SADA SAKLER

10590558_1712292255668741_9142982091114899016_n

Mahar : 5.000,000,-(TERMAHAR) Tn. A, Tangerang Selatan


1. Kode : GKO-284
2. Dhapur : Bakung
3. Pamor : Sada Sakler/Sada Lanang
4. Tangguh :  Tuban Mataram (Abad XVI)
5. Sertifikasi Museum Pusaka No : 714/MP.TMII/VI/2018
6. Asal-usul Pusaka : Surakarta, Jawa Tengah
7. Dimensi : panjang bilah 34 cm, panjang pesi 6,2 cm, panjang total   40,2 cm, lebar gonjo  6,7 cm
8. Keterangan Lain :  warangka ladrang kacir, unyeng satriya wibawa, keris Tuban ber-luk jarang


ULASAN :

BAKUNG, adalah nama salah satu jenis dhapur keris luk lima. Ukuran panjang bilahnya sedang, bilahnya nglimpa. Ricikan keris dhapur Bakung adalah gandik lugas, pejetan, tikel alis dan sraweyan, tidak ada ricikan lainnya lagi.

FILOSOFI, Dalam kecantikannya, setiap bunga ternyata membawa makna yang berbeda-beda. Beberapa bunga bahkan masih dipercaya membawa pengaruh magi dari cerita-cerita tersebut. Namun tetap tidak jauh dari keindahan yang dimiliki masing-masing bunga tersebut, bunga senantiasa memiliki mitos dan cerita tersendiri.

Seperti bunga Bakung, yang merupakan bagian dari genus Lilium atau yang dalam Bahasa Inggris disebut Lily. Dalam pernikahan kuno Yunani, mempelai wanita mengenakan mahkota bunga lily bakung dan gandum yang melambangkan kemurnian dan kelimpahan. Orang-orang Mesir kuno merayakan bunga lily bakung sebagai simbol kesuburan dan kelahiran kembali. Namun, dalam budaya Tionghoa, bunga lily bakung adalah pesona keberuntungan. Di India, lily bakung sering dikaitkan dengan upacara kematian karena dipercaya “pemutus karma” mengembalikan kesucian orang-orang yang telah meninggal. Dan menurut kepercayaan di Negara seperti China, Mesir dan Arab, sebagian besar masyarakatnya meyakini bahwa selain tanaman ini bisa digunakan untuk memperindah tampilan pekarangan rumah, tanaman ini juga dapat melindungi dari penyakit atau wabah yang menular jika di tanam di pekarangan rumah.

Di Indonesia, Bunga Bakung (Crinum asiaticum) sepintas mirip dengan tanaman pandan yang biasa dipakai untuk penyedap makanan atau kue. Tanaman asli Indonesia ini hidup secara liar, mudah dijumpai di tepi-tepi sungai, di tepi-tepi danau ataupun di tepi-tepi hutan pada tempat-tempat yang teduh hingga ke ladang-ladang. Di tempat-tempat inilah bakung dapat tumbuh dengan subur. Pada jaman dahulu tanaman ini digunakan sebagai salah satu teropong untuk membaca dan memprediksi tanda alam akan tibanya musim penghujan (ilmu titen pranata mangsa). Meski hujan sudah turun sekali-sekali, tapi bila bunga bakung ini belum berbunga, orang-orang tidak berani untuk mulai bertani.

Bagi seorang laki-laki bunga bakung itu merupakan simbol dari ketangguhan serta kekuatan untuk bertahan dalam situasi apapun. Kenapa bisa demikian? Umbi bunga bakung akan selalu mengalami masa dorman (seolah-olah mati di dalam tanah), tetapi suatu saat akan tumbuh kembali dan memunculkan bunga-bunga yang indah di manapun tempatnya. Juga bermakna kebanggaan karena bentuk bunganya menyerupai terompet dan bintang.

TANGGUH TUBAN MATARAM, pemahaman kawruh ‘krisologi’  yang beredar sekarang sangat jarang kita bisa menemukan keris luk di tangguh Tuban, walau sebenarnya jika kita membuka literatur kuno mengenai tangguh seperti Serat Panangguhing Duwung hampir semua Empu yang berasal dari Tuban seperti Empu Ki Panekti, Empu Ki Soeratman, Empu Ki Galaita, Empu Ki Bekel Jati dan Empu Jirak selalu membabar keris ber-luk dengan ciri khas yang hampir sama “luk-ipun cethek luwes” (luk dangkal dan luwes). Tercatat hanya Empu Tuban Ki Supadriya dan Empu Ni Mok Sombro yang dipercaya tidak pernah membuat keris ber-luk.

Kekhasan Tuban era Mataram terbawa dalam bentuk bilahnya yang tebal, mengikuti model keris Mataram. Berbeda dengan Tuban dalam pengaruh Pajajaran yang biasanya terwujud dalam bilah yang terbilang agak tipis, gandik dan sirah cecak agak bulat (buweng). Besinya berwarna lebih hitam dari keris Mataram atau Pajajaran, padat dan seratnya rapat, kadar bajanya pun banyak. Pamornya kelem dan pandes.

Sangatlah beruntung kita bisa menikmati suguhan bentuk pamor sodo sakler yang tegas sekali garis atau bentuk lidinya. Garisnya tidak hanya terdiri satu garis melainkan seperti tiga garis besar atau lebih yang mengelompok menjadi satu. Bukan itu saja, pamor-nya yang putih keperakan terang menyala sampai ke bagian pesi-nya menegaskan originalitas yang terjaga dari awal pembuatan hingga saat ini. Pesi-nya juga mempunyai keunikan lain yakni tidak centre berada di tengah, melainkan sedikit maju ke depan mendekati sirah cecak-nya, khas tangguh sepuh. Besinya pun tak kalah kelas, ditempa sangat rapat, tampak sangat halus baik secara visual maupun ketika dibuktikan dengan perabaan. Berwarna hitam legam seolah ingin memilih sisi berseberangan dengan pamornya. Dalam perenungan seolah mengajak untuk mengenang pahlawan Tuban, Ronggolawe dan kuda kesayangannya; bahwa hidup tak sesederhana hitam dan putih. Hidup itu penuh warna, penuh rasa, penuh kesan, penuh tanya, penuh misteri yang selalu memberi ruang terbuka bagi aneka interpretasi yang tidak pernah selesai dengan titik hitam atau putih. Karena yang hitam belum tentu “hitam’ dan yang putih belum tentu “putih” juga. Untuk sandangan yang ada, sepertinya sudah tidak ada pekerjaan rumah lagi. Warangka ladrang kacir kagok yang sudah jarang ditemui dengan padanan pendok lung-lungan baru sudah cukup pantas sebagai abdi pengiring bilah dengan “bonus” mistik unyeng gendhong atau satriyo wibowo (adalah unyeng-unyeng yang terletak ditengah gigir/punggung hulu keris, tuahya diyakini mempunyai daya magis menambah kewibawaan sekaligus mampu mengangkat derajat keluarga pemiliknya).

PAMOR SODO SAKLER, Sodo adalah lidi, Sakler adalah satu batang, arti harafiahnya adalah Lidi Sebatang. Mungkin di setiap daerah berbeda penyebutannya, seperti ada yang menyebut adeg siji, sodo saren atau sodo lanang. Sesuai dengan namanya gambaran motif pamornya berupa garis lurus membujur sepanjang tengah bilah atau jika terdapat pada keris luk, garisnya membujur dari sor-soran hingga ujung mengikuti bentuk luk-nya. Kadang bentuk garis lurusnya tidak hanya satu garis tipis, tetapi terdiri dari beberapa garis yang mengelompok menjadi satu seperti pada keris ini. Pada jaman dahulu keris dengan pamor Sodo Sakler/Sodo Lanang banyak dimiliki oleh para Prajurit sehubungan dengan mitos cerita yang berkembang, dimana Klenting Kuning mampu mengalahkan Yuyu Kangkang dengan memukulkan sodo lanang. Oleh masyarakat perkerisan tuahnya juga dipercaya untuk menambah kewibawaan, menaikkan tingkat kepercayan diri, untuk ketenaran (popularitas), menambah keteguhan hati, dan kuat iman, serta sebagai pagar pertahanan diri dan untuk mengusir kekuatan jahat. Pamor ini tergolong cocok untuk setiap orang.

Konon pada saat Sultan Agung Raja Mataram yang paling termasyur itu memerintah, untuk mewujudkan cita-cita kebesaran Mataram, melalui Empu Supo Anom Sultan Agung berkehendak untuk yasan (membuat) tujuh pusaka kerajaan, salah satu diantaranya adalah keris berpamor Sodo Saler. Sedangkan enam pusaka yang lain adalah ; dhapur Nagasasra kinatah kamarogan, luk 3 dhapur Manglar Monga, keris Singo Barong, keris Pasopati, keris kalawijan luk 29 Kolo Bendu, dan tombak kalawijan Wulan Tumanggal.

Sebatang lidi akan kurang bernilai dan lemah ketika hanya satu, tetapi dalam satu ikatan akan mampu menyapu segala-galanyanya dan tak mudah terpatahkan. Ungkapan tersebut merupakan pesan moral yang ingin disampaikan Sultan Agung yang harus terpatri dalam jiwa setiap laskar Mataram. Untuk mencapai “Mataram yang Agung” perlu persatuan dan kebersamaan di antara Raja, kaum Bangsawan, Ulama, Umaroh, Pedagang dan Rakyat. Sultan Agung tampaknya sangat memahami pentingnya simbol persatuan dan kebersamaan untuk meraih kejayaannya.

Dialih-rawatkan (dimaharkan) sesuai dengan foto dan deskripsi yang tertera.


Contact Person :

Griyokulo Gallery Jl. Teluk Peleng 128A Kompleks TNI AL Rawa Bambu Pasar Minggu Jakarta Selatan

Facebook : Griyo Kulo SMS/Tlp/WA : 0838-7077-6000 Pin BB : D403E3C3  Email : admin@griyokulo.com

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *