Payan

10590558_1712292255668741_9142982091114899016_n

Mahar : 2.500.000,- TERMAHAR, Tn. MI, Ciledug – Tangerang


  1. Kode : GKO-288
  2. Dhapur : Rontek (Payan)
  3. Pamor : Sanak
  4. Tangguh : Tuban Mataram (Lampung/Palembang?) (Abad XV)
  5. Sertifikasi No : 724/MP.TMII/VI/2018
  6. Dimensi : panjang bilah  27 cm, tinggi methuk 4,2 cm, panjang pesi 8,2 cm , panjang total 39, 4 cm
  7. Asal-usul Pusaka : Kebumen, Jawa Tengah
  8. Keterangan Lain : sarung kulit ular, methuk berduri/bergerigi

Ulasan :

PAYAN, merupakan sebutan tombak dalam bahasa Lampung. Sama halnya dengan keris, mata tombaknya memiliki pamor dan ditempa berlapis-lapis. Banyak tombak Lampung dipandang memiliki kekuaan magis, apalagi jika tombak tersebut merupakan benda pusaka warisan dari leluhur. Berdasarkan dari bentuknya, senjata tradisional ini dapat diklasifikasikan menjadi 2 bentuk yaitu: Tombak panjang ( Payan Kejang ), Tombak pendek ( Payan Buntak atau Linggis ). Untuk tombak panjang, merupakan tombak yang memiliki gagang yang terbuat dari bahan kayu yang berukuran tidak lebih dari 150 cm. Sedang yang dimaksud tombak pendek yaitu tombak yang gagangnya tidak lebih dari 90 cm. Sementara mata tombaknya sama yaitu berukuran sekitar 34-40 cm.

FILOSOFI, Payan sebagai senjata tradisional sebagai lambang budaya Ksatria, berani membela kebenaran dan kehormatan keluarga, masyarakat, daerah, negara dari segala ancaman dan gangguan yang datang dari luar maupun dari dalam. Selain itu melambangkan keberanian untuk memperjuangkan harkat dan martabat diri sebagai manusia yang utuh dan berdaulat.

Kepercayaan Masyarakat Lampung terhadap Tombak/Payan :

1. Tombak sebagai Benda Pusaka
Tombak sebagai benda pusaka biasanya cara kepemilikannya diperoleh berdasarkan warisan dari leluhurnya. Cara memperlakukan tombak ini sama dengan memperlakukan keris sebagai benda pusaka. Ada “tata cara” tertentu yang harus dilakukan apabila hendak memegang, membawa, dan memandikannya. Tombak yang demikian ini dipercaya memiliki kekuatan magis, serta memiliki membawa sugesti terhadap pemiliknya.

2. Tombak sebagai Alat Berburu
Tombak sebagai alat berburu adalah tombak sebagai alat fungsional yang tidak memiliki kekuatan magis. Mata tombaknya tampil dalam bentuk sederhana, atau tidak berpamor. Tombak seperti ini dipandang sama dengan senjata-senjata lainnya yang digunakan sehari-hari, tidak perlu diperlakukan dengan tata cara tertentu. Tempat penyimpanannyapun tidak se-khusus tombak benda pusaka, bahkan tidak memiliki sarung. Cara pemilikan tombak jenis itu bukan berdasarkan warisan saja akan tetapi juga yang diperoleh dengan cara membeli.

3. Tombak sebagai Alat Upacara
Tombak yang digunakan sebagai alat untuk upacara yaitu tombak yang dipakai untuk upacara perkawinan, terutama pada acara turun di Way. Biasanya tombak tersebut dipegang oleh kedua mempelai, pengantin pria memegang ujung tombak bagian depan dan pengantin wanita memegang ujung bagian belakang. Di samping tombak yang dibawa kedua mempelai ada juga beberapa tombak yang dipegang oleh beberapa penari yang mengiringi mempelai. Tombak jenis ini dipandang tidak sesakral tombak pusaka, sekalipun kadang-kadang memiliki garap yang baik dan indah bentuknya.

4. Tombak sebagai Benda Religi
Tombak sebagai benda religi, adalah sebuah tombak yang digunakan untuk kelengkapan ritual keagamaan tertentu. Di daerah Lampung baik di kota-kota maupun di desa-desa ternyata sampai saat ini masih dijumpai adanya pelaksanaan sembahyang jum’at, dimana muazin dan khotib sebelum dan sedang khotbah berlangsung, tombak ada dalam genggamannya (dahulu di beberapa tempat dilaporkan, bahwa sebagai pengganti tombak muazin dan khotib menggunakan pedang). Berdasarkan penjelasan dari sesepuh masyarakat, dikatakan bahwa sekalipun pada pelaksanaan khotbah jum’at tidak dilengkapi dengan tombak atau pedang, sembahyang tidak akan batal. Meskipun demikian sebagian masyarakat akan terheran bahkan menjadi tanda tanya besar apabila tombak atau pedang tidak diikutsertakan pada khotbah sembahyang jum’at. Terutama bagi mimbar yang tidak memiliki podium.

TENTANG TANGGUH, Jika tombak-tombak jawa umumnya berpamor, tombak Lampung dan Palembang justru kebanyakan tampil tanpa suguhan pamor. Selain itu jika kita cermati lebih dalam, bagian methuknya lebih panjang dan bulatannya lebih kecil dibandingkan methuk tombak tombak Jawa pada umumnya. Selanjutnya, apabila kita mencermati pada bagian methuk-nya memiliki keunikan tersendiri  dimana dihiasi eksen cincin yang bergerigi. Oleh masyarakat lampung dan sekitarnya disebut dengan “methuk berduri”. Setiap tokoh adat di Lampung mempusakakan payan dengan methuk berduri ini. Konon methuk berduri ini pada masanya merupakan simbol status/kedudukan seseorang dalam masyarakat seperti halnya lubang mata pada kujang, semakin banyak lobang maka semakin tinggi derajad seseorang. Namun begitu tidak ada yang tahu pasti berapa jumlah maksimal methuk berduri bagi pemegang kedudukan tertinggi (Raja). Pada payan ini terdapat 2 (dua) methuk bergerigi dan hingga saat ini Penulis hanya pernah melihat payan dengan jumlah methuk berduri paling banyak hanya 3 (tiga).

Ada hal menarik yang mengundang tanya pada mata tombak ini dimana sepertiga bagian pucuknya memiliki warna besi yang tampak lebih hitam atau gelap daripada area pangkalnya. Beberapa orang beranggapan itu adalah batas area penyepuhan. Seperti yang kita ketahui bilah keris, tombak, pedang tangguh sepuh biasanya memang selalu disepuh. Namun menurut kepercayaan Orang Tua jaman dahulu, area yang menghitam seperti itu adalah bekas ‘minum darah’ (dalam istilah Jawa, sudah ngapur). Diduga tombak/keris/pedang yang memiliki ciri seperti di atas sudah pernah digunakan secara fungsional untuk menusuk/membabat bagian tubuh, yang darahnya memang tidak akan bisa dihilangkan. Terakhir, pesi tombak yang berbentuk kotak yang banyak ditemui di tangguh Singosari  Majapahit awal ternyata memiliki keunggulan tersendiri dibanding pesi silinder, ketika digunakan sebagai senjata fungsional untuk menahan/menangkis sabetan hingga menahan hentakan kuat, menjadikannya tidak mudah melintir atau berputar.

PAMOR SANAK (Jw) , besi campur bermian – merupakan keris/tombak tanpa pamor yang permukaan bilahnya terdapat guratan-guratan alur pamor tetapi tidak begitu jelas karena efek campuran bahan logam pada penempaan. Bahan besi yang digunakan besar kemungkinannya diimpor dari Luwu Sulawesi yang dibawa oleh para pedagang Bugis.

Dialih-rawatkan (dimaharkan) sesuai dengan foto dan deskripsi yang tertera.


Contact Person :

Griyokulo Gallery Jl. Teluk Peleng 128A Kompleks TNI AL Rawa Bambu Pasar Minggu Jakarta Selatan

Facebook : Griyo Kulo SMS/Tlp/WA : 0838-7077-6000 Pin BB : D403E3C3  Email : admin@griyokulo.com

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *