Nogo Siluman Luk 13 Kiai Buto Meler

10590558_1712292255668741_9142982091114899016_n

Mahar : ?,- (TERMAHAR) Tn. AP, Senen – Jakarta Pusat


1. Kode : GKO-317
2. Dhapur : Naga Siluman Luk 13
3. Pamor : Ngulit Semangka
4. Tangguh : Madura (Madiun?) (Abad XVII)
5. Sertifikasi Museum Pusaka No : 1015/MP.TMII/IX/2018
6. Asal-usul Pusaka :  Jepara, Jawa Tengah
7. Dimensi : panjang bilah 35,5 cm, panjang pesi 6,7 cm, panjang total 42,2 cm
8. Keterangan Lain : kolektor item, hulu tanduk, sarung kulit buaya?


ULASAN :

NAGA SILUMAN,  berasal dari bahasa sansekerta adalah salah satu bentuk dhapur keris bentuk Naga yang paling mudah dikenali, yakni dengan ciri menonjol kepala naga digarap secara samar dan badan naga seolah-olah menghilang, menyatu ke dalam bilah keris, Selain itu ricikan lainnya adalah; sraweyan, ri pandan, dan atau greneng. Karena ada beberapa bentuk luk Naga Siluman, penyebutan dhapur Naga Siluman sebaiknya diserai keterangan mengenai jumlah luknya.

Konon menurut dongeng atau mitos dhapur pancer Naga Siluman dibuat pertama kali oleh Mpu Gebang pada masa pemerintahan Prabu Ciungwanara di kerajaan Pajajaran, sekitar tahun 1326 M. Salah satu keris pusaka milik Keraton Kasultanan Yogyakarta juga berdhapur Naga Siluman luk 13, Keris tersebut adalah Kanjeng Kyai Gandawisa. Kanjeng Kiai Gandawisa diharapkan oleh si Empu memiliki keampuhan seperti namanya. Gandawisa berarti bau bisa, makna lebih jauh pada nama keris ini adalah “amat beracun”. Oleh karena itulah, keris ini digambarkan dalam wujud Naga Siluman. Untuk menutupi keangkeran keris KK Gandawisa, warangkanya terbuat dari kayu trembalo, dengan pendok rajawarna (bertahtakan ratna mutu manikam). Dalam catatan keraton keris ini dibuat oleh Panembahan Mangkurat pada zaman pemerintahan Sri Sultan Hamengkubuwono V. Keris Naga Siluman tampaknya juga memiliki kedudukan yang sakral bagi Pangeran Yogya yang lain, seperti Pangeran Diponegoro. Dikisahkan keris Kiai Nogo Siluman bersama dengan tombak Kiai Rondhan dan pelana kuda, diserahkan pada Raja Willem I yang bertahta 1813-1840 sebagai sebagai bukti sekaligus simbol bahwa sang pangeran Diponegoro telah ditaklukkan dan ditangkap.

FILOSOFI, Membicarakan Naga bagaikan berbicara mengenai sesuatu yang ada namun tiada. Sejak zaman dulu kita hanya mengenalnya dalam suguhan dongeng, lukisan, atau gambar, namun hingga saat ini tidak pernah ditemukan bukti-bukti scientific dari keberadaan makhluk tersebut. Sebagai makhluk mitologis, Naga bisa digambarkan berbeda-beda dalam tiap budaya. Naga Jawa biasanya digambarkan dalam figur tampilan visual kepala naga mengenakan mahkota, badan posisi berdiri (seperti huruf S), dan ekor dengan ujung berbentuk kudhup bunga melati. Dipercaya sebagai sosok pelindung atau pengayom, sehingga umum ditemukan dalam pahatan gerbang, pintu masuk, atau undakan tangga dengan maksud melindungi bangunan yang ia tempati.

Siluman, dalam KBBI Siluman memiliki dua (2) arti. Dalam arti nomina atau kata benda siluman dapat menyatakan nama dari seseorang, tempat, atau semua benda dan segala yang dibendakan ( Siluman berarti makhluk halus yang sering menampakkan diri sebagai manusia atau binatang). Arti dari siluman bisa juga masuk dalam jenis adjektiva atau kiasan sehingga penggunaan siluman bisa bukan dalam arti kata yang sebenarnya, sehingga siluman dapat mengubah kata benda atau kata ganti, dengan menjelaskannya menjadi lebih spesifik (Siluman berarti tersembunyi tidak kelihatan).

Masyarakat Nusantara kuno berusaha menyelaraskan diri yang kecil (bhuwana alit) dengan alam besar (bhuwana agung). Apa pun yang ada dalam bhuwana agung juga dianggap ada dalam bhuwana alit. Siluman yang ada di jagat besar sebenarnya ada di jagat kecil, pada diri sendiri. “Siluman dalam diri” itulah yang paling berbahaya. Siluman diri “berwajah” enam (6) atau sad ripu yang menjadi musuh diri, terlukis dalam bentuk lidah yang menjulur seperti angka 6, yakni hawa nafsu (kama), keserakahan (lobha), kemarahan (krodha), kebingungan dalam berfikir (moha), mabuk (mada), dan iri hati (matsarya). Cara mengatasi atau menghindarinya adalah dengan jalan mengendalikan unsur-unsur Sad Ripu itu sendiri dan mengarahkan pada perbuatan-perbuatan yang positif supaya hidupnya selamat.

KIAI BUTO MELER, Orang Jawa itu tidak hanya menghormati orang saja (terutama yang lebih tua), tetapi juga menghormati benda yang kemudian disebut Kiai. Kiai Kopek adalah sebuah Keris, Kiai Plered merupakan Tombak, dan Kiai Slamet itu kerbau. Intinya apa-apa yang dimuliakan masyarakat disebut Kiai.

Buto, Bagi para penggemar wayang  pasti sudah tidak asing lagi dengan tokoh dari golongan Buto atau Raksasa. Tokoh yang satu ini hampir selalu ada dalam setiap cerita atau lakon apapun. Buto ditakdirkan untuk selalu hadir dalam peperangan, dia adalah prajurit sejati, pantang mundur dari laga, dan sanggup melaksanakan segala perintah dari Rajanya dengan sebaik baiknya. Begitu pula saat Anda berkunjung ke candi-candi yang ada di Pulau Jawa, biasanya akan disambut pertama kali oleh arca berukuran besar di depan gerbang. Arca itu biasanya berbentuk buto atau raksasa besar yang memiliki senjata berupa gada. Nama dari arca batu besar ini adalah Dwarapala. Kata Dwara bisa diartikan sebagai gerbang dan pala diartikan sebagai pelindung. Buto ini konon merupakan perwujudan dari raksasa di alam astral. Di masa lalu, raksasa ini memiliki kemampuan yang sangat hebat dalam menjaga. Tidak ada aura negatif meski secara penampakan sangat mengerikan. Bentuk menyeramkan dari sang Buto bukan untuk menakut-nakuti siapa yang datang, namun untuk memberi tanda bahwa wilayah tersebut sudah dilindungi.

Meler, setidaknya memiliki 2 (dua) arti, pertama meler (kata sifat) = nakal, bandel dan yang kedua meler (kata keterangan) = memanjang.

TANGGUH MADIUN, keris-keris Madiun mungkin tidaklah seindah keris di jaman Mataram Sultan Agung, selain bentuknya dianggap nyeleneh, berbeda dengan kebiasaan atau pakem keris pada umumnya, namun tidak pernah kehilangan greget tetap enak dipandang dalam rasa batin. Kebanyakan keris Madiun memang berluk-13, atau dhapur yang banyak dijumpai Jangkung dan Mahesa (Kebo Lajer, kebo Teki, Kebo Salurung). Pamor yang paling banyak ditemukan adalah wos wutah, uler lulut, ngulit semangka hingga buntel mayit. Biasanya pamornya agak abu-abu dan nggajih. Pada bagian gonjo-nya juga ada keunikan, dimana perut gonjo tampak tipis, sedangkan sirah cecak-nya berbentuk lancip. Jika memakai lambe gajah biasanya bersusun undhak-undhakan (seperti susunan tangga). Bahkan terkadang dijumpai juga, pada sirah cecak ada semacam lambe gajah-nya. Sedangkan besi-besinya akan mengikuti atau memiliki kemiripan dengan kerajaan besar yang berkuasa. Maka untuk menangguh sebuah “tosan aji Mediunan”, kecocokan dengan besi sezaman dijadikan parameter penilaian.

Sebagaimana lazimnya sejarah persenjataan, perkembangan keris pada suatu daerah akan sangat ditentukan berbagai hal, termasuk diantaranya karakter masyarakat, situasi politik, peta kekuasaan dan lain sebagainya. Praktis setelah Pajang sebagai kelanjutan Demak runtuh, Mataram sebagai kerajaan yang masih muda, menjadi ancaman bagi kerajaan kecil atau kadipaten-kadipaten di Jawa Timur yang berdiri sendiri, termasuk Madiun yang enggan diperintah Mataram, sehingga mereka perlu memperkuat diri – antara lain dengan cara membuat sebanyak mungkin senjata seperti keris dan tombak. Keris  Madiun memang diciptakan sesuai zaman dan keadaan masa itu yang penuh dengan pergolakan, dimana tidak terlalu mementingkan keindahan garap, kesannya justru wagu, angker dan nggegirisi (menyeramkan). Bentuknya sederhana, tetapi sepintas saja sudah terlihat kalau kesannya sangat powerful (kuat) dan berwibawa. Dan banyak pula yang mengakui, memang sisi esoteri inilah yang lebih menonjol dari keris-keris Madiun.

Sejarah Madiun sangat berkaitan erat dengan senjata-senjata pusakanya yang sangat bertuah. Bahkan sekaliber Mataramnya Panembahan Senopati pernah dipermalukan dengan mengalami dua kali kegagalan menundukkan Purubaya (Madiun), yakni pada tahun 1587 dan 1589, diyakini hal ini berkat keampuhan keris pusakanya, yakni Kanjeng Kiai Kala Gumarang dan Kanjeng Kiai Balaneta (versi lain menyebut KK Gupito). Hingga dengan taktik “pura-pura takluk” oleh Panembahan Senopati, ekspansi Mataram baru berbuah kesuksesan. Selanjutnya pada zaman perang VOC melawan Madiun, Tombak Kiai Blabar yang konon dibuat oleh Empu Guno Sasmito (Mageti I) adalah pusaka yang sangat nggegirisi kepati-pati (sangat menekutkan keramatnya). Adalah Ronggo Prawirodirdjo III, Bupati Wedono Mancanegara Timur yang berkedudukan di Madiun, dianggap membangkang. Setelah operasi ke empat, baru membuahkan hasil, dimana Belanda lagi-lagi menggunakan siasat devide et impera, dengan cara menekan Sultan HB II supaya mengirimkan Pangeran Dipokusumo untuk menumpas pemberontakan Bupati Madiun, yang tak lain dipimpin oleh menantunya sendiri. Pangeran Dipokusumo adalah pangeran yang akrab dengan Ronggo Prawirodirjo III – yang kebetulan adalah kakak dari istrnya, GRA Maduretno.

TUNDHUNG MADIUN, nama Tundhung Madiun begitu kondangnya dalam dunia tosan aji. Ada yang meyakini, bila Tundhung Madiun adalah nama seorang empu keris pada zaman Demak, sementara ada lagi yang lain percaya bahwa nama itu menandai zaman atau era keris Madiun. Perbedaan pandangan tersebut sangatlah wajar, mengingat hingga detik ini tidak ada dokumen tertulis yang secara sah dan meyakinkan, apa dan siapa gerangan sebenarnya Tundhung Madiun tersebut.

Ada cerita yang mengatakan bahwa Tundhung Madiun memang nama seorang Empu (Empu Supo) yang hidup sangat panjang (akhir Majapahit hingga jaman Mataram Sultan Agung). Sementara kisah lain menerangkan Sultan Demak memerintahkan kepada Ki Umyang untuk membuat sebilah keris yang bisa menjadi pusaka andalan keraton (versi lain terjadi pada jaman kerajaan Pajang, karna fitnah dari Empu Cublak membuat Empu Umyang tersingkir). Mendapat tugas berat ini, Ki Umyang memutuskan mengembara ke berbagai pelosok untuk mencari wangsit. Sampalah langkah kaki dirinya membawa ke Desa Wonosari, Purubaya. Ketika mendekati suatu sendang di daerah itu, kakinya tanpa sengaja menendang bangkai seekor kodok (katak) dan meluncur masuk ke dalam sendang. Ajaibnya, begiu tersentuh air, katak tersebut dapat hidup kembali. Melihat keajaiban ini, Ki Umyang (selanjutnya juga dikenal Ki Kodok) menyimpulkan bahwa tempat untuk membabar keris yang ampuh sudah diketemukan. Ringkas cerita, Ki Umyang selesai membuat sebilah keris – yang setelah selesai ditempa, disepuh ke dalam sendang. Proses penyepuhan itu ternyata membuat kepanasan “penjaga” sendang tersebut hingga keluar dari sendang. Mbahurekso sendang itu ternyata tidak pergi menjauh, tapi justru seperti ingin menemani sang empu menyelesaikan kerisnya. Sambil menemani, memedi itu selalu berayun-ayun di pohon pinggir sendang. Konon, memedi ayun-ayun ini menjadi cikal bakal nama kota Mediun (Madiun). Sedangkan Ki Umyang yang dianggap sangat sakti bisa menundhung memedi ayun-ayun (mengusir jin berayun), kemudian dikenal sebagai Empu Tundhung Madiun. Lain lagi pendapat, bahwa Tundhung Madiun sebenarnya adalah nama dari sebuah peristiwa bedahnya istana Kabupaten Madiun dari serbuan tentara Mataram. Pada bulan Muharam tahun 1590, Adipati Madiun, Pangeran Timur (Putra Bungsu Sultan Trenggono Demak) yang dikenal sebagai Panembahan Madiun jengkar keraton, oleh sebab kepungan prajurit Mataram. Karena enggan ditangkap musuh, sang Adipati merelakan keratonnya. Peristiwa Adipati Madiun yang ter-tundhung dan mengungsi keluar dari istana inilah yang disebut istilah Tundhung Madiun.

Bagi penulis sendiri keris Naga Siluman ini tergolong spesial, selain “keluar” di bulan Suro dan terkesan keris pemilih. Artinya, tidak setiap orang cocok dengan keris ini. Hanya orang-orang tertentu sajalah yang layak memilikinya. Jika pusaka ini dimiliki oleh seorang pemimpin, selaras dengan unen-unen jawa yang berbunyi: “cangkem komat-kamit, buntut gobag-gabig“. Sebuah pitutur bagi seorang pemimpin untuk mengendalkan diri, terutama dalam bertutur kata dan berucap. Karena terpeleset sedikit dalam berbicara, akibatnya tidak hanya dirasakan olehnya sendiri, tetapi juga oleh seluruh anak buah dan rakyatnya. Dan sepertinya baru-baru ini memang sudah terjadi pada salah satu pemimpin daerah di negeri ini.

Hanya melihat melalui foto saja sudah tampak “Angker!”, apalagi ketika menantingnya sendiri, akan dapat merasakan sesuatu yang susah untuk digambarkan – serasa menyimpan sebuah energi tertentu, membuat tenang dan percaya diri. Secara keseluruhan bilah masih sangat utuh (TUS). Penggambaran visual secara primitif ternyata tidak mengecilkan keagungan dari sosok Naga; kepala naga dengan kedua matanya menghadap ke depan, mulut menyeringai terbuka, lidah berlapis perak menjulur dan menggulung seperti buto (angka 6 = sad ripu), sosok madeg pandhito diwujudkan dengan tidak memakai mahkota raja pada kepalanya maupun sumping di telinga, badan naga yang kemudian menghilang pada luk kedua/ketiga semuanya digarap samun (samar) sesuai pakemnya. Selanjutnya lobang yang ada pada gandik yang sebenarnya adalah adalah geometri yang timbul mulai dari janggut atau rahang bagian bawah naga, leher atau dada naga hingga bagian depan gandik. Tidak membulat sempurna, justru inilah yang bisa dijadikan salah satu penanda bahwa masih digunakannya “cara tradisional” dengan kemusuq (pahat yang runcing), karena jika menggunakan peralatan moderan seperti bor, justru hasilnya akan tampak bulat sempurna.

penampakan gandik nogo dengan ilat melet (lidah menjulur memanjang), sangat nyleneh dan angker

Dari segi sandangan, jejeran (hulu keris) yang ada sudah diganti dengan hulu yang terbuat dari bahan tanduk pola cecekan krawangan (tembus). Dipasangkan dengan mendak motif widengan sepertinya sudah cukup membawa kesan miyayeni. Untuk Pekerjaan Rumah selanjutnya barangkali bisa mengganti warangka dusun yang ada. Karna jujur hingga saat keris Naga Siluman ini dimaharkan Penulis belum mendapatkan bisikan/ide menggunakan kayu jenis apa yang cocok untuk mengimbangi pola sarung kulit buayanya. Meski sebenarnya Penulis sudah menyiapkan pendok naga 3D lapis emas namun belum terealisasikan untuk menggantinya.

PAMOR NGULIT SEMANGKA, motif unik seperti yang terdapat pada kulit buah semangka menyiratkan bahwa jalan hidup yang tak selamanya lurus bahkan mungkin akan penuh liku dan kerikil tajam. Jalan yang mengajarkan kita untuk selalu bersyukur, tidak perlu merasa khawatir karena segala sesuatunya sudah ada yang Maha Mengatur. Dalam konteks tersebut menggambarkan jalinan yang tidak pernah putus, baik dalam arti upaya untuk memperbaiki diri, dan upaya memperjuangkan suatu cita-cita. Garis diagonal yang bertemu pada suatu titik juga melambangkan penghormatan, keteladanan, cita-cita, serta kesetiaan kepada nilai-nilai kebenaran. Aura dinamis pada pamor ini juga menunjukkan kecekatan, kesigapan, dan kesinambungan antara satu pekerjaan dengan pekerjaan lainnya. Artinya, tidak ada kata berhenti atau menyerah dalam menggapai suatu tujuan… Gusti Paring Dalan.

Dialih-rawatkan (dimaharkan) sesuai dengan foto dan deskripsi yang tertera.


Contact Person :

Griyokulo Gallery Jl. Teluk Peleng 128A Kompleks TNI AL Rawa Bambu Pasar Minggu Jakarta Selatan

Facebook : Griyo Kulo SMS/Tlp/WA : 0838-7077-6000 Email : admin@griyokulo.com

————————————

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *