Mahar : 15.000.000,-(TERMAHAR) Tn. AHP, SCBD Jakarta
1. Kode : GKO-463
2. Dhapur : Jangkung Mangkurat
3. Pamor : Ngulit Semangka
4. Tangguh : Nom-Noman ( Peralihan Kartasura-Surakarta?) (Abad XVIII)
5. Sertifikasi Museum Pusaka No : 670/MP.TMII/IV/2021
6. Asal-usul Pusaka : Jakarta
7. Dimensi : panjang bilah 36 cm, panjang pesi 7 cm, panjang ganja 9 cm, condong leleh 80 derajad
8. Keterangan Lain : kolektor item
ULASAN :
JANGKUNG MANGKURAT, mengambil referensi dari tabel ricikan dan nama dhapur dalam Buku Keris Jawa Antara Mistik dan Nalar (2006) karangan Alm. Haryono Haryoguritno, Dhapur Jangkung Mangkurat memiliki ciri-ciri sebagai berikut: Luk tiga, gandhik memakai kembang kacang, jalen, lambe gajah-nya satu (1), pejetan dan greneng pada bagian ganja. Menurut sebagian kalangan, dhapur Jangkung Mangkurat dan Jangkung Mangkunegara cocok dimiliki oleh para pejabat tinggi pemerintahan, perwira militer/polisi, hingga anggota legislatif yang taksu-nya diyakini dapat memperlancar karier, pangkat dan kedudukan yang mapan bagi pemiliknya.
FILOSOFI, Kata Jangkung berarti menuntun, melindungi, mengawasi, dan menjaga dari kejauhan. Sedangkan Mangkurat berasal dari kata mangku yang berarti menopang atau menyangga dan rat artinya adalah jagad atau dunia semesta. Jangkung Mangkurat mempunyai arti mengatur jagad semesta dan seisinya. Berdasarkan nama tersebut, tersirat makna simbolik terkait dengan suatu ajaran kepemimpinan.
Bahwa hidup orang jawa itu kiblatnya bukan untuk dirinya sendiri. Bahwa selain ‘hamengku-memangkat‘ trah keluarga sendiri, untuk menjadi manusia yang unggul dan berderajad tinggi, juga hamengku, hamengkoni, hamemangku, menjunjung tinggi masyarakat yang ‘ngawula‘ kepadanya, serta masih pula berjuang demi kesejahteraan seluruh umat manusia. Pendek kata membuat dunia menjadi tempat yang semakin layak dihuni oleh manusia.
Ada 5 (lima) ricikan dhapur Jangkung Mangkurat yang masing-masing memiliki makna mendalam, yakni:
Kembang Kacang, merupakan simbol untuk selalu tumbuh dan berkembang. Seorang pemimpin hendaknya berorientasi ke depan dalam menjalankan tugas yang diembannya, agar sesuatu yang menjadi tanggung jawabnya akan tumbuh terencana dengan baik. Kembang kacang juga melambangkan sikap optimis dalam menjalankan kepemimpinan.
Jalen, asal kata dari jalu (taji ayam jago) yang merupakan simbol keberanian. Dimana setiap pemimpin harus berani mengambil resiko dari segala keputusan yang akan atau telah diambil. Meskipun keputusan tersebut tidak populis, asal bertujuan untuk kemashalatan orang banyak, tentunya jalan itu harus berani ditempuh.
Keberanian dalam membela kebenaran atau berpijak pada hukum yang berlaku tanpa pandang bulu. Dan keyakinan menjalankan kebenaran sesuai dengan ajaran Sura Dira Jayaningrat Lebur Dening Pangastuti, yang berarti kejahatan atau kekerasan akan terkalahkan dengan kehalusan budi, atau kekerasan tidak harus dilawan dengan kekerasan. Dalam hal ini seorang pemimpin harus berani dan tanpa ragu menjalankan fungsi pemerintahannya, tahu kapan dia memberikan toleransi dan tahu kapan harus bertindak tegas.
Lambe gajah, merupakan simbol ucapan yang dapat dipercaya. Seorang pemimpin harus teguh memegang janji yang telah diucapkan. Esuk dhele sore tempe, merupakan ungkapan yang harus dihindari. Ungkapan tersebut menunjukkan tabiat seseorang yang dengan mudahnya merubah perkataannya sekehendak hati, berubah pendirian dalam waktu singkat (plin-plan). Sikap demikian tentu saja akan mendatangkan masalah tidak hanya bagi dirinya namun juga orang lain. Sehingga dalam setiap permasalahan yang muncul hendaknya dipelajari dan dipertimbangkan secara matang dengan segala konsekuensinya, sebelum pengambilan keputusan.
Blumbangan, melambangkan sikap berlapang hati dan sabar. Seorang pemimpin hendaknya memiliki hati sedalam lautan dan seluas samudera. Itulah ciri-ciri pemimpin yang mau menampung segala aspirasi yang berkembang di masyarakat dan mampu menerima segala kritikan terhadap dirinya.
Greneng, merupakan simbol momong rasa atau kemampuan dalam pengendalian diri. Kemampuan pengendalian diri merupakan inti dari semuanya. Pada zaman dahulu olah rasa sering dicapai dengan jalan bertapa atau bersemedi. Sebagai mana laku tapa dalam konteks saat ini, bertapa dalam konotasi moderen berarti menjalankan ibadah dan ajaran agamanya secara baik dan benar. Keutamaan dalam laku ini yaitu pengendalian diri terhadap keduniawian (sepi ing pamrih), dan kesediaan untuk memenuhi kewajibannya secara bertanggung jawab (rame ing gawe). Seorang pemimpin akan kehilangan sifat keutamaannya jika mengikuti hawa nafsunya dan mengejar pamrih. Pamrih akan melunturkan kekuasannya, karena pusat pengendalian diri tidak terletak pada batinnya lagi, tetapi lebih banyak dikotori unsur-unsur negatif dari luar.
Itulah antara lain cita-cita yang diusung dari suatu ajaran yang tersimbolkan dalam dhapur Jangkung Mangkurat. Pemimpin yang baik hendaknya menyadari betul, seiring kekuasaan besar membawa konsekuensi tanggung jawab yang besar pula.
TANGGUH NOM-NOMAN SURAKARTA, Secara umum, bilah keris tangguh Nom-noman Surakarta agak panjang dibanding keris tangguh Mataram atau Majapahit. Jika keris dua tangguh kerajaan besar di Jawa ini mempunyai panjang antara 30 – 35 cm, maka keris tangguh Surakarta sedikit lebih panjang, yaitu antara 35 – 38 cm, Bilahnya berbentuk daun singkong (anggodong pohung), dengan ketebalan sekitar dua kali lipat keris-keris umumnya, dan pada bilahnya terdapat ada-ada, gusen serta gula milir. Condong leleh-nya mempunyai kemiringan 80 derajad. Jika memakai luk, biasanya mempunyai luk yang rengkol (dalam) seperti ular yang sedang berenang. Sementara kalau keris Surakarta memakai kembang kacang, biasanya bentuknya nggelung wayang. Pamornya relatif rumit, lembut, tidak bertindihan satu sama lain, dan biasanya merata di seluruh permukaan bilah. Selain itu ujung keris Surakarta berbentuk mbuntut tuma.
Beberapa detil lain yang khas dari keris Nom-noman Surakarta adalah bentuk ganja-nya agak melengkung dan sirah cecak-nya tidak begitu meruncing pada ujungnya. Gulu meled dan wetengan-nya berukuran sedang. Umumnya ganja kerisnya berpamor maskumambang dengan ekor ganja melebar (mbuntut urang). Jika memakai tungkakan, maka sudutnya mbuweng (tidak lancip), posisi Dha-nya yang sangat wangun (elok) dan pas, berurutan membentuk suatu greneng yang luwes. Sedangkan ciri yang lainnya, bentuk pesi dari pangkal hingga ujung mempunyai diameter yang sama (gilig).
Dari sejarahnya, Kerajaan Surakarta merupakan penerus dari kerajaan Kartasura. Karena dipimpin oleh seorang raja, maka Surakarta berhak mempunyai tangguh-nya sendiri. Surakarta membangun bentuk tersendiri. Maka keris Surakarta (PB) merupakan perkembangan dari keris pendahulunya, Kartasura. Masa peralihan ini berlangsung semenjak Sunan Pakubuwana II memindahkan ibukota kerajaan dari Kartasura ke ibukota yang baru Surakarta Hadiningrat. Saat Sunan Pakubuwana III dinobatkan menjadi raja, ia menata semua bentuk kebudayaan baru agar berbeda dengan Kartasura, termasuk keris, yang banyak dibuat oleh Empu-Empu dari Madura, seperti Empu Brajaguna II, Maragati putra Empu Sendhang Koripan, dan Sumaragati.
MAS KUMAMBANG, adalah pamor yang terletak di bagian gonjo. Bentuknya merupakan garis mendatar yang berlapis-lapis mirip dengan kue lapis. Jumlah lapisannya pun beragam, ada yang hanya dua atau tiga lapis saja, namun ada pula yang sampai enam bahkan tujuh lapis. Namun jumlah lapisan tersebut tidak berpengaruh pada tuahnya hanya menunjukkan jumlah lipatan pamornya. Pamor Mas Kumambang ini menurut sebagian pecinta keris termasuk baik tuahnya. Pemilik keris dengan ganja semacam ini bisa bergaul baik dengan kalangan atas maupun bawah. Mereka yang dalam pekerjaannya banyak berhubungan dengan orang lain atau pihak ketiga, tidak ada salahnya jika memiliki keris yang gonjo-nya berpamor mas kumambang ini.
PAMOR SEMU NGULIT SEMANGKA, disebut demikian karena pamor yang dibuat oleh sang Empu mirip sekali dengan corak pada kulit buah semangka, yakni berupa beberapa garis lengkung dari bentuk garis lengkung terkecil kemudian melebar dengan lengkungan yang membesar, menunjukkan gerak yang teratur harmonis.
Dapat dikatakan bahwa lukisan garis-garis lengkung pada pamor ngulit semangka ini membawa pesan moral dalam kehidupan manusia yang selalu berubah (naik dan turun). Menjadi orang yang lebih percaya diri (optimis), bijaksana dalam memutuskan suatu permasalahan (dinamis), dan pandai dalam pergaulan untuk menyesuaikan dengan segala keadaan (flexible). Fase kehidupan yang kemudian berkembang untuk mencari jati diri, mau belajar dan menjalin kehidupan sosial agama. Yang nantinya akan membawa dirinya menuju ke dalam penyatuan diri melalui pasang surut keadaan, dan pada akhirnya harus kembali ke asalnya.
CATATAN GRIYOKULO, Keris-keris Nom-noman (dalam hal ini Surakarta) dikenal kokoh, gagah, meyakinkan dan juga menarik hati. Bentuknya yang mencuri pandang sebagaimana yang kita kenal saat ini dianggap puncak dari evolusi dan penyempurnaan bentuk keris pada masa sebelumnya. Sandangan seperti warangka, pendhok, jejeran, selut yang terpasang biasanya juga terbilang sangat mewah. Oleh karenanya keris Nom-noman Surakarta sering disebut sebagai pusaka yang macak baris. Macak berarti berhias, sedangkan bares berarti baik dan rapi. Maka macak bares (yang akhirnya dilafalkan macak baris), menggambarkan pusaka-pusaka gaya Surakarta yang selalu berpenampilan mewah dan baik.
Diantara keris berluk normal (3-13), justru keris luk tiga-lah yang jarang ditemui. Terkesan sepele memang, namun jika diresapi betul sangatlah tidak gampang membuat keris dalam jumlah kelokan yang hanya tiga. Kematangan roso akan sangat diuji disini, sang Empu akan dihadapkan masalah dalam menentukan panjang tarikan luk awal sebab akan mempengaruhi proporsi bilah selanjutnya, salah-salah hasilnya akan terlihat tidak sekeca atau wagu. Maka tidak lah mengherankan jika kemudian banyak kolektor yang mengidam-idamkannya.
Penampilan keris Jangkung Mangkurat ini tergolong gagah dan berwibawa, jika diibaratkan seorang satriya mempunyai perawakan gede dhuwur gagah prakoso. Penulis menjamin siapapun jika sekali pernah menanting akan langsung dibuat kesengsem. Melalui identifikasi visual terlihat bilah masih sangat TUS, dari ujung panitis turun dalam setiap liukan luk-nya, sampai rojehan greneng, hingga bagian pesi-nya tidak ada yang berkurang. Ada-ada yang tebal seolah menambah karakter ketegasan yang hendak ditonjolkan. Bentuk kembang kacang nggelung wayang, menambah watak nyatriyo. Karakter pamor ngulit semangka dengan garis-garis yang tebal berwarna putih membawa darah Empu-empu dari madura, seolah menyiratkan watak keras di luar namun lembut di dalam. Pada era PB III, keris Surakarta belum mbangkek atau mempunyai bangkekan (pingggang). Yang menarik jika kita ukur pada pangkal sirah cecak (gulu meled) ke bagian perut ganja (wetengan) berjarak 2 cm. Teknologi klan Brojoguno kah yang diadopsi keris ini?
Sebagai penutup, warangka yang dipakai untuk menyandangi keris terbuat dari kayu cendana wangi dengan hulu pilihan kayu tayuman, pendok dan mendak lapis emas sudah cukup miyayeni untuk mengiringi kegagahan sang bilah. Sudah macak baris.
Dialih-rawatkan (dimaharkan) sesuai dengan foto dan deskripsi yang tertera.
Griyokulo Gallery Jl. Teluk Peleng 128A Kompleks TNI AL Rawa Bambu Pasar Minggu Jakarta Selatan
Facebook : Griyo Kulo SMS/Tlp/WA : 0838-7077-6000 Email : admin@griyokulo.com
————————————