tangguh lainnya.
Secara umum bilahnya ramping dengan tantingannya sangatlah ringan. Besinya halus, padat semu nglei (halus terdiri dari material-material kecil) pertanda matang tempa. Meski pamornya harus diakui tidaklah wutuh lagi, tetapi dengan mata batin masih dapat ditangkap serta dibayangkan keindahan dan kejayaannya di masa lalu. Bentuk sogokan yang pendek agak tegak, dengan bentuk sekar kacang nguku bima menambah keunikannnya tersendiri. Kemudian yang menjadi sisi misterius lainnya adalah apabila kita lihat dari depan (sisi tajam bilah), tampak lekukan-lekukan mirip pijitan jari yang kerap ditemui pada keris-keris sombro. Apakah memang betul bekas pijitan jari sang Empu? atau kondisi alam seperti suhu, kelembaban, perawatan sebelumnya dan faktor usia ikut mempengaruhi?
Warangka sederhana masih setia mendampingi sebagai abdi bilah. Untuk material kayu warangka penulis masih belum mendapatkan jawaban yang meyakinkan. Jika pada sertifikasi ditulis warangka terbuat dari kayu jati, mungkin penulis memiliki keyakinan lain. Pola teras kayu terutama bagian belakang (berbentuk curl, seperti riak air), sepertinya ‘kurang masuk’ dalam keluarga Tectona grandis (Jati), tetapi lebih dekat dengan keluarga ‘pinang-pinangan’.
PAMOR LAR GANGSIR, tergolong pamor miring yang jarang ditemui, selain bentuk gambarannya yang rumit, dari sisi teknispun tidaklah mudah untuk membuatnya. Ditinjau dari niat pembuatannya pamor lar gangsir termasuk pamor rekan (anukarto). Sesuai dengan namanya, pola gambaran pamor ini serupa atau mirip dengan morfologi umum ruas-ruas sayap jangkrik (tegmina). Menurut kepercayaan pamor lar gangsir mempunyai tuah yang dapat membantu pemiliknya menangkal hal-hal tidak baik (tolak bala), namun pamor ini tergolong pemilih, artinya tidak semua orang akan merasa cocok bila memilikinya. Selain itu keris atau tombak dengan pamor lar gangsir biasanya tergolong tinggi mas kawinnya.
Pamor merupakan suatu karya yang tidak hanya berfungsi sebagai hiasan bilah semata, tetapi diyakini mempunyai muatan spiritual (tuah, angsar dll) juga memuat ajaran-ajaran hidup. Pamor Lar Gangsir memiliki makna simbolik tentang kerendahan hati terkait “amanah’ gelar, pangkat dan jabatan (gelar ageman siro). Kata pangkat dalam bahasa arab yaitu الجاه . Semakna dengan المنزلة yang berarti derajat , kemuliaan, atau kedudukan yang tinggi ( Al-munjid :111 ). Pangkat adalah tegaknya suatu martabat didalam hati orang-orang lain, atau semacam keyakinan hati mereka yang mencerminkan kesempurnaan didalam diri seseorang entah karena suatu ilmu, keturunan, kekuatan, rupa yang menawan atau lain-lainnya yang diyakini manusia sebagai suatu bentuk kesempurnaan. Yang perlu diingat adalah janganlah kita sombong dengan pakaian dunia seperti gelar, pangkat, jabatan, harta benda, kekuasaan dan lain-lain karena semua akan kita tinggalkan, tidak untuk dibawa mati.
Dialih rawatkan sesuai dengan foto dan deskripsi yang tertera.
Griyokulo Gallery Jl. Teluk Peleng 128A Kompleks TNI AL Rawa Bambu Pasar Minggu Jakarta Selatan
Facebook : Griyo Kulo SMS/Tlp/WA : 0838-7077-6000 Pin BB : D403E3C3 Email : admin@griyokulo.com
————————————