Mahar : 13.000,000,- (TERMAHAR) Tn D, Ciputat, Tangerang Selatan
1. Kode : GKO-368
2. Dhapur : Nagasasra
3. Pamor : Beras Wutah
4. Tangguh : Mataram Madiun (Abad XVIII)
5. Sertifikasi Museum Pusaka No : 753/MP.TMII/VI/2019
6. Asal-usul Pusaka : Rawatan/Warisan Turun Temurun
7. Dimensi : panjang bilah 34,3 cm, panjang pesi 6 cm, panjang total 40,3 cm
8. Keterangan Lain : dhapur sangat langka
ULASAN :
NAGASASRA, adalah salah satu varian dhapur ‘keluarga’ Naga yang paling banyak diminati dan dicari oleh para kolektor hingga pejabat di negeri ini. Keris ini ber-luk tigabelas dengan bagian gandik yang diukir ornamen bentuk kepala naga bermahkota, dengan badan serta ekor seolah menggeliat ke arah pucuk bilah mengikuti kelokan (luk) bilahnya. Ricikan lain yang terdapat pada keris dapur Nagasasra biasanya adalah greneng sungsun.
Keris Nagasasra seringkali dihias dengan tinatah emas motif lung-lungan serta mut-mutan butiran emas atau batu mulia pada moncong naga yang menganga, sehingga penampilannya berkesan mewah, gagah dan berwibawa. Mitologi Hindu mendudukkan emas dalam kasta teratas (diantara 8 logam lainnya) sebagai logam mulia yang memiliki tuah atau kekuatan menetralkan energi dan memiliki sifat surgawi. Konon, sumpalan butiran emas atau batu mulia itu berfungsi untuk meredam sifat “galak” dan “panas” dari keris itu. Konon pula, bila situasi gawat, butiran emas atau berlian yang menyumpal di mulut naga itu dicopot, agar tuah keris itu kembali garang dan menakutkan.
FILOSOFI, Naga berarti ular (jantan), karna dalam bahasa Sansekerta ular betina disebut Nagini. Naga adalah makhluk mitologis yang melegenda hampir merata di seluruh dunia. Wujud fisiknya bisa jadi berbeda-beda, sesuai dengan tempat dimana makhluk tersebut diceritakan, namun, ada sebuah kesamaan dari masing-masing cerita dimana makhluk ini selalu digambarkan seperti ular dan mempunyai kekuatan supranatural.
Sedangkan Sasra berasal dari kata Sahasra yang dalam bahasa Sansekerta berarti seribu. Babad Tanah Jawi dan Babad Demak menceritakan bahwa keris Nagasasra yang bernama Kiai Segara Wedang merupakan perpaduan dari seribu keris – pusaka Majapahit yang sengaja dibuat untuk menggantikan Kiai Condong Campur dan diharapkan bisa meredam 1.000 macam bencana dan pemberontakan di Majapahit kala itu.
Hal menarik lainnya dalam ungkapan-ungkapan Jawa (bahasa pedalangan) dimana masyarakat Jawa cenderung menggunakan istilah sewu (seribu) bukan yuta (juta) untuk menggambarkan jumlah yang abstrak (karena banyaknya), namun masih rasional dalam jangkauan alam pikir. Seperti bolo sewu yang merupakan istilah yang biasa dipergunakan untuk menyebut bala tentara suatu kerajaan yang sangat besar. Adapula widodari cacah sewu kurang siji untuk menyebut jumlah bidadari yang sangat banyak yang diberikan kepada Arjuna karena telah membantu para Dewa. Juga misalnya ngastino kabelo sewu negoro, merupakan istilah yang biasa dipergunakan untuk menyebut jumlah kerajaan yang membela Hastina dalam perang Bharatayudha, dan lain sebagainya.
Kata sewu atau ewu dalam jarwo dosok sering dikaitkan dengan istilah awu atau dalam bahasa Indonesia abu yang memiliki pengertian kembali ke asal (sangkan paraning dumadi). Jika ditinjau dari segi bahasa, sangkan berarti asal, paran berarti tujuan, dan dumadi berarti segala hal yang dijadikan/diciptakan. Sehingga secara harfiah, ingat akan sangkan paraning dumadi, berarti juga ingat akan sesuatu yang menyebabkan semua ini terjadi. Sebuah kearifan bagi manusia untuk selalu ingat Sang Pencipta. Kearifan ini juga membawa kita pada logika untuk berpikir bahwa semua hal berawal dari Tuhan dan akan kembali juga kepada Tuhan. Kembali kepada Tuhan berati mati. Kematian adalah sebuah misteri yang pasti dan tak terelakkan. Ada kalanya kematian menghadirkan ketakutan bagi mereka yang terlalu mencintai duniawi. Sedangkan dalam ajaran makrifat Jawa, kematian mengacu pada pengertian pulang ke asal mula keberadaan (Sangkan paraning dumadi). Kematian bukanlah sesuatu yang harus ditakuti. Kematian tak ubahnya sebuah pengalaman spiritual yang menyenangkan, untuk kembali pada asal-muasal penciptaan.
MUT-MUTAN EMAS, Seorang Raja atau Pemimpin, selain memiliki ketajaman penglihatan dan pendengarannya yang paling utama adalah menjaga tutur katanya (sabda). Kehati-hatian dalam menjaga setiap perkataan yang terucap dari mulutnya tersirat dari bentuk moncong sang Naga yang membuka (menyeringai) dan menggigit sebuah butiran emas (kadangkala dijumpai berupa batu mulia). Makna moncong Naga yang menggigit butiran emas dapat dihubungkan pada konsep kekuasaan Jawa, bahwa seorang Raja/Pemimpin senantiasa berpegang pada prinsip sabdo pandita ratu tan keno wola-wali, artinya sabda seseorang raja hanya sekali ucap (tidak boleh berubah-ubah). Apa yang sudah diucapkan pantang untuk ditarik kembali. Sikap ini menuntun pada sikap bijaksana yang harus dimiliki oleh seorang Raja, yaitu satunya kata dan perbuatan. Terlebih masyarakat Jawa senantiasa mengajarkan moral yang baik mengenai bagaimana seseorang harus menjaga kata-katanya. Tidak ada yang lebih mulia dari seorang manusia yang dapat menjaga lisannya, dan tidak ada yang lebih buruk di dunia ini daripada seseorang yang mengingkari kata-katanya.
Moncong Naga yang menggigit butiran emas/batu mulia juga memiliki makna kesaktian karena senjata pamungkas (bisa) yang keluar dari mulutnya bisa sangat mematikan (beracun), oleh karena itu Naga senantiasa menjaga bisanya. Hal ini dapat diartikan sebagai sebuah jalan hidup (way of life) untuk dapat menekan sifat adigang, adigung, adiguna. Tidak boleh memuja pribadinya ataupun memuja nafsu dunia.
TANGGUH MATARAM MADIUN, Bagi mereka yang menyukai gemerlap keindahan pamor seperti pada keris Mataram Sultan Agung, atau Nom-Noman Surakarta (Pakubuwono) dan Yogyakarta (Hamengkubuwono) mungkin akan kurang bisa menikmati garap Keris Madiunan yang terkesan kaku dengan pamor yang meski penuh rata-rata kelem (tidak ndeling/byor). Memang jika ditilik dari sejarah Madiun sendiri, semenjak dari Majapahit-Demak-Pajang hingga Palihan Nagari (1755) Madiun tidak pernah berdiri sebagai kerajaan sendiri. Dengan demikian pengaruh kerajaan yang berkuasa atau kota raja tentu akan sangat berpengaruh pada budayanya, termasuk langgam keris. Namun jangan salah, meski seringkali dicibir sebagai pusaka “kelas Kadipaten” banyak diantaranya yang besinya ditempa padat dan cukup bagus. Mpu-Mpu di Madiun juga dikenal pintar dalam memilih material pada zamannya, sehingga jarang kita melihat keris-keris Madiun yang keropos-keropos atau rusak.
Keris Madiun memang diciptakan sesuai zaman dan keadaan masa itu yang penuh dengan pergolakan, dimana tidak terlalu mementingkan keindahan garap. Karena setelah Pajang sebagai kelanjutan Demak runtuh, Mataram sebagai kerajaan yang masih muda, menjadi ancaman bagi kerajaan kecil atau kadipaten-kadipaten di Jawa Timur yang berdiri sendiri, termasuk Madiun yang enggan diperintah Mataram, sehingga mereka perlu memperkuat diri – antara lain dengan cara membuat sebanyak mungkin senjata seperti keris dan tombak. Dalam kesederhanaannya, sebagian besar keris-keris Madiun memiliki perbawa tersendiri. Dan memang unsur esoteri inilah yang sepertinya sengaja ditonjolkan oleh keris-keris Madiun.
Bilahnya cukup tebal dan nglimpa dengan tantingan sedang khas Mediyunan. Besinya kereng (hitam wingit) demikian juga pamornya, meski kebak (penuh) namun kelem atau tidak ndeling. Ornamen Naga yang ada mengikuti pakem Naga Jawa pada umumnya dengan irah-irahan mahkota, sumping (hiasan pada daun telinga) dan kalung layaknya seorang Raja dalam pakaian kebesarannya. Terasa lebih banyak mendapat pengaruh Mataram daripada naga-naga pada keris Madiunan yang biasanya terkesan lebih primitif. Demikian pula dengan bentuk gonjo-nya terasa lebih Mataraman (agak melengkung atau melandai pada bagian ekor gonjo), berbeda dengan rata-rata gonjo keris Madiun yang rata-rata datar/lurus.
Secara khusus bentuk mahkota naga yang ada pada pusaka ini menyerupai makutha dengan jamang bersusun tiga milik Prabu Kresna (tinggi). Bentuk irah-irahan (berasal dari bahasa Jawa ‘sirah‘, artinya adalah kepala. Dalam dunia pewayangan adalah sebutan bagi penutup kepala, bentuk-bentuk sanggul dan bentuk gelung rambut) ini akan menentukan dari golongan mana tokoh itu termasuk. Karena itu terdapat istilah Nagaraja yang biasanya akrab di kalangan pecinta keris di Surakarta untuk menyebut keris dhapur Nagasasra yang mahkota kepala naganya mirip dengan bentuk mahkota Prabu Kresna dalam pewayangan. Karena dalam dhapur Nagasasra adapula bentuk mahkota lain yakni mirip topong yang dikenakan tokoh wayang Adipati Karna. Cukup beralasan kiranya jika Sunan Kalijaga memberi julukan dhapur Nagasasra juga dengan sebutan dhapur Wisnu, dimana Prabu Kresna adalah titisan Bathara Wisnu, yang berkewajiban untuk menentramkan jagad raya, untuk membasmi angkara murka dan menjadi penasehat para Kesatriya (Pandawa).
Sejiwa dengan karakter Madiunan yang sederhana tidak terdapat kinatah emas apapun pada bilah ini ataupun ornamen pendukung seperti motif kijang njerum, makara atau yang lain, selain mut-mutan emas asli bawaan sebelumnya. Sumpalan emas lawasan ini seperti dengan sengaja dilesakkan sangat dalam ke moncong sang naga hingga ke dalam, bukan sekedar aksesoris pemanis semata. Tampil prasaja, tanpa kehilangan arti. Hingga kini dhapur Nogososro dianggap sebagai keris yang ‘sempurna’ oleh para pecinta budaya keris di Jawa dan mendapat tempat istimewa tersendiri di hati para pecinta keris.
PAMOR BERAS WUTAH, Kemakmuran pada zaman dahulu salah satunya ditandai dengan hasil panen yang berlebih, mengilhami para empu untuk memberi nama Beras Wutah pada pamor keris hasil karyanya. Secara fisik pamor Beras Wutah memperlihatkan motif butiran beras tumpah. Dalam penempaannya sang Empu bekerja sambil berdoa, sabar dan menyerahkan hasil dari tempaannya kepada kehendak Tuhan (ikhlas). Secara filosofis, Beras Wutah kerap dihubungkan dengan keinginan untuk mendapat hasil panen melimpah, atau kehidupan yang lebih makmur. Di masa sekarang berarti rejeki yang melimpah.
Namun yang perlu diingat rezeki bukanlah sekumpulan angka-angka; rezeki adalah pintu masuk keberkahan yang dicurahkan pada hati-hati yang terlatih untuk berbahagia dengan penerimaan yang ikhlas akan sebuah ketetapan, bukan bagi mereka yang selalu menuntut lebih, sedang apa yang dilakukan tak sepadan
Dialih-rawatkan (dimaharkan) sesuai dengan foto dan deskripsi yang tertera.
Griyokulo Gallery Jl. Teluk Peleng 128A Kompleks TNI AL Rawa Bambu Pasar Minggu Jakarta Selatan
Facebook : Griyo Kulo SMS/Tlp/WA : 0838-7077-6000 Email : admin@griyokulo.com
————————————