Tombak Kudup Teratai Methuk Wijaya Kusuma

10590558_1712292255668741_9142982091114899016_n

Mahar : 8.000.000,- (TERMAHAR) Tn. D Tuban


1. Kode : GKO-509
2. Dhapur : Tombak Kudup Teratai
3. Pamor : Wengkon Isen
4. Tangguh : Cirebon (Abad XVIII)
5. Sertifikasi Museum Pusaka No :
6. Asal-usul Pusaka :  Yogyakarta
7. Dimensi : panjang bilah 34,5  cm, panjang pesi 25,5  cm, panjang total  60 cm
8. Keterangan Lain : dhapur tombak langka


ULASAN :

“Seperti teratai yang tak memilih tempat untuk tumbuh, Dharma hadir bagi semua tanpa membeda-bedakan. Jalan menuju pencerahan mungkin diliputi penderitaan dan kekotoran batin, tetapi seperti teratai, jiwa yang setia menapaki jalan Dharma akan merekah dalam kemurnian kebuddhaan yang sejati”

KUDUP TERATAI, dalam buku Tosan Aji Pesona Jejak Prestasi Budaya yang ditulis oleh Prasida Wibawa dan diterbitkan oleh PT. Gramedia Pustaka Utama Jakarta, 2008 (walau tanpa disertai deskripsi tulisan), tombak Kudup Teratai digambarkan memiliki keunikan tersendiri dibandingkan dhapur tombak lain, yakni pada bagian sor-soran yang biasanya berbentuk bulat, siku, kuping, atau bentuk-bentuk lainnya, seperti ganan (putut dan naga), namun pada Kudup teratai setelah bagian methuk meliuk indah layaknya sepucuk tangkai dan kuntum yang bentuknya menyerupai bunga teratai yang sedang mekar dengan empat kelopak. Bentuk ini disinyalir terpengaruh Hindu dan Budha. Tombak dhapur Kudup Teratai termasuk dhapur tombak yang langka dan sudah jarang ditemui.

MAKNA SIMBOLIK HERMENEUTIK

Dalam Budaya Islam (Melayu)

Dalam filosofinya, teratai bukan hanya penghias mata tetapi juga penutur rahasia langit. Kudup atau kuncup bunga ini melambangkan permulaan dari segala ciptaan, titik awal dari wujud yang belum sempurna namun mengandung potensi penuh untuk berkembang. Ia menjadi simbol dari hakikat awal, yang dalam tradisi tasawuf disebut sebagai “al-Ahadiyah — suatu realitas spiritual pertama sebelum segala sesuatu tercipta. Seperti kudup yang menyimpan seluruh bagian bunga di dalamnya, hakikat ini pun mengandung keseluruhan potensi alam semesta dalam bentuk yang belum tampak. Tangkai teratai yang tegak di tengah air digambarkan sebagai lambang Zat Allah yang tidak terlihat namun menjadi asas segala wujud—sebuah penggambaran puitis tentang bagaimana yang ghaib menopang yang nyata.

Seiring waktu, kudup ini mekar perlahan menjadi bunga utuh yang sempurna. Setiap kelopak yang terbuka melambangkan perwujudan individu-individu, alam, dan kehidupan yang berasal dari satu sumber tunggal. Inilah manifestasi dari Nur Muhammad yang menyinari dan membentuk keberadaan. Dengan demikian, Kudup Teratai menjadi jembatan simbolis antara dunia yang tidak terlihat dan dunia yang bisa dirasa dan dijamah. Kudup Teratai juga sebuah simbol perjalanan spiritual—dari yang gaib menuju yang nyata, dari potensi menuju kenyataan, dari Yang Esa menuju keberagaman ciptaan. Ia mengajarkan bahwa di balik setiap wujud yang kita lihat, ada asal usul yang suci dan menyatu.

Budha

Sejak ribuan tahun yang lalu, bunga teratai adalah salah satu simbol yang paling banyak digunakan dalam sejarah. Ia juga menjadi simbol penting bagi beberapa agama dan budaya, terutama Hindu dan Budha. Di antara simbol agama Budha tertua dan paling umum adalah stupa, roda Dharma, dan bunga teratai. Dari semua bunga, Sang Buddha memilih bunga teratai, mengapa?

Teratai telah digunakan dalam ajaran Buddha untuk menyampaikan sifat sejati seluruh umat manusia. Secara umum, Teratai, yang tumbuh dari batang panjang dan akar tanaman yang terbenam jauh dalam lumpur namun mekar di atas permukaan air tanpa ternoda, menjadi simbol pencerahan dalam ajaran Buddha. Ia melambangkan bagaimana seseorang bisa bangkit dari penderitaan dan kekotoran duniawi (diibaratkan lumpur) menuju pencerahan spiritual yang murni (dilambangkan bunga yang mekar indah di atas permukaan air). Ini selaras dengan inti ajaran Sutra Teratai, yang menekankan bahwa semua makhluk memiliki potensi untuk mencapai kebuddhaan.

Namun, perjalanan bunga teratai tidak dimulai di udara terbuka melainkan dalam air yang tersembunyi di bawahnya. Sebagai kuncup, ia terbenam dalam air yang jauh dari kesempurnaan—lumpur yang pekat, keruh oleh puing-puing alam maupun ulah manusia, dihuni oleh ikan dan serangga yang tak selalu ramah. Tetapi saat berbunga, kuncup itu membebaskan dirinya dari belenggu lamanya, merekah untuk menyambut sang mentari di wajahnya. Mungkin, hanya sedikit yang memperhatikan keajaiban ini: tidak ada bagian kelopak yang pernah bersentuhan dengan air kotor. Jantung bunga tetap utuh, terlepas dari lingkungan tempat ia memulai hidupnya. Ini adalah analogi indah bagi jiwa manusia: “tidak peduli seberapa keras dunia fana menyuguhkan berbagai kesulitan dan menghajar dengan serangkaian penderitaan, tidak ada yang dapat mengubah kemurnian jiwa manusia”.

Hindhu

Dalam bahasa Sansekerta Padma adalah sebutan tanaman bunga teratai merah (lat. Nymphaea rubra). Ada tiga jenis teratai lainnya yang juga memiliki nama khusus dalam bahasa Sansekertanya, yaitu teratai putih (Skt. kumuda) (lat. Nymphaea alba); teratai kuning (Skt. nilpala) (lat. Nymphaea mexicana); dan teratai biru (Skt. utpala) (lat. Nymphaea capensis). Tanaman teratai merah memiliki karakteristik selayaknya tanaman teratai pada umumnya yang merupakan sejenis tanaman air tawar. Akar dan umbinya tumbuh menjalar di dalam lumpur di bawah air; batangnya tumbuh terendam dalam air; sedangkan daunnya yang lebar mengembang berada di atas permukaan air. Tunas bunga padma yang masih muda akan tumbuh dari umbi tanaman yang berada di media lumpur di dasar kolam atau danau. Tunas bunga ini akan makin membesar dan bertumbuh semakin naik ke permukaan air. Ketika tunas atau kuncup bunga tersebut sudah mencapai masanya, bunga itu akan mekar, merekah mengembang di atas permukaan air.

Tanaman padma dan tanaman teratai lainnya dikenal sebagai tanaman suci dalam pandangan Agama Hindu, Buddha, dan berbagai agama lokal yang tumbuh berkembang di wilayah Asia Timur, Asia Tenggara, Asia Tengah, dan Asia Selatan. Dalam budaya Mesir kuno, teratai juga dikenal sebagai salah satu tanaman yang disucikan dan banyak dijadikan sebagai motif ragam hias bangunan, lukisan, dan patung. Karakter teratai yang tumbuh di tiga jenis media yang berbeda, yaitu tanah (lumpur), air, dan udara menjadi salah satu dasar pertimbangan ditetapkannya tanaman air tawar ini sebagai tanaman yang mampu mewakili karakter tiga tingkatan alam jagat raya yang dikenal dalam filsafat dunia timur, yaitu alam bawah, alam tengah, dan alam atas. Dalam banyak karya ikonografi Hindu bunga ini juga sering dikaitkan dengan beberapa dewa Hindu seperti Wisnu, Brahma, Kubera, Lakshmi, Parwati, dan Saraswati.

Bunga teratai dalam ajaran Hindu merupakan simbol yang sangat mendalam, menggambarkan kesucian, pencerahan, dan pencapaian spiritual. Teratai tumbuh dari dasar lumpur yang kotor, namun berkembang dan mekar di atas permukaan air yang tenang, melambangkan perjalanan jiwa menuju pembebasan (moksha). Seperti halnya teratai yang tidak ternoda meskipun tumbuh di air keruh, jiwa yang tercerahkan dapat tetap bersih dari kekotoran duniawi, tidak terpengaruh oleh nafsu dan keinginan. Dalam pandangan Hindu, bunga teratai ini juga melambangkan kesadaran yang berkembang, di mana manusia, dengan meditasi dan kesabaran, dapat mencapai pencerahan yang murni.

Budaya Lokal Cirebon

KEMBANG KLIYANG, apabila kita cermati lebih seksama pada bagian methuk tombak ini terdapat semacam bentuk kelopak bunga. Bentuk tersebut mirip dengan “kembang kliyang” atau bunga tiba, yakni motif dan hiasan yang terlihat pada rupa topeng Cirebon. Ornamen kembang kliyang hanya terdapat pada karakter Panji dan Patih/Tumenggung yang memperlihatkan watak manusia dewasa yang telah menemukan jati diri serta segala kebaikan dalam dirinya. Dalam keislaman, ia telah mencapai tingkatan tarekat dimana  semua perilaku sehari-hari mengacu pada sunnah, hadist Nabi, dan Al-quran sebagai penunjuknya.

METHUK WIJAYA KUSUMA, Dalam dunia pemaharan tosan aji (bakulan), bentuk methuk tombak atau bagian melingkar seperti cincin yang mempertemukan antara bilah tombak dengan pesi semacam ini (yang mirip kelopak bunga) justru lazim disebut methuk wijaya kusuma. Entah kebetulan atau tidak, tombak ini jika diperhatikan dengan seksama ternyata juga menyerupai kuncup bunga wijayakusuma sebelum mekar, stilasi lekukan batang sebelum merekah menjadi kuntum mensugesti pikiran kita akan potensi kekuatan yang belum mewujud, mensyaratkan kesiapan, yang menanti waktu untuk menyala. Dalam methuk itu, tombak ini seolah menyimpan nafas, menunggu saatnya menghembuskan daya spiritualnya kepada siapa yang layak.

Dalam alam batin masyarakat Jawa, bunga Wijayakusuma bukan sekadar flora yang mekar diam-diam di tengah malam; ia adalah simbol agung kekuasaan, keunggulan, dan kemenangan. Konon, bunga ini hanya akan merekah pada malam-malam tertentu yang penuh rahasia, dan siapa pun yang menyaksikan mekarnya sang bunga dipercaya akan dilimpahi wahyu dan keberuntungan besar. Para raja dan bangsawan Jawa dahulu mencari bunga ini dalam laku tapa dan semedi, percaya bahwa kemunculannya adalah tanda restu dari alam gaib, sebagai legitimasi spiritual bagi pemimpin sejati.

Mekarnya yang hanya sekali-sekali dan di malam sunyi menjadikan bunga ini ibarat wahyu langit yang turun perlahan (restu ilahi), hanya bagi mereka yang hati dan batinnya telah siap menerima. Dalam tradisi keraton, Wijayakusuma diyakini sebagai bunga yang mampu menghidupkan kembali harapan. Dalam lakon pewayangan, salah satu tokoh terkenal yang dikisahkan hidup kembali karena bunga Wijayakusuma adalah Gatotkaca—sebuah metafora spiritual bahwa jiwa yang hampir padam dapat kembali menyala bila disentuh oleh cahaya ilahi. Mencari bunga wijaya kusuma seringkali menjadi simbol laku spiritual seorang ksatria. Tak heran bila bunga ini dianggap sakral dan digunakan dalam ritual ruwatan, pengobatan spiritual, bahkan syarat penobatan raja. Wijayakusuma bukan hanya bunga, ia adalah jembatan antara dunia nyata dan alam kasunyatan.

PAMOR WENGKON ISEN, wengkon adalah pamor yang bentuknya  menyerupai garis yang membingkai sepanjang sisi pinggir bilah. Sedangkan isen dalam bahasa Jawa artinya adalah isian. Maksud pamor wengkon isen adalah bentuk pamor wengkon yang mempunyai isian pamor lain di dalamnya. Tuah pamor wengkon isen kira-kira hampir sama dengan pamor wengkon, Pola pamor ini melambangkan perisai, perlindungan, atau penangkal terhadap suatu malapetaka, penyakit, nasib buruk dan kejadian-kejadian yang tak terduga. Atau dalam isyarat lain merupakan wujud doa dan harapan akan tidak ada bahaya, tidak ada masalah dan tidak ada halangan (siro winengku, nir ing sambekolo). 

CATATAN GRIYOKULO, Tidak setiap saat kita bisa menemukan tombak semacam ini di dunia pemaharan tosan aji, karena memang selain unik juga sudah jarang ditemukan. Secara bentuk tombak Kudup Teratai ini terbilang sangat utuh. Bagian pesi memiliki panjang 25,5 cm, yang secara dimensi boleh dikatakan berlebih panjangnya menjadi problem sendiri jika ingin mengganti landeyan. Namun, jika boleh jujur, idealnya tombak ini lebih “masuk” atau serasi bila dipasangkan pada landeyan panjang sehingga dalam kacamata spiritual akan mempertegas dirinya bukan tombak biasa, sekaligus memancarkan lebih aura perbawanya.

Keunikan lain dari tombak ini jika dirasa-rasakan seolah memiliki condong leleh. Rasa penasaran ini membuat Penulis mengukur dengan seksama, alhasil “feeling” tersebut benar adanya, dengan didapatkannya hasil 84 derajad pada pengukuran menggunakan penggaris dan busur.

Menyebut “Tangguh Cirebon”, orang kini seolah sudah lupa membayangkan jejak kebesarannya di masa lalu sebagai kota pelabuhan dan kerajaan pesisir yang termasyur, tetapi saat ini justru lebih kerap menggunjingkan hal-hal yang berbau mistis, sesuatu yang lazim melekat di daerah yang pernah punya pengaruh dan kharisma besar pada masanya. Cirebon sendiri sebenarnya dulunya merupakan sebuah wilayah kerajaan yang menarik dan memiliki banyak cerita, kaya akan warna serta keanekaragaman. Di sana, berbagai peradaban dan agama saling berbaur, tumbuh dan berkembang berdampingan, dalam proses yang panjang menciptakan akulturasi budaya yang harmoni dalam karya-karyanya. Tak terkecuali tampak pada bentuk keris dan tombaknya. Tak  sekadar senjata “tontonan”, tetapi juga lambang “tuntunan” dari simbol-simbol masa lalu yang tetap relevan dengan masa kini.

Dialih-rawatkan (dimaharkan) sesuai dengan foto dan deskripsi yang tertera.


🌍 Jelajahi Dunia Tosan Aji
🔍 Temukan kawruh yang tersembunyi
📚 Jurnal, majalah, buku, hingga serat-serat kuno kini tersedia di SINENGKER.COM
📖 Ayo sinau bareng!

👉 TEKAN UNTUK MASUK 🗝️


Contact Person :

Griyokulo Gallery Jl. Teluk Peleng 128A Kompleks TNI AL Rawa Bambu Pasar Minggu Jakarta Selatan

Facebook : Griyo Kulo SMS/Tlp/WA : 0838-7077-6000 Email : admin@griyokulo.com

————————————

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *