Mahar : 5.555,555,-(TERMAHAR) Tn. AP, Gatsu – Jakarta
1. Kode : GKO-358
2. Dhapur : Sinom Robyong
3. Pamor : Mlinjon
4. Tangguh : Madura (Abad XVIII)
5. Sertifikasi Museum Pusaka No : 471/MP.TMII/IV/2019
6. Asal-usul Pusaka : Semarang, Jawa Tengah
7. Dimensi : panjang bilah 33,3 cm, panjang pesi 6,5 cm, panjang total 39,8 cm
8. Keterangan Lain : kolektor item
ULASAN :
SINOM ROBYONG, adalah salah satu bentuk dhapur keris lurus. Ukuran panjang billahnya sedang, di tengah bilah terdapat ada-ada, sehingga biasanya nggigir sapi. Keris yang tergolong populer ini memakai kembang kacang ber-jenggot, jalen, lambe gajah-nya hanya satu, pejetan, tikel alis, sogokan rangkap, sraweyan, dan greneng bersusun.
FILOSOFI, Jika diambil arti harfiah, Sinom berarti rambut yang tidak setebal rambut biasa yang ada di kepala. Sebut saja rambut halus dan lembut, tapi ia tidak bisa disebut sebagai bulu. Ia menempel di sekitar dahi. Bahkan, kadang rambut ini tumbuh hingga sekitar pelipis. Jadi, ketika rambut disibakkan ke belakang, maka akan terlihat rambut-rambut sinom yang lembut itu. Rambut sinom adalah simbol kecantikan sekaligus kebanggaan yang dimiliki wanita Jawa.
Namun Sinom dapat berarti pula pucuk daun asam (asem, Jw) yang masih muda (Tamarindus indica), yang nantinya menjadi dedaunan yang ngremboko (hijau rimbun). Sedang Robyong sendiri pada dasarnya merupakan suatu kata untuk menerangkan sebuah Dhapur yang sama namun memiliki ricikan yang kebih komplet. Dalam hal ini Sinom Robyong menerangkan sebuah dhapur Sinom yang memiliki ricikan lebih lengkap daripada dhapur Sinom biasa.
Dalam cerita pewayangan kayu asam merupakan salah satu bahan aksesori pakaian Bima. Kayu dari pohon asam ini digunakan sebagai salah satu tusuk konde. Tusuk konde dari kayu asam ini sebagai simbol bahwa Bima dalam bertingkah-laku selalu nengsemake atau hanya tertarik pada perbuatan baik. Dalam kepercayaan masyarakat Jawa, di dalam biji asam bisa saja terdapat mustika yang dapat mendatangkan kebahagiaan.
Pohon Asam juga menjadi salah satu tanaman yang ada di Keraton Yogyakarta. Pohon Asam dipilih sebagai tanaman keraton karena tanaman ini dianggap dapat mewakili simbol perjalanan hidup manusia, yaitu ketika manusia masih enom (muda). Ketika masih enom (muda) manusia itu akan selalu nengsemake (menarik hati) lawan jenisnya. Kata nengsemake pun disamakan dengan kata ngasemake yang mengacu pada nama pohon asem.
Pada hakekatnya keris Sinom Robyong adalah penggambaran akan lukisan dari indahnya cerita masa muda, masa dimana seseorang tumbuh berkembang mengenal hal-hal baru, mencari identitas diri, beradaptasi dalam lingkungannya, dan mengolah bakat serta kreatifitasnya. Sebuah masa yang penuh dengan angan-angan, ambisi, dan harapan serta usaha mencari ilmu dalam menggapai suatu cita-cita.
Dari masa kanak-kanak, sang pujaan orang tua dan dambaan keluarga tumbuh menjadi remaja. Orang tua menjadi gelisah, walaupun badan sudah besar namun dianggapnya pengalamannya belumlah banyak, batinnya belum cukup matang, masih sering salah menentukan arah dan langkah. Maka segala tindak-tanduknya menjadi pertanyaan sang bapa dan ibu. Siang malam selalu berdoa dan menjaga agar pergaulannya tidak salah arah.
Bagi pemiliknya, Dhapur Sinom akan mengingatkan bagaimana menyikapi hidup dengan semangat untuk terus tumbuh berkembang, menjadi lebih baik. Sebab masa mudalah masa yang digunakan untuk menghabiskan kegagalan. Karenanya dalam segala hal hendaknya perlu dipikirkan terlebih dahulu, supaya tidak mengambil jalan yang salah dan dapat merugikan diri sendiri dan juga orang lain. Sebagai anak muda sebaiknya lebih bijaksana dibandingkan masa kanak-kanak dahulu.
Juga, bagaimana seharusnya sebagai orang tua, orang tua bertugas tidak hanya membesarkan anak tapi juga mendewasakan anak (ngentas pitulus) agar ia nantinya berguna bagi keluarga, bangsa dan lingkungannya. Maka tidaklah mengherankan jika di zaman dulu, keris Sinom kerap diberikan sebagai keris hadiah sang ayah bagi peputra (anak laki-laki) yang telah selesai dikhitankan. Karena itu penampilan keris Sinom pada umumnya memberikan kesan luwes, prigel, menyenangkan, tampan dan indah. Jarang ditemui dhapur Sinom yang terkesan seram, galak dan angker.
EMPU-EMPU MADURA, Bicara tentang dunia tosan aji keris dan tombak, tidaklah mungkin tanpa menyebut Madura. Sejak zaman Raja-Raja jauh di masa lampau (Singosari), Madura (Sumenep) telah menjadi bagian dari perkembangan tosan aji di Nusantara, khususnya di pulau Jawa. Bahkan hingga saat ini produksinya pun masih tetap eksis bertahan.
Dalam buku “Pengertian Tentang keris di Pulau Madura, karya Zainalfattah, yang diterbitkan tahun 1952, oleh Pertjetakan Pers Nasional, Surabaya mencatat; menurut legenda orang Madura, empu keris tertua di pulau ini adalah Empu Nepa yang membuka besalen di Desa Ketapang, Sampang. Empu Nepa ini hidup mengabdi kepada penguasa pertama Madura yang bernama Raden Sagoro atau Tumenggung Gemet.
Konon pula berdasarkan cerita tutur yang disampaikan orang tua dahulu kala pada masa pertengahan Majapahit hidup seorang Empu terkenal bernama Buyut Majapahit. Empu Buyut Majapahit gemar berkelana dengan ditemani oleh para pandenya, antara lain ke daerah-daerah di Pulau Madura. Salah satu pandenya bernama Buyut Palengghijan membuka besalennya sendiri, di daerah Kawedanan Kedungdung, Sampang. Buyut Majapahit pun kemudian menetap di pulau kecil di sebelah timur pulau Madura, yaitu Pulau Poteran, atau disebut juga Pulau Tlango, atau Gapurana. Empu senior ini menetap di pulau tersebut hingga akhir hayatnya, dan dimakamkan di Desa Kombang di pulau kecil tersebut.
Empu lain yang terkenal di Madura adalah Empu Pekandangan, yang merupakan bapak angkat Jokotole, tokoh legendaris Madura yang menjadi Raja Sumenep ke-13, bergelar Pangeran Secodiningrat III (1415-1460). Seorang Empu keris yang juga terkenal, berdiam di Pamekasan adalah Empu Keleng Pademayu. Empu lainnya yang juga tersohor adalah Empu Supo, yang merupakan Empu terhebat di zamannya. Suatu hari dia diutus untuk mencari pusaka Majapahit yang hilang. Setelah sekian lama mendapat keyakinan bahwa pusaka yang dicarinya berada di luar Jawa, maka menyeberanglah ia ke pulau Madura, dan menetap di Kampung Bara Tamba, Bangkalan. Di sana, dia menamakan dirinya Kiai Brojoguno. Di desa ini, menyebarkan ilmunya membuat keris dan alat-alat pertanian. Merasa masih tak beroleh info yang pasti, Empu Supo ini kemudian hijrah lagi dan menetap di desa Tonjung, Bangkalan. Kembali Empu musafir ini mengajar penduduk setempat cara-cara membuat peralatan dari besi dan keris. Empu Supo kemudian pindah lagi ke Desa Gera Manjeng, Pamekasan. Di desa ini dia menamakan dirinya, Kiai Koso. Di Pamekasan ini pula, Mpu Supo menurunkan dua putera, yang nantinya juga menjadi Empu keris, bernama Mpu Masana dan Empu Citronolo. Kabarnya keris-keris Koso yang dibabar di Gera Manjeng, rata-rata terkenal sebagai keris yang ampuh dan sakti. Empu Koso juga mempunyai sahabat seorang Empu keris yang hebat, bernama Empu Ki Dukun, yang tinggal di Desa Barurambat. Kedua sahabat ini sering menempa keris dalam satu besalen. Oleh karenanya dari desa ini lahirlah keris-keris yang terkenal dengan sebutan keris Koso Madura dan keris Barurambat, yang rata-rata berupa keris-keris tak hanya indah namun juga ampuh. Empu Supo kemudian berpindah lagi, dan kali ini menentap di Desa Banyu Ayu, Sumenep. Di sini Empu Supo juga ditemani oleh sahabatnya, Kia Bromo, yang juga seorang empu keris dari Desa Pandeyan. Namun tak berapa lama, Empu Supo juga pindah lagi ke Desa Karang Duwa. Keris-keris karya Empu Supo di Banyu Ayu sering disebut keris Koso Banyu Ayu, sedangkan yang dibuat diKarang Duwa terkenal dengan keris Koso Yudagati. Sedangkan keris-keris karya Kiai Bromo disebut Keris Brama Bato. Di Sumenep, Empu Supo tinggal agak lama, yaitu ketika menetap di Desa Barungbung. Di sini, sang Empu membentuk keluarga baru, sehingga memiliki keturunan banyak, serta banyak murid-murid pandai. Maka keilmuan Empu Supo semakin menyebar luas dari Desa Barungbung hingga seluruh wilayah Sumenep.
Setelah pengembaraan Empu Supo di pulau Madura itu, banyak sekali empu-empu keris yang menyebar di wilayah Madura. Sebut saja Empu Bira yang berdomosili di Desa Bira, Ketapang, Sampang. Empu Chatib Omben dari Desa Omben, Sampang. Empu Combi dari Desa Combi Kedungdung, Sampang. Empu Blega di Desa Blega, Bangkalan. Dan masih ada nama empu keris lain, seperti Empu Pakong, Empu Blumbungan, Empu Pangolo Begandan, Empu Tambak Agung, dan Empu Ario Pacinan.
Selain itu ada juga empu-empu keris yang berasal dari kaum bangsawan. Seperti Empu Ki Ario Minak Sunoyo anak dari Ario Damar dari Palembang, yang tinggal di keratonnya Proppo, Pamekasan. Karya-karyanya dienal sebagai keris tanguh Sumenep Adiningrat. Juga diketahui bahwa Sultan Pakunotoningrat di Sumenep juga cukup piawai membuat keris. Namun dari kaum bangsawan kesemuanya yang paling terkenal membuat keris adalah Panembahan Sumolo. Dia adalah ayah dari Sultan Pakunotoningrat, dan ketika menjadi Adipati Sumenep bergelar Pangeran Notokusomo I (1762-1811).
PAMOR MLINJON, dari kata melinjo – buah pohon so/mlinjo/tangkil (Gnetum gnemon Linn). Disebut demikian karena pamor berpola oval yang tersusun secara berderet di antara garis berjajar vertikal yang membingkainya dibuat oleh sang Empu mirip sekali dengan biji mlinjo. Pamor Mlinjon saat ini sudah mulai jarang ditemui.
Mlinjo atau dalam bahasa Sunda disebut Tangkil adalah suatu spesies tanaman berbiji terbuka. Mlinjo tidak menghasilkan bunga dan buah sejati karena bukan termasuk tumbuhan berbunga. Yang dianggap sebagai buah sebenarnya adalah biji yang terlihat langsung karena terletak di antara daun-daun yang tidak terbungkus daging tetapi berbungkus kulit luar. Jika sudah memerah akan sangat kontras dengan daunnya yang berwarna hijau. Biji mlinjo yang tumbuh secara bergerombol akan selalu mengingatkan bahwa manusia adalah makhluk sosial yang tidak bisa hidup sendiri (individualis) serta diharapkan tidak melupakan hubungan kedekatan keluarga dan hidupnya mampu menghasilkan banyak buah-buah kebaikan.
Pola bulatan (oval) dari pamor mlinjon juga melambangkan salah satu unsur kehidupan- air (nafsu Supiyah). Nafsu Supiah berasal dari saripati sehingga nafsu ini mewarisi sifat-sifat air. Sifat air antara lain mencari tempat posisi yang paling rendah, kebalikan dari api/amarah yang selalu mengarah keatas. Mengajarkan kepada kita untuk menjadi rendah hati terhadap sesama dan selalu merendahkan diri dihadapan Tuhan. Juga sebuah sebuah untaian doa serta harapan agar pemiliknya nantinya dapat menyingkirkan semua tantangan atau penghalang hidup dengan tenang, penuh kesabaran disertai usaha yang konsisten dan ikhtiar terus-menerus.
CATATAN GRIYOKULO, Walau Sinom bukan termasuk dhapur keris yang langka, namun tampaknya saat ini kita sudah jarang sekali bisa melihat keris Sinom (terutama Sinom Robyong) dengan garap yang bagus dan pola pamor yang memukau. Keutuhan ricikan mulai dari bagian jenggot di atas sekar kacang hingga bagian greneng tentu menjadi value lebih. Dengan melihat foto saja, kita sudah bisa menangkap aura ‘cantik’ yang terpancar dari pusaka ini. Besinya tampak keras dan ngrasak, menyimbolkan ketegasan. Terlebih pada 2/3 panjang bilah kita bisa melihat batas penyepuhan yang ditandai dengan warna besi yang lebih gelap. Meskipun berbilah tebal, tantingan-nya termasuk ringan demikian juga tintingan jika disentil dengan ujung jari telunjuk sangat nyaring bunyinya, pertanda besi diwasuh dan ditempa sangat matang. Sebagai sebuah senjata tampaknya bisa diandalkan secara fungsional.
bentuk sekar kacang dan jenggot yang masih utuh dan presisi di tengah
Garis-garis pamor Koso yang nggajih tebal bertumpuk berwarna putih memplak menambah karakter darah madura. Bentuk ikonik pamor ini boleh jadi menjadi kiblat oleh keturunan atau para murid Empu Koso. Karakter Mataram Nom-noman nampaknya ikut mempengaruhi pada ricikan sogokan depan dan belakang yang dibuat sempit namun sangat dalam terpisahkan oleh janur yang tipis dan tajam. Karena menurut sejarah pada zaman Mataram pun mengundang empu keris Madura untuk ikut mengembangkan budaya keris di keraton Jawa. Dengan condong leleh yang agak miring (80°) memang agak menyulitkan dalam pemilihan warangka, karenanya keris ini sengaja disandangi warangka model madura.
Dialih-rawatkan (dimaharkan) sesuai dengan foto dan deskripsi yang tertera.
Griyokulo Gallery Jl. Teluk Peleng 128A Kompleks TNI AL Rawa Bambu Pasar Minggu Jakarta Selatan
Facebook : Griyo Kulo SMS/Tlp/WA : 0838-7077-6000 Email : admin@griyokulo.com
————————————