Jimatan Paku Bumi

10590558_1712292255668741_9142982091114899016_n Mahar : 1.500.000,- (TERMAHAR) Ibu ESW Jakarta Selatan


 
  1. Kode : GKO-
  2. Dhapur : Paku Bumi
  3. Pamor : Adeg Mrambut
  4. Tangguh : Cirebon
  5. Sertifikasi :
  6. Asal-usul Pusaka : Kebumen, Jawa Tengah
  7. Keterangan lain : pamengkang jagad, ori sepuh, panjang bilah 10 cm, panjang dengan warangka dan hulu 15,5 cm, warangka cirebon asli bawaan (lawasan)

 Ulasan :

JIMAT (Dalam Tinjauan Antropologi), secara umum nenek moyang kita percaya pada dinamisme dan animisme. Bentuk kepercayaan nenek moyang kita merupakan bagian dari fitrah mereka sebagai seorang manusia yang disebut dengan ekspresi relegius. Bentuk kepercayaan ini tereduksi dalam kehidupan nyata dan hingga sat ini masih banyak ditemukan di masyarakat, sebuah kepercayaan terhadap adanya kekuatan namun kekuatan tersebut tidak bisa dipantau secara inderawi. Termasuk kepercayaan tentang adanya kekuatan gaib pada sebuah benda tertentu. Benda-benda yang diyakini mempunyai kekuatan gaib banyak dicari orang sebagai barang ‘pegangan’. Barang pegangan yang mempunyai kekuatan tersebut, orang jawa menyebutnya sebagai jimat. Secara umum jimat adalah benda dengan berbagai macam bentuknya yang diyakini mempunyai kekuatan supranatural di luar jangkauan pikir manusia, serta diyakini sebagai bentuk ekspresi relegius murni seorang individu yang berangkat dari kelemahannya untuk meminta pertolongan lewat dimensi-dimensi pengantar.

Begitu sangat beragam bentuk jimat, diantaranya batu akik, rajah, mustika, wesi aji dan lain-lain.  Dalam keberadaan bentuk fisiknya jimat sebenarnya adalah benda biasa, namun ketika benda tersebut dimasuki oleh perasaan relegius nilai benda tersebut menjadi berubah. Jimat sebagai wujud benda fisik biasa mengalami tranformasi bernilai simbolis yang menghubungkan dengan kekuatan Tuhan, yang diletakkan padanya dengan kekuatan supranatural  sejalan dengan keyakinan yang ada pada masing-masing penggunanya. 

PAKUBUMI, dinamakan pakubumi karena bentuknya memang mirip dengan paku (primitif). Menurut penuturan  orang-orang tua jaman dahulu, pakubumi utamanya banyak digunakan sebagai sarana tolak bala tempat-tempat angker. Penggunaannya secara ritual adalah dengan cara ditancapkan pada tanah di tempat-tempat yang wingit tadi. Secara ergonomi bentuknya yang mungil namun kuat dan tajam memungkinkan untuk diandalkan sebagai sikep (orang Jawa  biasa menyebutnya juga sebagai ‘cekelan’, untuk benteng diri atau keselamatan lahir batin), yang pemakainya justru lebih banyak para wanita. Seperti wesi aji ini, bentuk sor-soran yang seperti bercabang dua, memudahkan untuk disengkelit diantara kemben (baju) wanita, hingga menjadi tusuk konde yang jika dalam keadaan memaksa atau berbahaya dapat difungsikan sebagai alat beladiri. Menariknya bentuk tosan aji seperti ini banyak sekali ditemukan di wilayah Cirebonan dan sekitarnya dengan ‘disarungi’ warangka dan hulu yang rata-rata hampir mirip juga, yakni dikenal dengan trusmian.

FILOSOFI, Paku sebagai kiasan atau pasemon agar selalu menjadi pribadi yang kuat/kokoh/teguh. Hal ini mengandung ajaran bahwa kehidupan di bumi bisa kuat, sentosa harus didasari jiwa yang kuat, tidak mudah goyah, atas dasar satu kekuatan yang maha besar dari Tuhan YME, yang menjadi pegangan bagi manusia yang hidup di bumi. Bumi, secara lahiriah bumi merupakan tempat kehidupan dan juga tempat berakhirnya kehidupan. Bumi atau jagad melambangkan bahwa manusia (mikrokosmos) yang memiliki jagad besar (makrokosmos). Di sini sebagai kiasan atau pasemon adanya kesatuan jagad kecil dan jagad besar. Bumi atau jagading manungsa berada dalam hati. Oleh kerena itu manusia agar dapat menguasai keadaan, harus dapat menyatukan diri dengan dunia besar. Dalam Kejawen disebut Manunggaling Kawula-GustiSifat bumi adalah momot dan kamet dapat menampung dan menerima yang gumelar (ada). Bumi sebagai lambang welas asih, dapat anyrambahi sakabehe. Menjadi “paku bumi” adalah seperti gunung sebagai penjaga agar bumi tetap memiliki keseimbangan hidup.

TENTANG MOTIF MEGA MENDUNG DAN WADASAN, melihat budaya perkerisan sepertinya tidak bisa berdiri sendiri, perlu juga melihat sejarah dan produk-produk budaya lain yang seiring. Seperti motif ukiran yang terdapat pada warangka dan hulu model cirebon ini. Kebesaran Islam di Jawa Barat juga tidak lepas dari Cirebon. Sunan Gunung Jati, salah seorang ulama besar di Indonesia, adalah orang yang bertanggung Jawab menyebarkan agama Islam di Jawa Barat. Oleh karena itu, jika kita berbicara tentang Cirebon tidak akan lepas dari sosok Syarif Hidayatullah atau Sunan Gunung Jati. Pernikahan Putri Ong Tien dan Sunan Gunung Jati menjadi salah satu latar belakang utama masuknya budaya dan tradisi Tiongkok atau tradisi Cina ke keraton. Pada saat itu, keraton menjadi pusat kosmologi sehingga ide atau gagasan, pernak-pernik tradisi dan budaya Cina yang masuk bersama Putri Ong Tien menjadi pusat perhatian (inspirasi) para seniman di Cirebon, termasuk pengukir dan pengrajin lainnya. Motif Cina ini hanya sebagai inspirasi. Seniman Cirebon kemudian mengolahnya dengan ‘sentuhan’ cita rasa masyarakat setempat yang mayoritas beragama Islam. Dari situ, lahirlah beberapa produk budaya dengan ragam hias dan keunikan khas tersendiri.

WADASAN, motif hias Wadasan adalah istilah Cirebon untuk menyebut motif karang (gunungan). Dilihat dari kemiripannya, motif ini diduga mengadopsi dari huruf cina yang berarti gunung pada Taoisme. Pada Taoisme, simbol ini melambangkan puncak yang menembus langit, yang berarti jalan menuju kesempurnaan yang menghubungkan manusia langsung dengan Tuhannya. Motif Wadasan mencerminkan tempat eksistensi Sultan Cirebon sebagai penguasa jagad kecil dan sebagai wakil Tuhan di dunia dan menjadi perantara rakyat untuk mendapat berkat dari Tuhan. Pada saat berlangsungnya pengaruh Hindu, motif karang/gunungan ini digambarkan sebagai Gunung Meru yang merupakan tempat bersemayamnya para dewa. Motif Wadasan pada kepurbakalaan Islam di Cirebon berfungsi sebagai unsur simbolik dan dekoratif unsur kebangsawanan. Fungsi simbolik pada motif ini ditunjukkan oleh letak motif pada bagian utama benda-benda sakral, seperti pada makam keluarga raja dan kereta kerajaan.

Pada gambar diatas terlihat bahwa bentuk yang diadopsi dari bentuk huruf gunung tersebut tergambarkan sebagai karang. Tetapi selanjutnya motif tersebut berkembang menjadi perlambangan bentuk yang menyerupai karang. Lengkungan garis yang terdapat pada motif tersebut sudah menyerupai motif wadasan. Dari sinilah diduga kuat motif wadasan itu berasal.

MEGA MENDUNG, adalah salah satu motif atau ornamen khas Cirebon yang tidak dimiliki oleh daerah lain di Indonesia. Motif ini menggambarkan bentuk sekumpulan awan di langit. Mega mendung (mega= awan, mendung= cuaca yang sejuk/adem). Arti harafiah dari motif mega mendung ialah awan yang muncul ketika cuaca sedang mendung.

Pada faham Tao diketemukan salah satu simbol yang menyerupai motif mega mendung, yaitu simbol Yun atau awan. Pada simbol ini terdapat makna yang terkandung di dalamnya, yaitu keberkahan bagi manusia. Keberkahan tersebut terus dihadirkan untuk manusia, manusia hanya perlu menerimanya pada tempat dan saat yang tepat. Pada ukiran mega mendung sedikit berbeda dengan garis-garis awan motif Cina. Motif awan Cina lebih berupa garis spiral dilanjutkan dengan bulatan atau lingkaran, sedangkan Mega Mendung  Cirebon cenderung lonjong, lancip, dan berbentuk segitiga. Ini yang membedakan motif awan Cina dan Cirebon. Kita juga dapat melihat pada motif mega mendung beberapa garis lengkung dari bentuk garis lengkung terkecil yang paling dalam  kemudian melebar keluar dengan lengkungan yang membesar, menunjukkan gerak yang teratur harmonis. Dapat dikatakan bahwa garis lengkung yang berirama ini membawa pesan moral dalam kehidupan manusia yang selalu berubah (naik dan turun). Kehidupan yang berkembang untuk mencari jati diri, mau belajar dan menjalin kehidupan sosial agama. Akan membawa dirinya menuju ke dalam penyatuan diri melalui pasang surut  keadaan, dan pada akhirnya harus kembali ke asalnya. Dengan demikian, kita bisa lihat bentuk mega mendung selalu terbentuk dari lengkungan kecil yang bergerak membesar keluar dan pada akhirnya harus kembali lagi menjadi putaran kecil, tetapi tak terputus. Posisi ornamen mega mendung sendiri terlihat horisontal, bukan vertikal karena mendungnya awan mendinginkan suasana di bawahnya. Dan bahwasanya ornamen mega mendung diciptakan untuk saling mengayomi. Selalu membawa sejuk dan kedamaian di sekitarnya.

serangka dengan ukiran motif mega mendung dan wadasan atau disebutnya trusmian (terus bersemi) khas cirebon

Pada kebanyakan motif Wadasan dan Mega Mendung yang terdapat di keraton dapat dilihat bahwa motif Wadasan (simbol gunung) justru terlihat lebih banyak dan terletak lebih atas daripada motif Mega Mendung (simbol awan). Dari bukti ini dapat diketahui bahwa yang ingin ditekankan dari makna motif di keraton adalah motif Wadasan sebagai puncak yang menembus langit, sebagai pusat kosmik, tempat tinggal sultan yang merupakan wakil langsung dari Tuhan. Sedangkan motif Mega Mendung merupakan pendukung yang menyempurnakan motif tersebut. Kedua motif ini diterapkan sebagai satu kesatuan.

TRUSMIAN, motif warangka dan ukiran yang menyertai pakubumi ini saat ini lebih dikenal sebagai ‘trusmian’. Tampaknya terdapat nuansa sufisme (merupakan nama umum bagi berbagai aliran sufi, yaitu aliran menjauhkan diri dari dunia materi dan memusatkan perhatian pada alam rohani dalam agama Islam) di balik motif yang disinyalir awalnya berasal dari daerah itu. Di Cirebon, para pengikut tarekat tinggal di Desa Trusmi dan sekitarnya seperti Gamel, Kaliwulu, Wotgali, Kalitengah, dan Panembahan, di Kecamatan Plered, Kabupaten Cirebon. Anggota tarekat itu mengabdi kepada keraton dengan memproduksi ukiran, batik dan lain-lain sebagai sumber ekonomi untuk membiayai kelompok tersebut. Oleh karena itu, sampai sekarang batik Cirebon identik dengan Batik Trusmi. Masyarakat Trusmi sudah ratusan tahun mengenal batik. Keberadaan tarekat menjadikan batik Cirebon berbeda dengan batik pesisir lain. Karena yang aktif di tarekat adalah laki-laki, maka mereka pula yang awalnya merintis tradisi batik tersebut. Hal tersebut menjadi berbeda dengan daerah lain, karena sebagian besar pekerjaan membatik dilakukan oleh wanita. Sebagai akibat Di Trusmi, pekerjaan membatik merupakan pekerjaan semesta. Artinya, seluruh anggota keluarga berperan dalam proses pembuatannya. Seorang bapak membuat rancangan gambar, kemudian ibu yang mewarnai, dan anak yang menjemurnya.

pamengkang jagad

PAMENGKANG JAGAD,  atau biasa disebut combong, yakni tosan aji yang terdapat lubang atau garis retakan pada bilahnya yang terbentuk secara alami dan bukan karena niat hati sang empu membuat lubang pada bilahnya tersebut. Dipercaya tosan aji yang memiliki garis retakan lurus atau lubang memanjang pada bilahnya itu menambah karakter gaibnya menjadi lebih kuat daripada tosan aji lain yang sejenis yang tidak mempunyai retakan atau lubang memanjang di badan kerisnya.

Dialih-rawatkan (dimaharkan) sesuai dengan foto dan deskripsi yang tertera.


Contact Person :
 

Griyokulo Gallery Jl. Teluk Peleng 128A Kompleks TNI AL Rawa Bambu Pasar Minggu Jakarta Selatan

Facebook : Griyo Kulo SMS/Tlp/WA : 0838-7077-6000 Pin BB : D403E3C3 Email : admin@griyokulo.com

————————————

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *