Kujang Naga Kukilo

10590558_1712292255668741_9142982091114899016_nMahar : ?,-(TERMAHAR) Tn. A, Bogor


 
  1. Kode : GKO-
  2. Dhapur : Kudi/Kujang Naga Kukilo (Burung Kadewan)
  3. Pamor : Mrutu Sewu
  4. Tangguh :  Abad XIX-XX
  5. Sertifikasi : opsional
  6. Asal-usul Pusaka : Mojowarno, Jombang Jawa Timur
  7. Keterangan Lain : dimensi kujang (panjang bilah 32 cm, panjang pesi 9,5 cm, panjang total 41,5 cm, lebar 5 cm), landeyan kayu liwung macan (panjang 70 cm, diameter 3 cm), tutup kain

 

Ulasan :

TENTANG KUJANG, Bagi masyarakat jawa bagian barat, yang sebagian besar adalah urang sunda kujang lebih populer dibandingkan keris. Popularitas kujang di lingkungan masyarakat sunda sudah tidak disangsikan lagi. Kujang tidak hanya dipakai sebagai lambang daerah, melainkan juga dipakai sebagai nama-nama perusahaan (Pupuk Kujang, Semeng Kujang), nama daerah (parungkujang, cikujang, kujangsari, parakankujang), nama kesatuan (Batalyon kujang di lingkungan Kodam III Siliwangi), nama bangunan (tugu kujang di Bogor) hingga Lambang Pemerintah (Provinsi Jawa Barat, Bogor, Depok, Sukabumi, Banjar, kab Pangandaran, kab Cirebon)

Di lingkungan masyarakat Sunda pun masih terdapat komunitas-komunitas yang akrab dengan kujang dalam pranata kehidupan sehari-hari, yaitu masyarakat Sunda Pancer Pangawinan yang tersebar di kecamatan Bayah, Kabupaten Lebak; masyarakat di kecamatan Cigudeg, kabupaten Bogor;  masyarakat di kecamatan Cisolok Kabupaten Sukabumi ; dan masyarakat Sunda Wiwitan Urang Kanekes (Baduy) di Kabupaten Lebak, Banten. Dalam lingkungan budaya mereka, kujang (pamangkas) masih digunakan dalam upacara nyacar (menebas pepohonan untuk membuka lahan huma) setahun sekali. Patokan pelaksanaan nyacar tersirat dalam ungkapan ‘unggah kidang turun kujang’, yang berarti jika kijang muncul di ufuk timur sewaktu subuh, itulah pertanda waktu nyacar telah tiba dan kujang digunakan sebagai pembuka kegiatan perladangan.

Bahwasanya kujang adalah perkakas utama masyarakat mandala atau pahuma (petani padi di ladang dataran tinggi), telah diungkapkan secara eksplisit dalam naskah Sunda kuno ‘Sanghyang Siksa Kanda ng Karesian’ (abad 15 M), sebagai ‘ganggaman wong tani’ (pegangan para petani atau rakyat) seperti pada kalimat berikut: “Ganggaman wong tani ma: kujang, baliung, patik, kored, sadap. Detya pina[h]ka dewanya, ja paranti ngala kikicapeun iinumeun”. Artinya: senjata orang tani ialah: kujang, baliung, patik, kored, pisau sadap. Detya yang dijadikan dewanya, karena digunakan untuk mengambil apa yang dapat dikecap dan diminum”. Sebagai suatu ‘ganggaman’ atau perangkat utama suatu komunitas tertentu, kujang telah menjadi alat serbaguna yang berfungsi optimal, baik sebagai perkakas pertanian maupun untuk fungsi senjata dalam keadaan darurat.

Sekalipun kujang identik dengan keberadaan kerajaan Pajajaran pada masa silam, namun berita *’Pantun Bogor‘ (*Pantun dalam bahasa Sunda = Carita, Pantun Bogor = Cerita Raja-raja khas Bogor. Pantun Bogor asal mulanya adalah Pantun Pajajaran, karena hampir seluruh episode cerita bermuatan kisah-kisah terakhir dari Keluarga Besar Kerajaan Pajajaran yang syarat dengan kepahlawanan dan senandung derita,  karena  intervensi, intimidasi, bahkan embargo ekonomi Banten yang didukung Cirebon dan Demak) tidak menjelaskan bahwa alat itu dipakai oleh seluruh masyarakat Sunda secara umum. Perkakas ini hanya digunakan oleh kelompok tertentu yaitu para raja, prabu anom, golongan pangiwa, panengen, golongan agamawan, para putri serta golongan kaum wanita tertentu, dan para kokolot. Sedangkan rakyat biasa menggunakan perkakas-perkakas lain seperti golok, congkrang, sunduk dan sebagainya. Kalaupun ada yang menggunakan kujang, sebatas jenis pamangkas untuk keperluan berladang. Hal ini sedikit banyak menjelaskan kenapa kujang saat ini lebih sedikit ditemukan keberadaannya dibandingkan keris.

Bukti-bukti keberadaan kujang di masa lalu dapat juga dilihat dalam relief-relief candi, diantaranya yang paling menonjol seperti relief candi Sukuh (Abad XV) sebagai gambaran proses Fragmen gosali atau paneupaan yang menunjukkan proses pembuatan kudi. Beberapa kujang peninggalan hingga saat ini masih disimpan dan dapat dilihat dalam koleksi museum-museum seperti Museum Prabu Geusan Ulun, Sumedang; Museum Negeri Jawa Barat Sri Baduga, Bandung; Museum Keraton kasepuhan, Cirebon; dan Museum Nasional, Jakarta.

BENTUK DAN FUNGSI KUJANG, Tinjauan tentang Kujang berdasar ‘Pantun Bogor‘, memberikan gambaran bentuk kujang yang biasanya digunakan pada masa kejayaan Kerajaan Pajajaran, diantaranya: Kujang Ciung (yang bentuknya menyerupai burung Ciung), Kujang Jago atau Kujang Hayam (menyerupai ayam jago), Kujang Kuntul (menyerupai burung kuntul), Kujang Bangkong (seperti kodok bangkong), Kujang Naga (bentuknya seperti ular naga), Kujang Badak (menyerupai badak), Kujang Pamangkas (alat pertanian) dan Kujang Kudi (untuk perempuan). Adapun jika dilihat dari fungsinya, pusaka ini terbagi dalam: kujang pusaka (berkekuatan gaib, lambang keagungan dan pelindungan keselamatan), kujang pakarang (sebagai senjata bukan untuk berperang, untuk membela diri), kujang pangarak (sebagai alat upacara, dipikul oleh barisan terdepan dengan tongkat panjang), kujang pamangkas (untuk babat hutan atau memotong padi, sampai sekarang masih digunakan dalam kegiatan berladang), dan kujang sajen (sarana sesajen untuk upacara adat atau ritual keagamaan seperti bersih desa). Tidak ketinggalan pula dengan penyebutan pola pamor yang terdapat dalam sebuah kujang digambarkan setidaknya adanya dua macam pamor, yaitu pamor sulangkar (mengacu pada sejenis pamor yang bentuknya seperti alur sejajar dari bagian bawah sampai ke bagian atas, atau merambut, jw) dan pamor tutul (diasumsikan berupa pamor seperti tutul-tutul pada kulit macan tutul dan sampai sekarang penulispun belum pernah melihatnya).

Thomas Stamford Raffles, dalam buku History of Java (1817) sempat mencatat dan menggambarkan ‘persenjataan orang jawa, dimana selain keris, tombak, wedung, panah, ketapel, pedang dan masih banyak lagi ada diantaranya ‘kudi tranchang‘ (trantang, berarti memilki banyak lobang) yang dideskripsikan sebagai senjata yang sudah jarang digunakan untuk berperang. Masyarakat Jawa Tengah (Banjarnegara dan sekitarnya) justru menganggap kudi tranchang atau trantang adalah kudi yang memiliki daya linuwih (sebagai piyandel).

KUJANG NAGA, bentuknya menyerupai binatang mitologi Naga yang sangat disakralkan. Sebagai salah satu makhluk mitologi penggambarannya bisa jadi berbeda-beda dalam tiap budaya. Semisal Nogo (Jawa) penggambarannya berbeda dengan Liong (China) atau Dragon (Eropa), dimana tidak memiliki sayap, tanduk maupun jarang diwujudkan dengan berkaki, namun seringkali diwujudkan dengan memakai badhog atau mahkota di atas kepalanya dan terkadang digambarkan juga memakai perhiasan anting dan kalung emas.

seperti naga sedang terbang membelah angkasa

Naga bagi masyarakat Sunda dipercaya sebagai simbol penguasa langit, bumi dan air (Naskah Sewaka Dharma, naskah rontal abad XV), sedangkan air mutlak diperlukan sebagai sarana pertanian (masyarakat agraris). Dalam kepercayaan selanjutnya Naga sering dilambangkan sebagai simbol kebangsawanan, lambang kekuasaan serta sumber kekuatan supranatural yang besar dan bermanfaat (perlindungan dan penjagaan).

Bentuk Kujang Naga sangat berbeda dengan bentuk kujang yang lainnya. Perbedaan yang mencolok adalah Kujang Naga memiliki ukuran waruga (bilah) dan tadah (mirip perut) yang lebih besar dari kujang lain dengan siih (luk) yang menyebar dibagian tonggong. Struktur dasar Kujang Naga adalah bentuk segitiga yang berseberangan (dapat dilihat melalui gambar di atas). Segitiga bagian atas membentuk kepala dan segitiga di sebelah bawah membentuk beuteung dalam bentuk tadah yang lebar. Antara kepala dan perut merupakan penyeimbang antagonistik dimana kepala dan perut relatif sama besar dengan posisi berseberangan. Sebagai acuan keseimbangan adalah garis lurus pada paksi yang membelah bagian waruga Kujang Naga menjadi dua bagian yang relatif sama besar. Bentuk Kujang Naga sendiri berdasarkan prinsip seni rupa tradisi dan budaya sunda. Bentuk ini bersifat imajinasi esensial dan melampaui wujud binatang ular naga itu sendiri. Pada jaman dahulu Kujang Naga merupakan ganggaman atau pusaka para Raja dan para Ratu atau wali nagara yang merupakan pelindung rakyat. Pasangannya yaitu kujang geni (Ra) Naga-Ra. Nagara mempunyai pemahaman yang suci dan adil.

KUJANG BUTA, kata buta dalam proses kelahiran yaitu ‘ngora‘ (delapan bulan) yang menjadikan tidak adanya simbol mata atau lubang dalam kujang ini. Karena dalam kosmologi Sunda tidak mengenal adanya angka 8, sehingga tidak ada kujang yang mata atau lubangnya delapan. Atau Ni’is (suwung), yaitu suatu proses aplikasi pencarian ilmu tentang sesuatu yang tidak ada namun ada (napak sancang).

Dipercaya banyaknya lubang pada kujang menunjukkan posisi kemandalaan dan derajad pemilik dalam masyarakat. Semakin banyak lubang semakin tinggi kedudukannya dan menjadi target buruan para kolektor. Karena faktor kelangkaan dan alasan ekonomi itulah seringkali lubang-lubang yang terdapat pada bilah kujang ‘disusulkan‘ (baca = ditambah). Salah satu hal yang bisa dijadikan patokan untuk membedakannya adalah teknik melubangi pada bagian mata tersebut tidaklah bulat penuh seperti di bor, tetapi apabila dicermati bentuk lubang tersebut bulat agak oval bahkan bulat tidak beraturan (tidak seragam bentuknya).

FILOSOFI, Kujang memiliki berbagai bentuk keunggulan yang menarik secara visual yang tidak terlihat pada senjata-senjata lainnya di Nusantara. Bagian-bagian yang dimaksud memiliki keragaman bentuk gaya beserta variasi-variasi struktur papatuk, waruga, mata, siih, pamor dan sebagainya, kujang tampak sangat artistik menarik untuk dicermati dan dikupas refleksi keberadaannnya dalam kehidupan para penggunanya di masa lalu.

Kujang = Ka-Dja-Nga (sasmita), Ka = Tanaga (Buana Nyungcung) Dja = Wujud Hurip (Buana Panca Tengah) Nga = Seuneu Kawasa (Buana Larang) merupakan manifestasi simbol ajaran Ketuhanan tentang asal-usul alam semesta yang dijadikan dasar konsepsi sistem ketatanegaraan Sunda Purba. Bentuk dan wujud Kujang merupakan manifestasi wujud manusia sebagai ciptaan yang sempurna. Kujang sebagai pusaka bukanlah sesuatu yang harus dipertontonkan. Bahasa Sundanya, ‘kujang itu lain pintonkeuneun tapi lakonkeuneun’. Itulah kenapa hingga saat ini kujang sebagai pusaka leluhur terkesan disembunyikan dan jarang dipertontonkan (sinengker, jw).

Catatan atau Literatur mengenai kujang pun tidaklah sebanyak keris. Dalam beberapa tutur lisan disebutkan bahwa ‘Ciptaan Asli’ (pancer, jw) dari kujang sebenarnya terinspirasi dari sebuah alat pertanian yang telah dipergunakan secara luas pada abad ke-4 sampai dengan abad ke-7 Masehi. Bentuk kujang seperti yang kita kenal saat ini pada dasarnya adalah bentukan baru dari sekitar abad ke-9 sampai abad ke-12, sebagai buah karya dari para empu yang terkenal, seperti Mpu Windusarpo, Mpu Ramayadi, dan Mpu Mercukundo. Baru kemudian pada sekitar abad ke-12 kujang secara berangsur-angsur diakui sebagai sebuah azimat oleh raja dan bangsawan, simbol status kepangkatan, penghormatan kepada para pemimpin yang berjasa besar pada negara, hingga nilai sebuah ajaran dari Kerajaan Pajajaran Makukuhan, khususnya pada masa pemerintahan Prabu Kuda Lalean.

Konon, di salah satu pertapaan yang dilakukan oleh Prabu Kuda Lalean, sang prabu mendapat ilham untuk mendesain ulang bentuk Kujang yang bentuknya disesuaikan dengan bentuk Pulau Jawa dan memerintahkan Mpu Windu Sarpo untuk membuatkan kujang seperti yang terdapat dalam ilham; kujang ini memiliki 2 buah karakter yang unik dimana: bentuknya menyerupai Pulau Jawa dan mempunyai tiga lubang pada bilahnya. Bentuk kujang yang menyerupai bentuk Pulau Jawa mengartikan cita-cita akan penyatuan kerajaan-kerajaan kecil di Pulau Jawa menjadi satu kerajaan yang dikepalai oleh Raja Kerajaan Pajajaran Makukuhan. Sedangkan tiga lubang pada bilah kujang melambangkan Trimurti, atau tiga aspek Ketuhanan dari agama Hindu, yang juga ditaati oleh Kuda Lalean. Tiga aspek Ketuhanan menunjuk kepada Brahma, Vishnu, dan Shiva. Konon pula, selanjutnya bentuk-bentuk kujang berkembang lebih jauh dengan beragam model tentunya. Ketika pengaruh Islam tumbuh di masyarakat, kujang pun direka ulang menyerupai huruf Arab “Syin”. Menjadi bagian dari ‘terobosan’ politik Prabu Kian Santang ketika menyebarkan ajaran agama Islam di tatar Sunda yang menginginkan rakyat tatar Sunda yang kala itu masih memegang kujang agar mengasosiasikan kujang kepada dasar agama Islam. Syin adalah huruf pertama dalam kalimat syahadat dimana setiap manusia bersaksi akan Tuhan yang Esa dan Nabi Muhammad sebagai utusan-Nya. Dengan mengucapkan kalimat syahadat, ia (tiap manusia) secara otomatis masuk Islam. Kujang varian terbaru ini mengingatkan pemiliknya dengan kesetiannya kepada Islam dan ajarannya. Bahkan lima lubang pada bilah kujang telah menggantikan makna Trimurti. Kelima lubang ini melambangkan lima pilar dalam ajaran agama Islam (rukun Islam).

TENTANG TANGGUH, meskipun bukan berasal dari era tangguh kulon sepuh (pajajaran, segaluh), dimana bahan besi, baja, dan pamor diulet (dicampur) menjadi satu sejak awal namun tetaplah ada ‘greget’ tersendiri ketika berinteraksi dengan kujang ini (baca = menanting). “Tangguh Nom-nya (muda)” dapat ditelusuri dari teknik pembuatannya yang sama di keris, yakni baja digunakan sebagai slorok, berada di tengah. Dari stilasi fisiknya ada beberapa orang yang mengatakan mirip  dengan burung bangau sawah (kuntul) namun ada yang mengatakan mirip penggambaran makhluk mitologi Naga. Mungkin Nogo Kukilo (burung kadewaan ) adalah penggabungan yang tepat untuk keduanya. Pamornya menyebar merata di seluruh bilah, terkesan rumit. Semakin unik dengan bentuk methuk iras yang mirip dengan kelopak kembang wijayakusuma, dengan bentuk pesi yang persegi semakin ke ujung semakin kecil. Tertancap gagah pada landeyan kayu liwung macan.
bentuk methuk iras seperti kelopak bunga

 

pesi tidak berbentuk bulat seperti pada umumnya, namun persegi (foto dari depan dan samping)
landeyan kayu liwung macan
PAMOR MRUTU SEWU, mrutu adalah sejenis hewan kecil-kecil yang suka terbang berkelompok mengelilingi lampu di malam hari, di beberapa daerah disebut dengan ‘samber moto’. Secara harafiah berarti hewan kecil (mrutu) yang jumlahnya banyak sekali (seribu lebih), merupakan salah satu motif pamor yang bentuk gambarannya berupa kumpulan garis lengkung dan bulatan kecil yang saling berdekatan dan biasanya menyebar di seluruh permukaan bilah sehingga kesannya tampak ruwet. Sebagian penggemar keris beranggapan bahwa pamor mrutu sewu mempunyai tuah yang baik, dimana pemiliknya akan gampang mencari rejeki dan banyak relasinya. Menurut pitutur sesepuh, pada sekitar tahun 1930 dan sebelumnya pamor yang kini disebut dengan pamor sisik sewu dan mrutu sewu justru malahan dianggap sebagai pamor udan mas yang asli. (bukan rekan)

 Dialih-rawatkan (dimaharkan) sesuai dengan foto dan deskripsi yang tertera.


Contact Person :
 

Griyokulo Gallery Jl. Teluk Peleng 128A Kompleks TNI AL Rawa Bambu Pasar Minggu Jakarta Selatan

Facebook : Griyo Kulo SMS/Tlp/WA : 0838-7077-6000 Pin BB : 5C70B435  Email : admin@griyokulo.com

————————————

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *